Kamis, 10 Maret 2016

KANTONG PLASTIK dan KEBIJAKAN SETENGAH HATI

Kekhawatiran besar akan dampak lingkungan karena penggunaan kantong plastik yang sangat berlebihan di Indonesia serta perilaku membuang sampah yang tidak terkendali dan sembarangan pada sebagian besar masyarakan, maka terhitung tanggal 21 Februari 2016 yang lalu, pemerintah Indonesia melalui kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memberlakukan uji coba ketentuan kantong plastik berbayar di 22 kota di Indonesia. Ketentuan ini, sepertinya hanya berlaku di supermarket hingga hypermarket, toko-toko terkemuka yang berada di mall dan pertokoan modern lainnya. Tidak secara menyeluruh.

Sudah lebih dari 2 minggu sejak aturan tersebut diujicobakan, perilaku masyarakat belum berubah. Masyarakat masih cenderung membayar kantong plastik yang disediakan toko dibandingkan membawa kantong belanja sendiri. Bisa jadi, salah satu penyebab keengganan masyarakat beralih dari kantong plastik adalah karena harga yang dikenakan untuk setiap kantong plastik terlalu murah, hanya Rp.200,- per lembar walau ada beberapa toko yang menerapkan harga Rp.500,- per lembar untuk kantong plastik dengan ukuran yang lebih besar. Akibatnya pembeli lebih memilih tetap memakai kantong plastik dari toko dibandingkan membawa tempat sendiri.

Masalah lain yang menjadi pertanyaan besar adalah kemana uang hasil penjualan plastik itu disalurkan? Bukankan kantong plastik, berapapun jumlah yang digunakan oleh konsumen, sudah diperhitungkan harganya ke dalam barang yang dijual atau menjadi bagian dari biaya operasional. Apakah itu berarti bahwa peritel "menangguk keuntungan" atas hasil penjualan plastik tersebut, yang sebelumnya menjadi biaya? Atau diserahkan kepada pemerintah untuk membangun instalasi pengolahan sampah plastik? Hingga saat ini, tidak ada satupun instansi yang bertanggung jawab atau bersedia memberikan jawaban atas kelanjutan dari kebijakan pengurangan penggunaaan kantong plastik. 


Jika pemerintah atau peritel tidak punya kebijakan penggunaan dana tersebut untuk kegiatan lingkungan, itu berarti konsumen menyumbang alias memberi keuntungan tambahan bagi peritel. Kalau begitu, apa maksud surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membatasi penggunaan plastik yang dianggap merusak lingkungan itu? Sepertinya, inilah kebijakan setengah hati dan tidak tuntas dipikirkan. Atau.... kebijakan ini diberlakukan terburu-buru untuk memperingati suatu perayaan berkenaan dengan lingkungan hidup? Toh baru uji coba .... Jadi masih bisa direvisi ....

Niat mengurangi sampah plastik rasanya harus dilakukan dengan tuntas. Betul-betul harus ZERO PLASTIK. Bukan kantong plastik berbayar, berapapun harganya. Pemerintah harus ingat, bahwa diluar dari kantong kresek yang digunakan konsumen untuk membawa barang belanjaannya, peritel dan toko-toko modern lainnya masih menggunakan plastik untuk membungkus barang dagangannya supaya rapih. Lihat saja buku-buku di toko, semua terbungkus plastik, makanan, buah-2an seperti anggur selalu terbungkus tidak saja oleh plastik yang dikenal dengan sebutan sebagai plastic wrap tetapi juga dialasi oleh styrofoam. Jadi tujuan untuk membatasi penggunaan plastik agaknya belum tercapai. Mengurangi jumlahnya saja, masih sangat berat.

Memberlakukan kantong plastik berbayar hanya akan membuat masyarakat memilih membawa kantong belanja sendiri dibandingkan membeli. Percaya deh ... kalau hanya berharga sampai dengan Rp.1.000,- per lembarpun, masih banyak anggota masyarakat yang mau membayarnya daripada membawa kantong atau tas belanja dari rumah. Kalau pemerintah mau konsekuen dengan kebijakan pengurangan pengunaan kantong plastik, berlakukan saja ZERO PLASTIC. 


Kalaupun peritel mau memberikan pelayanan lebih, karena toh harga plastik sebetulnya sudah masuk dalam biaya operasional, terapkan saja keharusan memberikan kantong kertas. Kalau barang belanjaannya berat... sediakan kantong kain blacu berbayar dengan segala ukuran. Harganya pasti lebih mahal.... Dengan penggunaan kantong plastik pasti akan berkurang, konsumen tidak terlalu dirugikan karena toh kantongnya bisa dipakai berulangkali, sekaligus memutus syak wasangka atas penggunaan dana yang terkumpul peritel atas penjualan kantong plastik.

Selanjutnya, berlakukan juga bahwa pembungkus sayur2an wajib menggunakan kertas. Di negara-negara maju, hal ini sudah umum berlaku. Kalau di Indonesia, semua pedagang dimanapun mereka berjualan. Dari kelas atas hingga kelas pinggir jalan, penggunaan kantong plastik seakan menjadi suatu kebiasaan, kalau tidak bisa dikatakan sebagai suatu keharusan. Di negara maju, pembungkus (terutama) makanan yang dijajakan pedagang kecil selalu menggunakan kantong kertas polos/bergambar berwarna coklat. Mereka sangat jarang memberikan kita barang yang dibeli dalam kantong kresek, kecuali kalau kita membeli dalam jumlah besar.

Alangkah baiknya bila peritel mengalokasikan dana pembelian kantong plastik tersebut menjadi subsidi bagi kantong kain yang lebih ramah lingkungan.agar harganya menjadi tidak terlalu mahal.

Upaya menuju zero plastik pasti masih sangat panjang dan berliku. Jadi, untuk kelas masyarakat menengah dan konsumen supermarket hingga hypermarket, tujuannya bukan hanya plastik berbayar, tetapi sudah harus NOL PLASTIK. Kalaupun mau berbayar .... BAYARLAH KANTONG KAIN BLACU. Dengan kebijakan inipun pengurangan plastik belum akan optimum, karena masih banyak sektor perdagangan kelas bawah yang menggunakan plastik kualitas rendah dan menggunakannya secara serampangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...