Jumat, 16 Desember 2016

CERITA LAMA TENTANG ORANG KECIL

Ini cerita lama tentang seorang pedagang pisang barangan yang berjualan di paruh timur jalan Pakubuwono VI Kebayoran Baru–Jakarta Selatan. Kejadiannya sudah cukup lama. Sudah hampir 20 tahun yang lalu, sehingga sangat dimaklumi bila wanita pedagang pisang barangan itu sudah tidak lagi bisa ditemui di tempat biasa dia berdagang dulu.

Ketika itu, saya masih tinggal di Bekasi dan potongan jalan Pakubuwono VI tersebut selalu dilalui manakala jam pulang kantor menuju rumah, yaitu untuk mencapai gerbang tol Senayan yang berada di seberang gedung MPR–DPR. Biasanya seminggu sekali, saya selalu membeli 2 sisir pisang barangan. Kadang lebih manakala teman–teman kantor meminta dibuatkan banana cakes.

Hingga suatu saat, seperti biasa saya berhenti di hadapan rak jualannya untuk meminta diambilkan 2 sisir pisang yang setelah dimasukkan ke dalam kantong kresek, disodorkannya kantong tersebut.
“Ini uangnya …..”, sambil mengambil kantong berisi 2 sisir pisang.
“Wah bu …. Ada uang pas saja? Saya tidak punya kembalian..”, sahutnya.

Kuraih dompet dalam tas, mencari uang pas pembayar 2 sisir pisang……
“Duh …. Nggak ada lagi … dompetku juga kosong. Cuma ada selembar itu saja …. Tukar saja deh ke tukang rokok itu” Jawabku.
Di sebelah lapaknya, memang ada gerobak penjual rokok. Dia lalu beringsut menuju tukang rokok…. Namun sayang…, entah kenapa, sore itu rupanya bukan hari keberuntungan. Tukang rokok tak memberikan tukaran uang.

“Bu …., bawa saja uang ini… mungkin ibu perlu uang ini, entah untuk bayar tol atau parkir, nanti…”
“Waduh ….. jangan dong …. Masa saya harus berhutang….? Kalau begitu, nggak jadi beli deh ….!”, sahutku, merasa berkeberatan kalau harus membawa 2 sisir pisang tanpa membayar…
“Nggak apa bu ….!!! Bawa saja pisang itu. Mungkin anak atau suami ibu mengharapkan dan menunggu pisang itu di rumah. Ibu bisa membayar besok atau kapan saja, kalau ibu lewat sini lagi….!”

Saya mengambil kembali selembar uang 100 ribuan yang disodorkannya tersebut, karena kebetulan memang hanya tinggal selembar itu saja yang ada lama dompet. Memang, sisa pengembalian pisang tersebut akan saya gunakan untuk membayar toll ke Bekasi.

Agak malu hati dengan keihklasan pedagang pisang tersebut. Betapa luas hatinya. Tanpa prasangka apapun pada pembeli … Padahal, siapa yang bisa menjamin kalau keesokan hari, saya akan kembali melewati jalan tersebut untuk membayar 2 sisir pisang barangan. Ada banyak jalan lain untuk menuju rumah …. Kalaupun saya melewati jalan tersebut lagi, bisa saja saya pura–pura lupa untuk tidak membayarnya. Ah … sungguh peristiwa yang sangat menyentuh hati dan menyadarkan saya bahwa justru orang–orang kecil seperti penjual pisang itulah yang sangat percaya bahwa rejeki dapat diperoleh dengan cara apa saja. Naif …..? Entahlah …. Kita yang merasa dari golongan “berpunya” dan berpendidikan justru sangat berhitung dan sangat tidak mau merugi sedikitpun …

Rabu, 14 Desember 2016

PATERNALISTIK, FEODALISTIK dan DEMOKRASI

Hari Selasa 13 Desember 2016, kemarin, saya ditugaskan untuk menyerahkan dokumen kepada orang dekat keluarga Cendana. Usai menjelaskan isi dokumen yang saya serahkan tersebut, kami ngobrol panjang lebar tentang beragam hal. Mulai dari behind the scene kejadian di bulan Mei 1998 serta betapa beratnya kondisi psikologis mereka sampai dengan kejadian-kejadian politik aktual baik di Indonesia maupun luar negeri.

Saya sejak lama bukan pendukung pemerintah golkar. Jadi, walau suami memiliki status sebagai PNS, sejak awal saya menolak mengisi formulir "permohonan menjadi anggota golkar" dengan segala konsekuensinya ... dan toh, saya tidak pernah tahu apa memang ada konsekuensi tersebut untuk kehidupan kami. Namun demikian, pasca 1998, saya "terpaksa" harus menganggap bahwa reformasi 1998 ini kebablasan. Kita memang menjadi lebih bisa menyuarakan apa saja, tanpa sensor pemerintah lagi dan dari sudut apa saja, "semau yang bicara/menulis". Hal ini kemudian menjadi terlihat sangat kebablasan apalagi di era penggunaan media sosial, terutama menjelang "pesta demokrasi", yaitu bahasa halusnya dari pemilihan umum, teruttama pada pemilihan presiden dan kemudian tambah runyam lagi saat pemilihan kepala daerah.

Kebablasan juga bisa dilihat dari tata kelola negara. APBN dan APBD ternyata jadi ajang "bancakan dana", titipan-titipan dari beragam pihak, baik dari eksekutif maupun legislatif. Akhirnya kita jadi berpikir .... mungkinkah pihak-pihak yang pada jaman pak Harto tidak kebagian "kue pembangunan", maka pada era reformasi yang seharusnya melakukan "bersih-bersih" dari perilaku KKN yang menjadi alasan "tumbangnya" pemerintahan Suharto, malah tergiur untuk bermain, mengulangi "sejarah kelam" dan larut dalam KKN versi baru yang lebih meluas.

Mungkinkah, kita memang menganut azas fatalistis ...., namun dalam persepsi negatif. Boleh saja menilai rezim lama buruk dan harus dibuang jauh-jauh, asalkan apa yang sudah dijatuhkan dan dibuang itu, jangan kemudian dipungut kembali dan dijalankan dengan cara yang lebih "sadis". Padahal, kalau kita mau jujur, tidak semua dari apa yang dilaksanakan pemerintahan lalu itu, jelek! Siapa bilang Repelita alias Rencana Pembangunan lima Tahun, itu jelek? Padahal, kita tahu bahwa apa yang dibuat oleh Suharto melalui Repelita yang bertahap adalah suatu "guidance" untuk menjalankan pemerintahan agar memiliki tujuan dan sasaran, sesuai dengan "arahan" GBHN. Perjalanan yang baik tentu harus ada perencanaan yang baik pula. Bukankah hanya untuk menyelenggarakan acara pernikahan saja, kita juga membutuhkan suatu "rundown" acara, agar semua berlangsung dengan baik sesuai maksud dan tujuan.

Ah ..... entah kenapa, dalam membaca dan melihat berita yang berseliweran baik dalam media sosial, layar kaca, majalah berita maupun koran, saya merasa ngeri terhadap masa depan negeri ini. Tulisan yang saya baca tentang sinyalemen Jenderal Gatot Nurmantyo tentang PROXY WAR membuat hati terasa ketar ketir melihat pertarungan sengit menjelang pilkada 2017, terutama pilkada DKI. Sesungguhnya, bila kila mau melakukan kilas balik, "pertarungan" ini dimulai ketika PDIP menunjuk Joko Widodo yang saat itu sedang memegang posisi sebagai Gubernur DKI Jakarta Raya, menjadi calon presiden RI, menggantikan posisi Megawati Sukarnoputri, yang sejak awal diprediksi banyak orang akan menjadi calon presiden RI. Penunjukkan yang sangat mengagetkan partai politik peserta pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, yang kemudian mengharuskan mereka mengatur strategi baru.

Sejak saat itulah berbagai perang opini dan proxy war di bumi Indonesia, dimulai. Latar belakang para calon dikupas habis ..... Ah, biasalah ..... Boleh-boleh saja mengupas latar belakang mereka, supaya rakyat tidak salah pilih. Dan karena keduanya masih memilik darah Jawa, maka bobot, bibit, bebet dikupas tuntas ...., dan disini mungkin mulai terjadi ketidakseimbangan .... yang sayangnya ditindaklanjuti dengan cara gelap mata. Fitnah bertebaran .....

Pada tititik itu, tiba-tiba saya teringat, konon pada jaman pemerintahan Suharto dulu ... Dalam suatu kesempatan, beliau pernah berdialog dengan anak-anak Indonesia ..., sebagaimana sering beliau lakukan dalam berbagai kunjungan ke daerah. Latar belakang pak Harto sebagai anak petani dusun Kemusuk - Jogjakarta, mungkin ingin dijadikan sebagai penyemangat agar anak-anak Indonesia, dimanapun berada, terutama anak-anak yang orangtua mereka masuk dalam golongan masyarakat berpenghasilan rendah atau petani miskin untuk tidak malu memilik cita-cita setinggi langit.

"Anak-anak .... apa cita2 kalian kelak bila sudah besar nanti ....?"
Ramai mereka berebut mengacungkan tangan, menjawab pertanyaan kepala negara... Bapak bagi anak-anak Indonesia ...

" Ingin jadi presiden seperti bapak ....!"
Jawab salah satu anak petani desa itu ....

Kini, pak Harto sudah tiada ... Semangat reformasi telah menjatuhkannya dengan cara yang kurang menyenangkan dan menggantikan era pemerintahannya. Beliau memang seringkali dicap secara diam-diam sebagai diktator militerisme ... Orang yang cukup ditakuti di kawasan Asia Tenggara.

Kini, era reformasi telah berjalan 18 tahun lamanya. Sedang ranum, bila dia seorang gadis ... dan sebagai gadis yang ranum, tentu banyak jejaka yang mulai meliriknya.... dan keremajaan seringkali menunjukkan sifat labil karena masih dalam tahap mencari jati diri... Begitu pula karena sifatnya tersebut, maka para jejaka mulaj melirik, Menggoda memasang jerat ....
Reformasi dan demokrasi negeri ini memang masih terlihat labil. Masih mencari bentuk, di tengah pergaulan global. Entah model demokrasi mana yang mau ditiru. Model Amerika Serikat atau model demokrasi yang dianut oleh negara-negara Eropa. Yang terlihat di permukaan, demokrasi yang dianut oleh masyarakat Indonesia sepertinya masih dalam tataran euforia kebebasan yang tanpa batas. Asal teriak, tanpa etika dan pada akhirnya malah menciptakan tirani baru berlabel agama, golongan atau kelompok.

Sungguh ... saat ini, saya mulai berpikir ... andai waktunya kelak terjadi, yaitu manakala anak ataupun cucu ramai merangkai dan menyusun angan dan cita-cita... Maka akan  saya katakan pada mereka ...
"Nak ..... bercita-citalah secara realistis ...
Karena itulah yang wajar untuk ketenangan dirimu
Karena cita2 setinggi langit, bukan milik kita ...
Itu hanya milik orang2 berdarah ningrat,
Demokrasi Indonesia tidak pernah mematikan feodalisme ...
Anak petani tidak akan pernah bisa meraih asa
Walau kesempatan dan kemampuanmu setinggi langit..
Gempuran akan terus menghantammu
Walau kau sudah mendapat amanah orang banyak ...
Karena kau bukan dari golongan elite ...
Kau bukan apa2 dan ..
Bukan siapa-siapa...
Asalmu ....
Nenek moyangmu ...
Dan profesi awalmu .....
Tidak akan pernah dianggap memadai
Untuk posisi yang tinggi ....
Feodalisme masih belum luntur
Mengikuti reformasi dan demokrasi ...
Malah semakin menguat ...
Dalam balutan segala ...
Yang dapat mereka balut ..."

Senin, 21 November 2016

BANDIT EKONOMI

Sekitar 10 atau 12 tahun yang lalu, saya membaca di salah satu mailing list, ulasan tentang buku CONFESSION OF AN ECONOMIC HIT MAN yang ditulis oleh John Perkins. Ulasan menarik tentang bagaimana kiprah para bandit ekonomi dalam menciptakan penjajahan modern di negara-negara berkembang yang kaya dengan sumber daya alam. Buku tersebut menjadi lebih menarik, karena menceritakan juga tentang kiprah penulisnya dalam upaya menguasai dan mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia agar tanpa disadari, Indonesia masuk ke dalam jerat korporatokrasi Amerika Serikat. 

12 tahun sudah berlalu, jejak pekerjaan para bandit ekonomi masih sangat terasa ketika kita memperhatikan gejolak roda perekonomian negara tercinta ini. Makin jelas terasa pada masa pemerintahan kabinet kerja saat ini. Tanpa bermaksud untuk mencari kambing hitam atas berbagai masalah, terutama yang berkaitan dengan perekonomian domestik yang terjadi saat ini, rasanya, isi dan pembahasan dalam buku tersebut masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia.
Baca lah ....... 
IQRA ...... 
Seperti juga ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Salallahu Allaihi wasSalam, bacalah .... agar kita mengerti dan berpikir. Agar kita mampu secara bersama-sama membangun bangsa dan negara ini sesuai dengan cita-cita para pejuang kemerdekaan.
***

Andaikata saja, kita mau berpikir terbuka dan kritis, maka buku Confession of an Economic Hit Man akan membawa dan membuat pembacanya mengerti bahwa korupsi-kolusi dan nepotisme yang biasa disingkat menjadi KKN yang terjadi dan dialami di negara-negara berkembang di kawasan Amerika Latin dan di Asia, termasuk Indonesia, sesungguhnya  adalah strategi korporatokrasi (koalisi pemerintah, bank dan korporasi) USA. Data statistik yang sampai sekarang masih dipakai di Indonesia dan mungkin juga di seluruh dunia guna menggambarkan pertumbuhan ekonomi negara seperti produk domestik bruto, pendapatan per kapita, tingkat pertumbuhan dan lain lain adalah akal-akalan USA agar pemerintahan yang sudah dikuasainya terlena. Agar pemerintah negara tersebut berpikir dan berpendapat seolah negaranya bertumbuh kembang dengan baik, padahal sebetulnya pondasi ekonominya semakin hancur. Negara memang terlihat maju, pendapatan seolah meningkat pesat, tapi tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi tersebut tidak merata. Hanya segelintir masyarakat yang menikmatinya, terutama golongan yang dikategorikan elite negeri dan kroninya.

John Perkins, mengakui pengalamannya dalam bekerja sebagai seorang pelayan kepentingan korporatokrasi Amerika Serikat, memberikan andil yang cukup besar sebagai penyebab terjadinya beberapa peristiwa dramatis dalam sejarah, seperti kejatuhan Shah Iran, kematian presiden Panama Omar Torrijos dan invasi Amerika ke Panama & Irak atas dasar keinginan Amerika Serikat memonopoli ekonomi-politik global. 

John Perkins sendiri adalah seorang pria keturunan Inggris yang berpaham calvinis dan sudah mulai direkrut  sebagai seorang Economic Hit Man-EHM oleh Badan Keamanan Nasional (National Security Agency, NSA), institusi terbesar Amerika Serikat, sejak dia masih kuliah di jurusan ekonomi bisnis sekitar akhir tahun 1960-an. Pada dasarnya, hanya orang-orang terbaik dan dipilih secara acak yang direkrut sebagai anggota EHM.

Pada dasarnya apa yang dilatih dan EHM kerjakan adalah untuk membangun imperium Amerika Serikat di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara berkembang yang kaya dengan sumber daya alam. Membawa, merekayasa situasi dimana berbagai sumberdaya (dunia) sebisa mungkin keluar dan mengalir deras menuju negara Amerika Serikat melalui manipulasi ekonomi, kecurangan, penipuan, bujukan agar Negara yang dibidik bersedia mengambil hutang raksasa yang ditawarkan sehingga hal tersebut di kemudian hari menjadi instrument politis untuk mengintervensi dan mengintimidasi Negara tersebut. 


Atas penugasan dari MAIN, sebuah konsultan independen usa, sebagai kamuflase bahwa sebetulnya penulis adalah orang yang ditunjuk oleh national security agency-nsa untuk membentuk korporatokrasi Amerika di negara-negara berkembang. Tugas pertama John Perkins adalah menghitung proyeksi ekonomi investasi sebuah negara berkembang, misalnya Indonesia yang kaya minyak dan pada waktu itu negara tersebut perlu diselamatkan dari paham komunisme. 


Setiap kesempatan akan dipergunakan untuk menyakinkan  suatu bangsa bahwa membeli berbagai barang adalah salah satu kewajiban sebagai warga negara dan menjarah bumi atau dalam bahasa halusnya mendayagunakan sumber daya alam adalah tindakan yang baik dilakukan atas nama laju ekonomi global dan hal itu akan memenuhi kepentingan yang lebih tinggi. Di Indonesia, dengan lihainya John Perkins bisa masuk ke jantung perencanaan pembangunan negara, sebagai anggota dari konsultan yang ditunjuk oleh Bappenas dan karenanya tentu akan mampu mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi Indonesia. Dalam buku itu juga disebutkan oleh John Perkins bahwa statistika ekonomi yang diajarkan di usa memang merupakan bagian dari strategi nsa untuk menguasai ekonomi dunia.

Pintu Masuk Neo-Kolonialisme Korporatokrasi bukanlah sebuah konspirasi, tetapi anggota-anggotanya mendukung nilai dan sasaran bersama. Salah satu fungsi korporatokrasi yang terpenting adalah mengabadikan dan secara terus menerus memperluas dan memperkuat sistem ketergantungan sebuah negara dengan menyajikan model ekonomi untuk meningkatkan konsumsi, konsumsi, konsumsi terutama barang impor negara maju dan melupakan kultur produktif. Kondisi tersebut diskenariokan dalam bentuk pinjaman untuk mengembangkan infrastruktur seperti: pembangkit tenaga listrik, jalan raya, pelabuhan, bandar udara atau kawasan industri. Salah satu syarat pinjaman adalah: perusahaan kontraktor dari negara Amerika Serikat-lah yang mesti membangun semua proyek itu. 

Cara melakukan ketergantungan negara kepada Amerika adalah dengan mendekati para pengambil kebijakan publik dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu untuk mengikat para pengambil kebijakan publik agar berpihak kepada mereka, yaitu perusahaan multinasional asal Amerika Serikat. Itu sebabnya puluhan tahun yang lalu, kita sering mendengar rumor tentang Mrs Ten Percent atas penguasaan saham-saham perusahaan multinasional yang memang sangat sukar dibuktikan. Begitu pula dengan saham-saham kosong (tanpa setoran alias saham pemberian) yang diberikan kepada keluarga pejabat di berbagai proyek pemerintah di berbagai sektor perekonomian Indonesia. 


Hingga kini, jejak korporatokrasi masih berbekas jelas dan sangat mungkin semakin berkembang dan merata. Bila pada era orde baru, KKN hanya dilakukan oleh pejabat pembuat kebijakan publik dari golongan eksekutif, maka pada era reformasi kkn dilakukan baik oleh kalangan eksekutif, judikatif maupun legislatif di hampir seluruh sektor ekonomi dan jenjang sosial masyarakat.

Pada level masyarakat awam, penjajahan ekonomi dilakukan melalui budaya pop dan gaya hidup konsumtif yang diperkenalkan dengan masuknya label-label dagang kelas dunia melalui sistem waralaba di berbagai bidang, mulai dari makanan, jasa, jaringan retail, barang-barang kebutuhan sehari-hari sampai dengan barang-barang sandang bermerek dunia. Tidak heran, bila berbagai merek dagang terkenal di dunia selalu memperhitungkan Indonesia khususnya Jakarta pada saat akan memperkenalkan produk barunya dan kita juga akan melihat betapa masyarakat kelas atas Indonesia sudah sedemikian familiarnya dengan beragam merek dagang kelas dunia yang harganya bisa membuat mata melotot.

Mungkin ada baiknya kalau kita sedikit kritis, dan bertanya-tanya mengapa bea siswa G to G lebih diutamakan untuk pegawai negeri sipil alias pns dan dosen dan belakangan ini bisa diperoleh siapapun dengan syarat "memiliki kontribusi tinggi dalam kehidupan masyarakat"?Hal ini tentu bukan tanpa maksud strategis. Pemberian bea siswa jenis tersebut, sejatinya merupakan salah satu upaya negara maju untuk mem brainwash kaum intelektual negara berkembang agar mindset mereka dalam menjalankan tugas dan aktifitasnya, memiliki tujuan akhir pekerjaan yang bukan lagi untuk kepentingan rakyat di negaranya, tapi diarahkan supaya setiap kebijakan publik yang diambilnya adalah untuk memuluskan korporatokrasi Amerika Serikat atau negara maju (pemberi bea siswa) lainnya di seluruh dunia.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, sejatinya adalah untuk melepaskan Indonesia dari belenggu korporatokrasi tersebut, tapi korporatokrasi sudah sedemikian erat mencengkeram benak orang Indonesia. Sudah 46 tahun (kalau dianggap mulai masuk tahun 1970) dan tentu ada terlalu banyak elite dan kroni yang terganggu kenyamanannya bila Indonesia lepas dari korporatokrasi tersebut. Ditambah lagi, sebagian masyarakat yang masih memiliki idealisme tinggi memang enggan berdebat/bersikap kritis secara terbuka.... Apalagi, sebagian masyarakatpun kini terbelenggu tiran baru berlabel keagamaan....

Maka.... akan dibawa kemana arah perkembangan NKRI ini?

Jumat, 18 November 2016

si MBOK

Pagi ini, aku membaca tulisan dari salah seorang rekan di akun facebook nya. Tulisan yang sangat menyentuh tentang berbagi, yang rasanya sudah sangat jarang terjadi pada masyarakat kapitalis perkotaan. Semoga menjadi pengingat bagi kita semua.
Selamat menunaikan ibadah shalat Jum'at berkah

S I M B O K

"Mbok,  kita kan sekarang cuma tinggal berdua, kenapa simbok tetap masak segitu banyak? Dulu waktu kita masih komplet berenam aja simbok masaknya selalu lebih. Mbok yao dikurangi, mbook...ben ngiriit.." kataku dengan mulut penuh makanan, masakan simbokku siang ini: nasi liwet anget, sambel trasi beraroma jeruk purut, tempe garit bumbu bawang uyah, sepotong ikan asin bakar dan jangan asem jowo. Menu surga bagiku.

Sambil membenahi letak kayu-kayu bakar di tungku, simbok menjawab, 
"Hambok yo ben toooo..."
"Mubazir, mbok. Kayak kita ini orang kaya aja.." sahutku.
"Opo iyo mubazir? Mana buktinya? Ndi jal?" tanya simbok kalem. 

Kadang aku benci melihat gaya kalem simbok itu. Kalo sudah begitu, ujung-ujungnya pasti aku bakal kalah argumen. 

"Lhaa itu? Tiap hari kan yo cuma simbok bagi-bagiin ke tetangga-tetangga to? Orang-orang yang liwat-liwat mau ke pasar itu barang??" aku ngeyel.
"Itu namanya sedekah, bukan mubazir.. Cah sekolah kok ra ngerti mbedakke sodakoh ro barang kebuang.."
"Sodakoh kok mban dino?! Koyo sing wes sugih-sugiho wae, mbooook mbok!" nadaku mulai tinggi.
"Ukuran sugih ki opo to, Kir?" 
Ah, gemes lihat ekspresi kalem simbok itu!

"Hayo turah-turah leh duwe opo-opo .... Ngono we ndadak tekon!" 

"Lha aku lak yo duwe panganan turah-turah to? Pancen aku sugih, mulo aku iso aweh...". 

Tangannya yang legam dengan kulit yang makin keriput menyeka peluh di pelipisnya. Lalu simbok menggeser dingkliknya, menghadap persis di depanku. Aku terdiam sambil meneruskan makanku, kehilangan selera untuk berdebat.


"Le, kita ini sudah dapat jatah rejeki masing-masing, tapi kewajiban kita kurang lebih sama: sebisa mungkin memberi buat liyan. Sugih itu keluasan atimu untuk memberi, bukan soal kumpulan banda brana. Nek nunggu bandamu mlumpuk lagek aweh, ndak kowe mengko rumongso isih duwe butuh terus, dadi ra tau iso aweh kanthi ikhlas. Simbokmu iki sugih, le,  mban dino duwe pangan turah-turah, dadi iso aweh, tur kudu aweh. Perkoro simbokmu iki ora duwe banda brana, iku dudu ukuran. Sing penting awake dewe iki ora kapiran, iso mangan, iso urip, iso ngibadah, kowe podo iso sekolah, podo dadi uwong.. opo ora hebat kuwi pinaringane Gusti Allah, ingatase simbokmu iki wong ora duwe tur ora sekolah?", simbok tersenyum adem.

"Iyo, iyoooooh.."
"Kowe arep takon ngopo kok aku masak akeh mban dino?"
"He eh."
"Ngene, Kir, mbiyen simbahmu putri yo mulang aku. Jarene: "Mut, nek masak ki diluwihi, ora ketang diakehi kuwahe opo segone. E....mbok menowo ono tonggo kiwo tengen wengi-wengi ketamon dayoh, kedatangan tamu jauh, atau anaknya lapar malam-malam, kan paling ora ono sego karo duduh jangan..".. ngono kuwi, le. Dadi simbok ki dadi kulino seko cilik nyediani kendi neng paran omah kanggo wong-wong sing liwat, nek mangsak mesti akeh ndak ono tonggo teparo mbutuhke. Pancen niate wes ngunu kuwi yo dadi ra tau jenenge panganan kebuang-buang... Paham?"

Aku diam. 
Kucuci tanganku di air baskom bekas simbok mencuci sayuran. Aku bangkit dari dingklikku di depan tungku, mengecup kening keriput simbokku, terus berlalu masuk kamar. 

Ah, simbok. 
Perempuan yang ngga pernah makan sekolahan dan menurutku miskin itu hanya belajar dari simboknya sendiri dan dari kehidupan, dan dia bisa begitu menghayati dan menikmati cintanya kepada sesama dengan caranya sendiri. Sementara aku, manusia modern yang bangga belajar kapitalisme dengan segala hitung-hitungan untung rugi, selalu khawatir akan hidup kekurangan. Lupa bahwa ada Tuhan yang menjamin hidup setiap mahluk bernyawa.

Simbokku benar: sugih itu kemampuan hati untuk memberi untuk liyan, bukan soal mengumpulkan harta untuk diri sendiri.

Selasa, 11 Oktober 2016

Pemilihan Kepala Daerah dalam Kajian sejarah Islam

Surat Al Maidah ayat 51 selalu menjadi perdebatan di media sosial Indonesia, tatkala pemilihan umum digelar. Saya menemukan tulisan yang sangat menarik berkenaan dengan ayat tersebut. Tanpa bermaksud untuk mendukung salah satu calon peserta pilkada 2017 yang akan datang, tulisan ini saya copy untuk menjadi bacaan agar kita dapat memahami kajian ayat 51 al Maidah dalam kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam.
***
Copas dr grup sebelah .......
Postingan sdr HS alumnus SR/ITB melalui FB.

Mohon izin kepada Admin untuk posting kajian pakar Sejarah Islam, agar kita tidak diadu-domba dan dicekoki pemahaman yang dipelintir: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."

Ayat di atas sedang populer sekarang. Ayat itu selalu populer menjelang pemilu. Dalam hal pilkada DKI yang salah satu calon kuatnya adalah Nasrani, ayat ini menjadi semakin kuat bergema. Tapi apakah ayat ini soal pemilu? Apakah ini ayat soal pemilihan gubernur? Menurut saya bukan. Sejarah Islam tidak pernah mengenal adanya pemilihan umum. Juga tak pernah ada pemilihan gubernur atau kepala daerah. Satu-satunya pemilihan yang pernah terjadi adalah pemilihan khalifah. Itu pun hanya 5 kali, dan hanya melibatkan sekelompok orang yang tinggal di Madinah. Gubernur khususnya adalah pejabat yang ditunjuk oleh khalifah. Tidak pernah dipilih.

Jadi ayat ini tentang apa? 

Apakah Wali atau awliya itu soal pemimpin wilayah atau daerah? 
Bukan. Bagaimana mungkin ada ayat yang mengatur tentang pemilihan pemimpin, padahal pemilihan itu tidak pernah terjadi?

Jadi, apa yang dimaksud? Apa makna wali atau awliya? 

Wali artinya pelindung, atau sekutu. Ketika Nabi ditekan di Mekah, beliau menyuruh kaum muslimin hijrah ke Habasyah (Ethopia). Rajanya seorang Nasrani, menerima orang-orang yang hijrah itu, melindungi mereka dari kejaran Quraisy Mekah. Inilah yang disebut wali, orang yang melindungi. Kejadian ini direkam dalam surat Al-Maidah juga, ayat 81.

Adapun ayat 51 yang melarang orang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pelindung itu adalah soal persekutuan dalam perang. Tidak ada sama sekali kaitannya dengan pemilihan pemimpin. Ini sudah pernah saya bahas, dan dibahas banyak orang.
***
Pagi ini, saya menyaksikan berita pilu. Orang-orang Arab dari Syiria dan Irak masih terus mengungsi. 

Ke mana? 
Ke Eropa. 
Siapa orang-orang Eropa itu? 
Muslimkah mereka? 
Sebagian besar tidak. Kebanyakan dari mereka, orang-orang Eropa itu, adalah Nasrani, atau atheis (musyrik). Tapi kini mereka menjadi pelindung bagi orang-orang muslim, persis seperti ketika kaum muslim hijrah ke Habasyah. Jadi, cobalah orang-orang yang rajin melafalkan ayat Al-Maidah 51 itu berkhotbah kepada para pengungsi itu. Katakan kepada mereka bahwa meminta perlindungan kepada Nasrani, menjadikan mereka wali atau awliya itu haram hukumnya. Bisakah?

Ironisnya, dari siapa mereka lari? 

Dari kaum kafir? 
Bukan. Mereka lari karena ditindas oleh pemimpin-pemimpin mereka sendiri, kaum muslim. Kaum muslim yang berebut kekuasaan. Utamanya Sunni melawan Syiah. Tahukah Anda bahwa bibit konflik Sunni-Syiah itu sudah terbentuk sejak Rasul wafat? Ketika orang-orang mulai kasak-kusuk untuk mencari siapa yang akan jadi khalifah, padahal jenazah Rasul belum lagi diurus. Permusuhan itu abadi, mengalirkan darah jutaan kaum muslimin sepanjang sejarah ribuan tahun, kekal hingga kini.

Tidakkah kita sebagai kaum muslim malu ketika saudara-saudara kita dizalimi oleh saudara kita yang lain, mereka meminta perlindungan kepada kaum Nasrani dan kafir? Tapi pada saat yang sama mulut kita fasih mengucap ayat-ayat yang memusuhi orang-orang Nasrani, memelihara permusuhan kepada mereka.

Ingatlah, musuh abadi kita sebenarnya bukan Yahudi dan Nasrani, melainkan rasa permusuhan itu sendiri. Rasa permusuhan itulah yang telah mengalirkan banyak darah kaum muslimin, mengalir menjadi kubangan darah sesama saudara. Sesama saudara pun bisa saling berbunuhan kalau ada permusuhan di antara mereka. Kenapa mereka berbunuhan? Politik! Perebutan kekuasaan.

Itulah yang sedang dilakukan banyak orang dengan memlintir Al-Maidah ayat 51. Berebut kekuasaan politik dengan mengobarkan permusuhan. Mereka sedang mengabadikan kebodohan yang sudah berlangsung 15 abad. 


Anda mau menjadi bagian dari kebodohan itu? 
Saya tidak. Karena saya tidak mau menjadi pengungsi seperti orang Syria

Senin, 10 Oktober 2016

Agama: Di Tengah Komoditas Politik dan Bisnis.

Ada tulisan menarik yang saya baca dari salah satu WA Group. Sepertinya ini juga tulisan yang disebar dari wa group yang satu kepada wa group yang lain. Inilah wajah masyarakat dunia di abad materialistis dimana sebagian orang "dipaksa dan terpaksa" mencari nilai spiritual di tengah ketatnya persaingan hidup.

Silakan dicermati dan dipahami untuk bahan introspeksi diri
***

“Agama itu suci, tapi pengikutnya tidak”.

Saya jadi teringat film PK, dibintangi oleh Amir Khan. Sebuah film yang sangat inspiratif; tentang bagaimana dalam beragama, kita kadang lebih patuh pada kyainya, pendetanya, biksunya, atau yang lainnya daripada agama itu sendiri. Film tersebut bahkan menjelaskan dengan satir, bahwa jangan-jangan proses keberagamaan kita dipenuhi “salah sambung” atau “wrong number”, karena apa yang kita lakukan, tidak langsung terhubung dengan Tuhan, masih melalui pengikut-pengikutNya yang lain. Tentu ini hanya perspektif yang berbeda, tapi bahwa ia menjadi fenomena dan dijumpai dalam banyak Agama, tentu saja iya.

Ini memasuki bulan-bulan Pilkada. Kita akan menyaksikan dalam proses mencari dukungan, Agama diajak lesehan ke warung dan gang-gang sempit untuk ikut berkampanye. Mereka berteriak kencang atas nama Agama, atas nama Tuhan. Dan karena Agama, siapa yang berani berbeda? Berbeda adalah nista. Maka, betapa dekatnya Agama dengan panggung politik, yang dengan sedikit intrik bisa meraup pengikut yang tidak sedikit. Fenomena ini kita temukan dimana-mana, di semua agama dan semua bangsa. Begitu pula dengan Agama dan bisnis. Dimas Kanjeng Taat Pribadi, meraup bahkan mungkin triliunan rupiah dari para pengikutnya untuk dijadikan mahar. Setelah terungkap, dan beritanya setiap hari bisa dinikmati dari berbagai media, kita baru tahu, bahwa jualan ajaran agama adalah yang menguntungkan.

Tidak hanya itu; mari kita renungkan sebuah satir yang sangat manis, yang saya peroleh dari laman FB Kongkow Bareng Gusdur:

Mari kita coba hitung berapa omzet ketika kita berbisnis agama. Contohnya ESQ, dengan 1,5 juta alumni, dan masing-masing alumni minimal membayar 1 juta bahkan yang tingkat eksekutif bisa membayar 10 juta maka omzet ESQ itu minimal 1,5 trilyun. Maka tidak heran ESQ bisa membangun gedung pencakar langit sendiri menara ESQ, padahal isi ESQ itu cuma menangis berjamaah dan isinyapun meniru model Hell House nya Kristen Fundamentalis Amerika dibumbui tipuan pseudosains.

Lalu ada gereja Bethany, Mawar Sharon, dan banyak beberapa gereja kharismatik lain, anggotanya kebanyakan orang kaya dan menengah yang menyerahkan sepersepuluh dari gaji atau keuntungannya untuk pendetanya. Kalau punya 10 saja anggota pengusaha cina yang kaya, itu sudah sama dengan punya usaha sendiri, padahal anggotanya bisa puluhan ribu orang dan seperti kita tahu, gereja Bethany Surabaya saja omzetnya 4 trilyun lebih dan bisa membangun gereja besar layaknya stadion. Belum termasuk gereja-gereja Bethany di kota-kota lain. Padahal isi gereja-gereja ini penuh kelucuan absurd misalnya bahasa roh orang meracau ga karuan yang dianggap datang dari roh kudus.

Lalu ada Yusuf Mansur yang menganjurkan orang untuk bersedekah kepadanya tanpa ada pertanggungjawaban keuangan sama sekali. Omzetnya pasti tidak kalah sama Dimas Kanjeng yang melampaui 1 trilyun. Kalau setingkat habib-habib yang suka istighosah itu omzet bisnisnya lebih kecil, jika sekali istighosah dihadiri setidaknya 2000 orang dan masing-masing nyumbang 20 ribu, maka dalam semalam bisa mengeruk 40 juta, jika bisa istighosah atau sholawatan sebulan 10 kali maka omzet habib ini mencapai 400 juta sebulan. Di agama Hindu pun banyak guru-guru beromzet trilyunan misalnya Sai Baba.

Satirnya: kalau mau kaya bisnislah agama. Ini bisnis aman karena customer tidak meminta uang kembali dan bahkan harus ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Produknya abstrak, intangible, dan mayoritas customer pasti puas. Dalam panggung politik pun begitu. Meski kita berkoar untuk tidak SARA, tapi negara demokrasi meniscayakan bolehnya berbagai pandangan.

Walhasil, Agama adalah motivasi paling sakral dalam hidup seseorang. Sekali dimainkan, hasilnya luar biasa menawan. Jangankan harta, nyawa pun akan dipertaruhkan.


Ditulis oleh:
Mustafa Afif
Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan, Madura. Aktif di Social Trust Fund UIN Syarif Hidayatullah Jakarta⁠⁠⁠⁠

Selasa, 04 Oktober 2016

SYLVIANA MURNI DALAM PUSARAN PILKADA DKI 2017

Whatsapp message yang dikirim (delivered) pada jam 04.39, baru saya baca sekitar jam 06.00. Hp dan tab memang saya set pada setelan don't disturb mode setiap jam 23.00 sampai dengan jam 06.00. Isi pesan di WA itu, rutin saja. Mengingatkan untuk melaksanakan shalat qabliyyah/shalat sunnah fajar sebelum shalat subuh, seperti pesan-pesan yang seringkali dikirimkannya pada saya selain pesan-pesan ajakan untuk shalat tahajjud. Jadi ..... saya tidak akan pernah memikirkan bahwa pengiriman pesan melalui WA tersebut dilakukan semata-mata sebagai pencitraan menjelang pilkada DKI 2017.

Saya memang jarang berhubungan dengannya. Selain pesan di WA tadi pagi, terakhir saya bicara melalui telpon beberapa jam sebelum deklarasi pencalonannya sebagai cawagub DKI 2017 bersama Agus Harimurty (calon gubernur) dari Partai Demokrat. Sejak sehari sebelumnya, saya memang sudah membaca berita tentang rencana penunjukkan Sylviana Murni sebagai pendamping Agus Harimurty. Secara etika sosial dan norma hubungan kemasyarakatan, wajar saja untuk memberi ucapan selamat, apalagi kalau dilihat dari "hubungan personal" antara saya dengan Sylviana Murni. Maka pagi hari tanggal 20 September 2016, saya mencoba menelponnya .... dan baru siang hari, menjelang waktu makan siang, dalam perjalanan menuju pasar Gedebage Bandung, saya berhasil bicara cukup lama setelah lebih dari satu tahun tidak bertemu.

Sylviana Murni, seingat saya baru muncul secara serius untuk digadang-gadang menjadi calon wakil gubernur, setelah ada wacana menjadikannya sebagai pasangan bagi Sandiaga Uno yang diusung oleh Partai Gerindra. Sebelumnya, tidak pernah ada wacana serius untuk mengangkat namanya dalam kancah pilkada 2017. Pernah sekali Ahok ditanya wartawan tentang kemungkinannya berpasangan dengan Sylviana Murni. Saat itu .... entah cuma basa-basi, atau serius, kalau tidak salah Ahok memang memuji kinerja SM dan Sarwo Handayani, keduanya adalah deputy gubernur yang disebutnya sebagai srikandi DKI Jakarta. Namun Ahok dan Teman Ahok lebih memilih Heru sebagai calon wakil gubernur DKI yang akan didukung melalui jalur independen. Sangat bisa dimengerti, karena tahun 2016 ini Sylviana sudah memasuki usia pensiun sebagai PNS Pemda DKI. 11 Oktober 2016, usianya akan genap 58 tahun. Jadi... wajar saja bila AHok ingin penyegaran di jajaran perangkat pemerintah daerah yang dipimpinnya.

Mengapa Gerindra tidak kunjung memilih Sylviana Murni sebagai cawagub mendampingi Sandi? (hehe .... nama panggilan ini akan mengingatkan nama anak sulung Sylviana Murni yang saat ini sudah berusia 34 tahun dan memberinya cucu 3 orang). Besar kemungkinan ada resistensi dari PKS yang berusaha untuk memasang Mardani Ali Sera-MAS sebagai cawagub berpasangan dengan Sandiaga Uno. Tarik menarik yang, menurut saya, kelak akan disesali setengah mati oleh Gerindra. Kepercayaan diri PKS yang terlalu tinggi atau mungkin kesombongan akan militansi grass root nya, membuat Gerindra lupa untuk mempelajari rekam jejak nama-nama yang berseliweran sebagai tokoh yang layak diajukan sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur yang akan diusungnya.

Sungguh mati ... sebagai orang yang melek media, baik media elektronik, media cetak maupun media sosial, saya tidak pernah mendengar sosok MAS dan prestasinya. Begitu juga dengan sosok Sandiaga Uno .... kecuali bahwa SU adalah pengusaha anak Mien R Uno yang pakar etiket dengan John Robert Power nya dan ... keributan tentang pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Jadi .... kalau MAS dipasangkan dengan SU, wah .... itu akan seperti menggarami air laut. Mendulang suara...? Pasti .....  minimal akan diperoleh suara dari grass root PKS yang militan. Di luar itu .... entahlah .... Sandiaga terlalu elitis. Dunianya adalah kalangan jetset Jakarta. Bukan dunia rakyat kebanyakan. Lihat saja bagaimana mimik wajahnya saat dia "dipaksa" naik metro mini untuk sesi foto pencitraan diri. Terlihat sangat tidak nyaman .... dan memang sangat tidak nyaman naik kendaraan umum sejenis metromini/kopaja, walaupun sama-sama disopiri, dibandingkan dengan mobil mewah yang selalu membawanya kemanapun dia inginkan. Yang patut disayangkan juga adalah peran ketua Dewan Pembina partai Gerindra. Sebagai mantan pangkostrad, Prabowo Subianto, mungkin lalai pada kekuatan investigasi intelijen untuk menyelidiki calon-calon gubernur dan wakil gubernur yang akan diusungnya.

Berkebalikan dengan itu, Demokrat, seperti kebiasaannya, menelikung di persimpangan jalan, tentu mengamati nama-nama yang beredar di masyarakat. Nama Sylviana Murni mungkin belum lama muncul dalam daftar cawagub yang akan diusung mendampingi sang putra mahkota ..... Bisa jadi, begitu nama SM muncul ke permukaan untuk dipasangkan dengan SU, maka mata sby mulai melirik dan memperhatikannya untuk disandingkan dengan putra mahkota dinastinya. Sebagai pendiri dan penyandang dana partai demokrat, mantan presiden RI ini mungkin tidak akan pernah merelakan partai yang didirikannya "dikuasai" oleh orang di luar dinastinya. Setelah anak keduanya dinobatkan menjadi sekretaris jenderal, percaya deh .... nggak akan ada yang berani menolak kehendak sang patron menunjuk anak sulungnya untuk maju pada pilkada 2017. Tidak peduli pada kesiapan kader partai itu sendiri atau memang pengkaderan di parpol-parpol Indonesia, kecuali partai golkar, tidak pernah ada. Pengurus partai akan mengiyakan apa mau sang patron, kecuali mereka yang punya kepercayaan diri tinggi, pegang kartu truff atau memiliki dukungan kekuatan politik yang solid seperti Hayono Isman.


Sylviana Murni pasti bukan nama asing bagi sby. Dia menjabat sebagai walikota Jakarta Pusat yang juga membawahi wilayah istana dan sekitarnya, di masa pemerintahan sby. Jadi sangat besar kemungkinannya SM berhubungan baik dengan istana dalam kapasitas sebagai walikota. Observasi sby terhadap sosoknya tentu sangat mendalam. SBY tentu tahu hubungan kekeluargaan SM dengan pembantu/pejabat pada masa pemerintahannya termasuk juga latar belakang keluarga inti, pendidikan, mungkin juga ambisi-ambisinya dan yang tidak kalah penting basis dukungan publiknya untuk mengimbangi sang putra mahkota yang miskin dukungan publik kecuali paras mudanya. 
***

Lahir sebagai anak ke 3 dari keluarga asli betawi pada tanggal 11 Oktober 1958, SM besar di lingkungan masyarakat betawi di Jl. Pisangan Lama I no.42 Jakarta Timur. Dia tumbuh sebagai pemberontak di keluarganya. Sebagaimana keluarga betawi pada umumnya, orangtuanya menyekolahkan anak-anaknya ke madrasah agar mereka pintar mengaji. Nggak salah dong .... bukankah kalau kita, bukan hanya pintar mengaji (baca al Qur'an) tetapi hendaknya mengamalkan apa yang tertulis dan tersirat dalam isi al Qur'an, akan membawa kita pada perilaku yang baik. Bukan hanya sekedar taat menjalankan ibadah (ritual) tetapi juga dalam hubungan horisontal terhadap sesama manusia.

Sylviana Murni adalah pemberontak yang berhasil "memaksa" orangtuanya untuk menyekolahkannya ke sekolah umum. Bukan madrasah sebagaimana kedua kakaknya. Maka jadilah dia menempuh sekolah dari SD - SMP - SMA di sekolah umum, lalu kuliah di universitas Jayabaya. Kiprahnya tidak terhenti disitu ... dengan kepintarannya bicara yang tidak pernah mau kalah dengan yang lain, dia juga berhasil "memaksa" orangtuanya untuk memberi ijin mengikuti ajang pemilihan none Jakarte. SM berhasil terpilih menjadi none Jakarte pada tahun1981.

Mengikuti perjalanan karier dan kiprahnya di pemerintahan, saya membayangkan bahwa SM mewakili dan mewarisi ambisi sosok ayahnya yang tentara. Pasti ada ambisi dan keinginan kuat untuk "mewujudkan" impian sang ayah, dengan segala cara. Salahkah ......? Tentu tidak .... Sebagai keturunan orang betawi, tentu ada keinginan besar untuk "mengangkat" etnis betawi yang selama ini terpinggirkan untuk maju. Minimal "berkuasa" di kampung halamannya sendiri, di Jakarta yang ibukota negara Republik Indonesia. Betawi selalu berkonotasi "bodoh dan terpinggirkan" dan sangat wajar bila putra dan putri Betawi ingin mengubah citra tersebut. Bukankah dalam setiap ajang pemilihan kepala daerah, wacana kepala daerah adalah putra daerah selalu muncul? Kenapa di DKI Jakarta, kota utama di Indonesia yang menjadi ibukota negara, harapan tersebut harus diredam? Jadi memang tidak salah bila harapan menjadi gubernur DKI tidak dapat diraihnya, maka menjadi wakil gubernurpun tak apa..... Siapa tahu dalam perjalanannya, ada perubahan arah politik ....... seperti nasib yang membawa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke kursi DKI1.

Memasangkan AHY dengan SM menurut saya adalah langkah cerdas yang diambil sby. PS boleh gigit jari dengan mengusung AB-SU dan juga boleh menyesali keterlambatannya mengambil keputusan memasangkan SU dengan SM karena digandoli PKS. Pasangan anak-ibu yang diusung Demokrat ini akan relatif lebih mudah memperoleh raihan suara masyarakat DKI Jakarta dibandingkan dengan pasangan AB-SU. Kenapa saya bilang begitu? Dibandingkan dengan AB-SU dan bahkan AHY sendiri, SM lebih memiliki basis pendukung riel. Kalau dia bekerja baik, murah hati dan "mengerti permainan" sehingga everybody happy dan bawahannya senang hati, minimal staff dan karyawan di dinas yang pernah dipimpinnya, antara lain Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah, Satuan Polisi Pamong Praja, kantor walikota Jakarta Pusat dan Jakarta Barat serta di kedeputian Pariwisata DKI akan mendukung dan memilihnya. Belum lagi di organisasi-organisasi kemasyarakatan yang pernah dan masih diikutinya. Minimal di Pramuka kwartir daerah DKI Jaya, lalu juga dukungan-dukungan di masyarakat betawi melalui badan musyawarah Betawi dan organisasi sejenis yang mengangkat kebetawiannya. Akses dan aktifitas kemasyarakatan tersebut pasti tidak dimiliki oleh cagub dan cawagub "salon" lainnya yang masih berkutat pada pencitraan semu. 


Dalam hal pencitraan dan interpersonal skill, SM juga sangat piawai, apalagi dibarengi dengan wajah cantiknya yang selalu tersenyum. Itu juga yang membuat saya bingung, kriteria apa yang membuat kotamadya Jakarta Pusat meraih 2 kali berturutan anugerah Adipura. Entah wilayah mana yang dinilai, karena daerah kumuh di Jakarta Pusat tidak pernah tersentuh perbaikan. Tanah Abang masih kumuh, dan baru berhasil dibenahi pada era Jokowi Ahok. Begitu pula dengan wilayah di perkampungan Kalibaru-Senen, Pejompongan/Pal Merah. Jadi ..... kalau sudah bicara mengenai "merebut" simpati pemilih, pasangan AHY-SM sudah bisa dipastikan akan menyaingi kepopuleran Ahok-Jarot. 

Pasangan AHY-SM, akan belajar banyak atau bahkan diinstruksikan sby mengenai kiat-kiatnya saat mempersiapkan kampanye dan pemenangan pilpres yang dimenanginya selama 2 periode. Mereka sangat mungkin memainkan peran "kaum berdarah biru" yang ganteng dan cantik. Masyarakat penggemar sinetron, dan pasti masih banyak di wilayah DKI Jakarta. Mereka pasti sangat suka dengan citra feodal seperti itu. Pejabat masih dicitrakan sebagaimana "kerabat kerajaan" jaman purba. Mereka adalah yang berpenampilan santun, cantik/ganteng dan memiliki pendidikan lebih tinggi dari rakyat kebanyakan. Entah bagaimana kinerja dan perilakunya, mungkin bisa tertutup oleh penampilan fisik. Begitulah kriteria pemimpin era feodal. Pasangan Ahok-Jarot hanya memiliki "kinerja yang sudah dibuktikan" yang saat ini mati-matian di down-grade oleh para pembencinya. Pasangan AHY-SM juga pasti punya banyak kelebihan dari pasangan AB-SU. Jadi .... kalau masyarakat ingin Ahok-Jarot, meneruskan masa jabatannya, maka pasangan ini harus menang dalam 1 kali putaran. Kalau tidak, perjuangan pada putaran ke 2 yang kemungkinan besar akan berhadapan dengan AHY-SM akan jauh lebih berat. Entah apakah PKS akan memainkan issue "haram memilih perempuan sebagai pemimpin" dengan asumsi kalau terjadi sesuatu dengan AHY, sebagaimana dugaan bahwa ybs akan maju pada pilpres 2019, maka SM akan naik menjadi gubernur, mengikuti Ahok pada 2015 yang lalu. Ah ... PKS mungkin akan mencari seribu dalih untuk membenarkan keputusan-keputusan politiknya atau mungkin akan ada deal tertentu antara gerindra-pks dengan kubu cikeas.

Namun demikian, apa yang bisa diharapkan dari seorang SM yang birokrat sejati?
Tahu nggak, apa yang dipegang oleh seorang birokrat sejati? Tidak ada inovasi, menunggu arahan dan semua pekerjaan akan selalu "dikekang" oleh peraturan. Diskresi ....? Mana berani? Memangnya mau kembali ke jaman orba, yang segalanya didalihkan diskresi ... Begitu yang sekarang dihembuskan para haters untuk menghantam Ahok dengan banyaknya kebijakan yang dibuatnya demi menyiasati keuangan pemda DKI setelah apbdnya terganjal oleh dprd.
***
Saya jadi teringat, suatu senja beberapa tahun yang lalu, mendapat pesan melalui bbm dar SM untuk melihat rekaman wawancaranya yang ditayangkan pada saat itu, di salah satu TV lokal, bertajuk (kalau tidak salah) "Memindahkan ibukota negara dari Jakarta".  Saya lupa dalam jabatan apa, dia saat itu, namun pada saat menonton itu pula, saya mengkritisi beberapa jawabannya dan berargumen mengenai beratnya beban fungsi pelayanan masyarakat yang disandang Jakarta. Namun dia bersikukuh dengan jawaban pamungkasnya:
"Sebagai pejabat publik, saya memang harus berpegang pada kebijakan yang telah disepakati, walau terkadang bertentangan dengan hati nurani"

Benar atau tidak jawaban apakah "kewajiban" yang harus dipegang teguh oleh pejabat publik untuk berbicara sesuai aturan dan norma, walaupun untuk itu harus menyuarakan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani? Tergantung dari kacamata setiap orang. Namun pada era pemerintahan Joko Widodo sebagai presiden RI, saya melihat dan merasakan bahwa sekarang, banyak pejabat yang mengedepankan hati nurani untuk menjalankan apa yang dianggap baik dan benar, walaupun bertentangan dengan "kebiasaan dan aturan main" yang berlaku normal. Kita lihat, betapa Susi Pudjiastuti menjungkir-balikkan kondisi "aman, damai dan tenteram" di wilayah kelautan, dengan cara membakar dan menenggelamkan ratusan kapal penangkap ikan.

Era pencitraan dibalik topeng-topeng peraturan untuk menutupi perilaku korup dan kongkalikong sudah harus berhenti dan selesai. Kita sudah memasuki era MEA dan persaingan global yang keras dan menggila. Keras karena etika seringkali diterabas dan menggila karena kita sudah tidak bisa tahu lagi, dimana kebenaran, manakala kebohongan massal lebih dipercaya daripada kebenaran yang disuarakan dalam sunyi.

#prihatinpilkada2017

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...