Atas ijin penulisnya, yaitu bapak SATRIA DHARMA, saya merepost tulisan yang sangat menarik ini. Untuk itu, saya sampaikan terima kasih kepada pak Satria Dharma, atas ijin yang disampaikannya melalui email pribadi.
***
Salah seorang tante saya, kakak dari ibu saya (kalau di Jawa disebut Bude), yang bernama Siti Aisyah (atau sering kami panggil dengan ‘Tante Isa’) adalah satu-satunya tante kami yang tidak bersekolah. Meski demikian beliau tidaklah buta huruf. Beliau bisa mengaji karena bisa membaca huruf hijaiyah. Tapi beliau memang tidak bisa membaca huruf latin karena tidak bersekolah. Dulu beliau pernah bersekolah entah sampai kelas berapa tapi kemudian karena ada persoalan apa akhirnyamenolak untuk bersekolah. Beliau keluar dari sekolah sebelum mampu membaca.
Pada waktu itu kakek dan nenek kami tidak memaksanya untuk meneruskan sekolah. Entah apa pertimbangannya. Tapi mereka tetap meminta tante Isa untuk belajar mengaji di rumah. Karena tante Isa tidak bersekolah dan tidak belajar membaca huruf Latin maka boleh dikata beliau sebenarnya itu ‘unlearned’ alias tidak memiliki pengetahuan meski bisa mengaji. Karena beliau bisa membaca Alquran maka satu-satunya bacaan beliau adalah Alquranul Karim yang terus menerus dibacanya. Begitu khatam beliau membacanya lagi dari awal sampai khatam dan diulanginya lagi. Entah sudah berapa ratus kali beliau khatam Alquran karena rajinnya beliau mengaji. Tak ada saudaranya, apalagi keponakannya, yang mampu mengalahkan beliau dalam soal mengkhatamkan Alquran. Semoga amalannya ini akan mengantarkan beliau ke sorga. Amin!
Apakah dengan mengkhatamkan Alquran ratusan kali maka Tante Isa memahami isi Alquran? Tentu saja tidak. Apakah dengan mengkhatamkan Alquran jauh lebih banyak daripada siapa pun di keluarga kami maka beliau adalah orang yang paling paham tentang isi Alquran? Juga tidak. Beliau sebenarnya bukan ‘membaca’ tapi beliau sekedar ‘mengaji’ alias melafalkan huruf Alquran. Meskipun beliau mengaji Alquran ratusan kali tapi beliau tetap tidak paham apa sebenarnya makna dari ayat-ayat yang beliau baca dengan sangat rajin tersebut.
Mengaji sampai ratusan kali Alquran tanpa dibarengi dengan membaca terjemahannya atau tafsirnya tetap tidak akan membuat seseorang akan mendapatkan pengetahuan. Saya rasa ini sudah sunnatullah. Seperti yang selalu saya katakan bahwa mengaji tanpa memahami arti dari ayat yang dibaca itu bukanlah iqra atau membaca. Dalam bahasa Inggris itu namanya ‘reciting’ dan bukan ‘reading’.
Melafalkan huruf, kata, ataupun kalimat bukanlah membaca. Membaca adalah aktifitas yang melibatkan otak. Membaca adalah aktifitas untuk mendapatkan makna. Membaca tanpa makna bukanlah membaca. Jadi, membaca ayat-ayat Al-Qur’an tanpa memahami arti atau maknanya BELUM termasuk dalam kategori MEMBACA. Itu baru masuk dalam kategori melafalkan (dan atau melagukan) Al-Qur’an.
Sampai saat ini umat Islam masih juga belum memahami betapa pentingnya mereka memahami isi dari Alquran dengan membaca terjemahan dan tafsirnya. Umat Islam umumnya hanya melafalkan dan menghapal ayat-ayat tanpa pernah merasa perlu memahami arti dan maknanya. Bayangkan betapa ironisnya jika kita membaca sebuah buku ratusan kali selama hidup kita dan bahkan kita hapal sebagian dari isi buku tersebut tapi kita sama sekali tidak paham apa isi atau makna dari buku yang kita baca dan hapalkan tersebut…! Dan itulah gambaran dari mayoritas umat Islam saat ini.
Tante saya tentu saja tidak bisa mengelak dari kondisi yang dimilikinya karena ia tidak bisa membaca terjemahan atau tafsir dari ayat-ayat suci yang ia baca dengan tekunnya tersebut. Tapi kita yang makan sekolahan tentulah bisa melakukan upaya untuk memahami Alquran dengan lebih baik daripada tante saya tersebut. Dalam berbagai acara hampir selalu ada agenda pembacaan ayat suci Alquran yang dibawakan dengan suara yang merdu dan khidmat. Tapi anehnya hampir selalu pembacaan ayat suci tersebut tidak diikuti oleh pembacaan terjemahannya seolah para hadirin semua adalah para ulama yang paham belaka arti dari ayat yang dibaca tersebut. Kadang-kadang saya menanyai orang di dekat saya apakah mereka paham arti dari ayat yang dibacakan dengan merdu tersebut dan hampir selalu dijawab ‘tidak’ dengan malu-malu. I guess so…
Saya selalu bertanya dalam hati apa sih pertimbangan panitia sehingga pembacaan ayat suci Alquran itu tidak diikuti oleh terjemahannya agar para hadirin paham. Akhirnya saya hibur hati saya dengan mengatakan bahwa mungkin para hadirin adalah para ulama lulusan Al-Azhar Mesir semua sehingga mereka sudah paham belaka arti dari ayat yang dibaca tersebut.
Dalam berbagai presentasi saya tentang Budaya Literasi saya selalu menampilkan lima ayat pertama dari Al-Alaq yang turun sebagai Perintah Pertama dan Utama dari Tuhan, yaitu perintah untuk membaca (Iqra’). Dalam presentasi saya tersebut selalu saya tekankan bahwa tujuan dari Iqra’ seperti yang diperintahkan oleh Tuhan kepada umat Islam adalah agar ‘maa lam ya’lam’ dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak berilmu pengetahuan menjadi berilmu pengetahuan. Jadi tujuan membaca itu adalah agar kita, sebagai insan, ya’lam, mendapatkan pemahaman, to achieve meaning and comprehension.
Jadi dalam membaca Alquran itu kita juga harus mendapatkan pemahaman tentang isi kitab suci tersebut dan bukan sekedar untuk mendapatkan ketenangan hati. Jadi jika kali lain Anda mengadakan acara dengan memasukkan mata acara pembacaan ayat suci Alquran di dalamnya, sudikah kiranya Anda meminta si qari’ juga membacakan terjemahannya?
Wallahu a’lam
Surabaya, 17 April 2017
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar