Selasa, 04 Oktober 2016

SYLVIANA MURNI DALAM PUSARAN PILKADA DKI 2017

Whatsapp message yang dikirim (delivered) pada jam 04.39, baru saya baca sekitar jam 06.00. Hp dan tab memang saya set pada setelan don't disturb mode setiap jam 23.00 sampai dengan jam 06.00. Isi pesan di WA itu, rutin saja. Mengingatkan untuk melaksanakan shalat qabliyyah/shalat sunnah fajar sebelum shalat subuh, seperti pesan-pesan yang seringkali dikirimkannya pada saya selain pesan-pesan ajakan untuk shalat tahajjud. Jadi ..... saya tidak akan pernah memikirkan bahwa pengiriman pesan melalui WA tersebut dilakukan semata-mata sebagai pencitraan menjelang pilkada DKI 2017.

Saya memang jarang berhubungan dengannya. Selain pesan di WA tadi pagi, terakhir saya bicara melalui telpon beberapa jam sebelum deklarasi pencalonannya sebagai cawagub DKI 2017 bersama Agus Harimurty (calon gubernur) dari Partai Demokrat. Sejak sehari sebelumnya, saya memang sudah membaca berita tentang rencana penunjukkan Sylviana Murni sebagai pendamping Agus Harimurty. Secara etika sosial dan norma hubungan kemasyarakatan, wajar saja untuk memberi ucapan selamat, apalagi kalau dilihat dari "hubungan personal" antara saya dengan Sylviana Murni. Maka pagi hari tanggal 20 September 2016, saya mencoba menelponnya .... dan baru siang hari, menjelang waktu makan siang, dalam perjalanan menuju pasar Gedebage Bandung, saya berhasil bicara cukup lama setelah lebih dari satu tahun tidak bertemu.

Sylviana Murni, seingat saya baru muncul secara serius untuk digadang-gadang menjadi calon wakil gubernur, setelah ada wacana menjadikannya sebagai pasangan bagi Sandiaga Uno yang diusung oleh Partai Gerindra. Sebelumnya, tidak pernah ada wacana serius untuk mengangkat namanya dalam kancah pilkada 2017. Pernah sekali Ahok ditanya wartawan tentang kemungkinannya berpasangan dengan Sylviana Murni. Saat itu .... entah cuma basa-basi, atau serius, kalau tidak salah Ahok memang memuji kinerja SM dan Sarwo Handayani, keduanya adalah deputy gubernur yang disebutnya sebagai srikandi DKI Jakarta. Namun Ahok dan Teman Ahok lebih memilih Heru sebagai calon wakil gubernur DKI yang akan didukung melalui jalur independen. Sangat bisa dimengerti, karena tahun 2016 ini Sylviana sudah memasuki usia pensiun sebagai PNS Pemda DKI. 11 Oktober 2016, usianya akan genap 58 tahun. Jadi... wajar saja bila AHok ingin penyegaran di jajaran perangkat pemerintah daerah yang dipimpinnya.

Mengapa Gerindra tidak kunjung memilih Sylviana Murni sebagai cawagub mendampingi Sandi? (hehe .... nama panggilan ini akan mengingatkan nama anak sulung Sylviana Murni yang saat ini sudah berusia 34 tahun dan memberinya cucu 3 orang). Besar kemungkinan ada resistensi dari PKS yang berusaha untuk memasang Mardani Ali Sera-MAS sebagai cawagub berpasangan dengan Sandiaga Uno. Tarik menarik yang, menurut saya, kelak akan disesali setengah mati oleh Gerindra. Kepercayaan diri PKS yang terlalu tinggi atau mungkin kesombongan akan militansi grass root nya, membuat Gerindra lupa untuk mempelajari rekam jejak nama-nama yang berseliweran sebagai tokoh yang layak diajukan sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur yang akan diusungnya.

Sungguh mati ... sebagai orang yang melek media, baik media elektronik, media cetak maupun media sosial, saya tidak pernah mendengar sosok MAS dan prestasinya. Begitu juga dengan sosok Sandiaga Uno .... kecuali bahwa SU adalah pengusaha anak Mien R Uno yang pakar etiket dengan John Robert Power nya dan ... keributan tentang pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Jadi .... kalau MAS dipasangkan dengan SU, wah .... itu akan seperti menggarami air laut. Mendulang suara...? Pasti .....  minimal akan diperoleh suara dari grass root PKS yang militan. Di luar itu .... entahlah .... Sandiaga terlalu elitis. Dunianya adalah kalangan jetset Jakarta. Bukan dunia rakyat kebanyakan. Lihat saja bagaimana mimik wajahnya saat dia "dipaksa" naik metro mini untuk sesi foto pencitraan diri. Terlihat sangat tidak nyaman .... dan memang sangat tidak nyaman naik kendaraan umum sejenis metromini/kopaja, walaupun sama-sama disopiri, dibandingkan dengan mobil mewah yang selalu membawanya kemanapun dia inginkan. Yang patut disayangkan juga adalah peran ketua Dewan Pembina partai Gerindra. Sebagai mantan pangkostrad, Prabowo Subianto, mungkin lalai pada kekuatan investigasi intelijen untuk menyelidiki calon-calon gubernur dan wakil gubernur yang akan diusungnya.

Berkebalikan dengan itu, Demokrat, seperti kebiasaannya, menelikung di persimpangan jalan, tentu mengamati nama-nama yang beredar di masyarakat. Nama Sylviana Murni mungkin belum lama muncul dalam daftar cawagub yang akan diusung mendampingi sang putra mahkota ..... Bisa jadi, begitu nama SM muncul ke permukaan untuk dipasangkan dengan SU, maka mata sby mulai melirik dan memperhatikannya untuk disandingkan dengan putra mahkota dinastinya. Sebagai pendiri dan penyandang dana partai demokrat, mantan presiden RI ini mungkin tidak akan pernah merelakan partai yang didirikannya "dikuasai" oleh orang di luar dinastinya. Setelah anak keduanya dinobatkan menjadi sekretaris jenderal, percaya deh .... nggak akan ada yang berani menolak kehendak sang patron menunjuk anak sulungnya untuk maju pada pilkada 2017. Tidak peduli pada kesiapan kader partai itu sendiri atau memang pengkaderan di parpol-parpol Indonesia, kecuali partai golkar, tidak pernah ada. Pengurus partai akan mengiyakan apa mau sang patron, kecuali mereka yang punya kepercayaan diri tinggi, pegang kartu truff atau memiliki dukungan kekuatan politik yang solid seperti Hayono Isman.


Sylviana Murni pasti bukan nama asing bagi sby. Dia menjabat sebagai walikota Jakarta Pusat yang juga membawahi wilayah istana dan sekitarnya, di masa pemerintahan sby. Jadi sangat besar kemungkinannya SM berhubungan baik dengan istana dalam kapasitas sebagai walikota. Observasi sby terhadap sosoknya tentu sangat mendalam. SBY tentu tahu hubungan kekeluargaan SM dengan pembantu/pejabat pada masa pemerintahannya termasuk juga latar belakang keluarga inti, pendidikan, mungkin juga ambisi-ambisinya dan yang tidak kalah penting basis dukungan publiknya untuk mengimbangi sang putra mahkota yang miskin dukungan publik kecuali paras mudanya. 
***

Lahir sebagai anak ke 3 dari keluarga asli betawi pada tanggal 11 Oktober 1958, SM besar di lingkungan masyarakat betawi di Jl. Pisangan Lama I no.42 Jakarta Timur. Dia tumbuh sebagai pemberontak di keluarganya. Sebagaimana keluarga betawi pada umumnya, orangtuanya menyekolahkan anak-anaknya ke madrasah agar mereka pintar mengaji. Nggak salah dong .... bukankah kalau kita, bukan hanya pintar mengaji (baca al Qur'an) tetapi hendaknya mengamalkan apa yang tertulis dan tersirat dalam isi al Qur'an, akan membawa kita pada perilaku yang baik. Bukan hanya sekedar taat menjalankan ibadah (ritual) tetapi juga dalam hubungan horisontal terhadap sesama manusia.

Sylviana Murni adalah pemberontak yang berhasil "memaksa" orangtuanya untuk menyekolahkannya ke sekolah umum. Bukan madrasah sebagaimana kedua kakaknya. Maka jadilah dia menempuh sekolah dari SD - SMP - SMA di sekolah umum, lalu kuliah di universitas Jayabaya. Kiprahnya tidak terhenti disitu ... dengan kepintarannya bicara yang tidak pernah mau kalah dengan yang lain, dia juga berhasil "memaksa" orangtuanya untuk memberi ijin mengikuti ajang pemilihan none Jakarte. SM berhasil terpilih menjadi none Jakarte pada tahun1981.

Mengikuti perjalanan karier dan kiprahnya di pemerintahan, saya membayangkan bahwa SM mewakili dan mewarisi ambisi sosok ayahnya yang tentara. Pasti ada ambisi dan keinginan kuat untuk "mewujudkan" impian sang ayah, dengan segala cara. Salahkah ......? Tentu tidak .... Sebagai keturunan orang betawi, tentu ada keinginan besar untuk "mengangkat" etnis betawi yang selama ini terpinggirkan untuk maju. Minimal "berkuasa" di kampung halamannya sendiri, di Jakarta yang ibukota negara Republik Indonesia. Betawi selalu berkonotasi "bodoh dan terpinggirkan" dan sangat wajar bila putra dan putri Betawi ingin mengubah citra tersebut. Bukankah dalam setiap ajang pemilihan kepala daerah, wacana kepala daerah adalah putra daerah selalu muncul? Kenapa di DKI Jakarta, kota utama di Indonesia yang menjadi ibukota negara, harapan tersebut harus diredam? Jadi memang tidak salah bila harapan menjadi gubernur DKI tidak dapat diraihnya, maka menjadi wakil gubernurpun tak apa..... Siapa tahu dalam perjalanannya, ada perubahan arah politik ....... seperti nasib yang membawa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke kursi DKI1.

Memasangkan AHY dengan SM menurut saya adalah langkah cerdas yang diambil sby. PS boleh gigit jari dengan mengusung AB-SU dan juga boleh menyesali keterlambatannya mengambil keputusan memasangkan SU dengan SM karena digandoli PKS. Pasangan anak-ibu yang diusung Demokrat ini akan relatif lebih mudah memperoleh raihan suara masyarakat DKI Jakarta dibandingkan dengan pasangan AB-SU. Kenapa saya bilang begitu? Dibandingkan dengan AB-SU dan bahkan AHY sendiri, SM lebih memiliki basis pendukung riel. Kalau dia bekerja baik, murah hati dan "mengerti permainan" sehingga everybody happy dan bawahannya senang hati, minimal staff dan karyawan di dinas yang pernah dipimpinnya, antara lain Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah, Satuan Polisi Pamong Praja, kantor walikota Jakarta Pusat dan Jakarta Barat serta di kedeputian Pariwisata DKI akan mendukung dan memilihnya. Belum lagi di organisasi-organisasi kemasyarakatan yang pernah dan masih diikutinya. Minimal di Pramuka kwartir daerah DKI Jaya, lalu juga dukungan-dukungan di masyarakat betawi melalui badan musyawarah Betawi dan organisasi sejenis yang mengangkat kebetawiannya. Akses dan aktifitas kemasyarakatan tersebut pasti tidak dimiliki oleh cagub dan cawagub "salon" lainnya yang masih berkutat pada pencitraan semu. 


Dalam hal pencitraan dan interpersonal skill, SM juga sangat piawai, apalagi dibarengi dengan wajah cantiknya yang selalu tersenyum. Itu juga yang membuat saya bingung, kriteria apa yang membuat kotamadya Jakarta Pusat meraih 2 kali berturutan anugerah Adipura. Entah wilayah mana yang dinilai, karena daerah kumuh di Jakarta Pusat tidak pernah tersentuh perbaikan. Tanah Abang masih kumuh, dan baru berhasil dibenahi pada era Jokowi Ahok. Begitu pula dengan wilayah di perkampungan Kalibaru-Senen, Pejompongan/Pal Merah. Jadi ..... kalau sudah bicara mengenai "merebut" simpati pemilih, pasangan AHY-SM sudah bisa dipastikan akan menyaingi kepopuleran Ahok-Jarot. 

Pasangan AHY-SM, akan belajar banyak atau bahkan diinstruksikan sby mengenai kiat-kiatnya saat mempersiapkan kampanye dan pemenangan pilpres yang dimenanginya selama 2 periode. Mereka sangat mungkin memainkan peran "kaum berdarah biru" yang ganteng dan cantik. Masyarakat penggemar sinetron, dan pasti masih banyak di wilayah DKI Jakarta. Mereka pasti sangat suka dengan citra feodal seperti itu. Pejabat masih dicitrakan sebagaimana "kerabat kerajaan" jaman purba. Mereka adalah yang berpenampilan santun, cantik/ganteng dan memiliki pendidikan lebih tinggi dari rakyat kebanyakan. Entah bagaimana kinerja dan perilakunya, mungkin bisa tertutup oleh penampilan fisik. Begitulah kriteria pemimpin era feodal. Pasangan Ahok-Jarot hanya memiliki "kinerja yang sudah dibuktikan" yang saat ini mati-matian di down-grade oleh para pembencinya. Pasangan AHY-SM juga pasti punya banyak kelebihan dari pasangan AB-SU. Jadi .... kalau masyarakat ingin Ahok-Jarot, meneruskan masa jabatannya, maka pasangan ini harus menang dalam 1 kali putaran. Kalau tidak, perjuangan pada putaran ke 2 yang kemungkinan besar akan berhadapan dengan AHY-SM akan jauh lebih berat. Entah apakah PKS akan memainkan issue "haram memilih perempuan sebagai pemimpin" dengan asumsi kalau terjadi sesuatu dengan AHY, sebagaimana dugaan bahwa ybs akan maju pada pilpres 2019, maka SM akan naik menjadi gubernur, mengikuti Ahok pada 2015 yang lalu. Ah ... PKS mungkin akan mencari seribu dalih untuk membenarkan keputusan-keputusan politiknya atau mungkin akan ada deal tertentu antara gerindra-pks dengan kubu cikeas.

Namun demikian, apa yang bisa diharapkan dari seorang SM yang birokrat sejati?
Tahu nggak, apa yang dipegang oleh seorang birokrat sejati? Tidak ada inovasi, menunggu arahan dan semua pekerjaan akan selalu "dikekang" oleh peraturan. Diskresi ....? Mana berani? Memangnya mau kembali ke jaman orba, yang segalanya didalihkan diskresi ... Begitu yang sekarang dihembuskan para haters untuk menghantam Ahok dengan banyaknya kebijakan yang dibuatnya demi menyiasati keuangan pemda DKI setelah apbdnya terganjal oleh dprd.
***
Saya jadi teringat, suatu senja beberapa tahun yang lalu, mendapat pesan melalui bbm dar SM untuk melihat rekaman wawancaranya yang ditayangkan pada saat itu, di salah satu TV lokal, bertajuk (kalau tidak salah) "Memindahkan ibukota negara dari Jakarta".  Saya lupa dalam jabatan apa, dia saat itu, namun pada saat menonton itu pula, saya mengkritisi beberapa jawabannya dan berargumen mengenai beratnya beban fungsi pelayanan masyarakat yang disandang Jakarta. Namun dia bersikukuh dengan jawaban pamungkasnya:
"Sebagai pejabat publik, saya memang harus berpegang pada kebijakan yang telah disepakati, walau terkadang bertentangan dengan hati nurani"

Benar atau tidak jawaban apakah "kewajiban" yang harus dipegang teguh oleh pejabat publik untuk berbicara sesuai aturan dan norma, walaupun untuk itu harus menyuarakan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani? Tergantung dari kacamata setiap orang. Namun pada era pemerintahan Joko Widodo sebagai presiden RI, saya melihat dan merasakan bahwa sekarang, banyak pejabat yang mengedepankan hati nurani untuk menjalankan apa yang dianggap baik dan benar, walaupun bertentangan dengan "kebiasaan dan aturan main" yang berlaku normal. Kita lihat, betapa Susi Pudjiastuti menjungkir-balikkan kondisi "aman, damai dan tenteram" di wilayah kelautan, dengan cara membakar dan menenggelamkan ratusan kapal penangkap ikan.

Era pencitraan dibalik topeng-topeng peraturan untuk menutupi perilaku korup dan kongkalikong sudah harus berhenti dan selesai. Kita sudah memasuki era MEA dan persaingan global yang keras dan menggila. Keras karena etika seringkali diterabas dan menggila karena kita sudah tidak bisa tahu lagi, dimana kebenaran, manakala kebohongan massal lebih dipercaya daripada kebenaran yang disuarakan dalam sunyi.

#prihatinpilkada2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...