setiap ada undangan pernikahan, terutama yang diselenggarakan di tempat - tempat "berkelas" dan sang "pemangku hajat" alias penyelenggara acara tersebut tergolong keluarga dekat, maka ... akan selalu muncul pertanyaan dari anak gadis saya;
"Nanti ... kalau aku menikah, acaranya bagaimana dan akan diselenggarakan dimana?"
Alamak .......
Kuliah belum selesai, umur juga baru masuk satu bulan yang lalu masuk angka dua - puluhan ... Baru juga mulai pedekate dengan cowok yang saya komentari terlalu "manis" untuk anak perempuan yang bergaya tomboy super cuek, eh ...... sudah ribut dengan urusan persta pernikahan. Padahal kalau ditanya .... pada usia berapa dia bermaksud menikah, dengan lantang disebut angka dua puluh lima. Masih lama ..... Hadeuh .....
Pernikahan tau lebih tepatnya menyelenggarakan acara pernikahan yang seharusnya hanya terdiri dari satu acara utama saya yatu akad nikah untuk yang beragama Islam atau pemberkatan/sakramen pernikahan bagi non muslim atju apapun namanya bagi yang beragama Hindu atau Budha, menjadi lebin rumin manakala "seolah" ada kewajiban menyelenggarakan resepsi pernikahan dengan mengundang keluarga, tetangga, kenalan, sahabat, group ini dan itu, relasi kerja dari pasangan yang menikah, kedua pasang orang tuanya, bahkan seringkali mengundang orang yang hanya kita kenal selintas namun punya "nama besar/top" dan lain-lain.
Keriuhan dan keribetan mulai dari menentukan tanggal, tempat acara, perias pengantin, baju yang akan digunakan mulai dari pakaian pasangan calon mempelai, ke dua pasang orangtua, adik dan kakak mempelai, belum lagi untuk pagar ayu-pagar betis, penerima tamu, menu makanan, hiasan/dekorasi ruang, souvenir ... busyet deh ...... ini sudah bikin mumet untuk dicatat. Daftarnya akan bertambah banyak dan panjang lagi manakala kita merinci secara lebih detil lagi. Bagaimana acara akal dilaksanakan, dengan adat yang mana, tatkala calon pengantin berasal dari etnis/suku yang berbeda. Bagaimana mengkompromikannya ....
Muara dari segalanya adalah seberapa besar dana yang mama kita sediakan dan alokasikan atau berapa batas yang akan disediakan. Beruntunglah bagi mereka yang tidak memiliki hambatan dalam menyediakan dana tapi pada kenyataannya, ada juga yang meminjam alias berhutang hanya untuk menyelenggarakan pesta sesuai "tuntutan" adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Itu sebabnya beberapa tahun lalu ada bank yang menawarkan kredit untuk biaya pernikahan. Entah apakah kredit sejens massiv ditawarkan oleh bank.
Ribet dan ruwet yang diciptakan sendiri ......
Menyimak hal tersebut dan juga mengamati seta ikut mengurusi pernikahan keponakan-keponakan, maka pertanyaan anak hanya bisa dijawab:
"Nak .... kita tidak perlu larut dalam kehebohan seperti itu. Make it simple but essential. Sebagian besar undangan abalan mereja yang mungkin lebih mama dari kita untuk membeli apapun yang mereka inginkan. Makanan yang tersaji, kalau tidak enak akan menjadi gunjingan .... Padahal ... bila kita memberikannya kepada kaum dhuafa atau berbagi kebahagiaan dengan anak yatim piatu/dhuafa ..., kenikmatan mereka menyantap hidangan yang tidak biasa itu akan jauh lebih berarti"
Itu yang ada dalam benak saya .... kita lihat saja, apa yang akan terjadi saat waktunya tiba, kelak ...
"Nanti ... kalau aku menikah, acaranya bagaimana dan akan diselenggarakan dimana?"
Alamak .......
Kuliah belum selesai, umur juga baru masuk satu bulan yang lalu masuk angka dua - puluhan ... Baru juga mulai pedekate dengan cowok yang saya komentari terlalu "manis" untuk anak perempuan yang bergaya tomboy super cuek, eh ...... sudah ribut dengan urusan persta pernikahan. Padahal kalau ditanya .... pada usia berapa dia bermaksud menikah, dengan lantang disebut angka dua puluh lima. Masih lama ..... Hadeuh .....
Pernikahan tau lebih tepatnya menyelenggarakan acara pernikahan yang seharusnya hanya terdiri dari satu acara utama saya yatu akad nikah untuk yang beragama Islam atau pemberkatan/sakramen pernikahan bagi non muslim atju apapun namanya bagi yang beragama Hindu atau Budha, menjadi lebin rumin manakala "seolah" ada kewajiban menyelenggarakan resepsi pernikahan dengan mengundang keluarga, tetangga, kenalan, sahabat, group ini dan itu, relasi kerja dari pasangan yang menikah, kedua pasang orang tuanya, bahkan seringkali mengundang orang yang hanya kita kenal selintas namun punya "nama besar/top" dan lain-lain.
Keriuhan dan keribetan mulai dari menentukan tanggal, tempat acara, perias pengantin, baju yang akan digunakan mulai dari pakaian pasangan calon mempelai, ke dua pasang orangtua, adik dan kakak mempelai, belum lagi untuk pagar ayu-pagar betis, penerima tamu, menu makanan, hiasan/dekorasi ruang, souvenir ... busyet deh ...... ini sudah bikin mumet untuk dicatat. Daftarnya akan bertambah banyak dan panjang lagi manakala kita merinci secara lebih detil lagi. Bagaimana acara akal dilaksanakan, dengan adat yang mana, tatkala calon pengantin berasal dari etnis/suku yang berbeda. Bagaimana mengkompromikannya ....
Muara dari segalanya adalah seberapa besar dana yang mama kita sediakan dan alokasikan atau berapa batas yang akan disediakan. Beruntunglah bagi mereka yang tidak memiliki hambatan dalam menyediakan dana tapi pada kenyataannya, ada juga yang meminjam alias berhutang hanya untuk menyelenggarakan pesta sesuai "tuntutan" adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Itu sebabnya beberapa tahun lalu ada bank yang menawarkan kredit untuk biaya pernikahan. Entah apakah kredit sejens massiv ditawarkan oleh bank.
Ribet dan ruwet yang diciptakan sendiri ......
Menyimak hal tersebut dan juga mengamati seta ikut mengurusi pernikahan keponakan-keponakan, maka pertanyaan anak hanya bisa dijawab:
"Nak .... kita tidak perlu larut dalam kehebohan seperti itu. Make it simple but essential. Sebagian besar undangan abalan mereja yang mungkin lebih mama dari kita untuk membeli apapun yang mereka inginkan. Makanan yang tersaji, kalau tidak enak akan menjadi gunjingan .... Padahal ... bila kita memberikannya kepada kaum dhuafa atau berbagi kebahagiaan dengan anak yatim piatu/dhuafa ..., kenikmatan mereka menyantap hidangan yang tidak biasa itu akan jauh lebih berarti"
Itu yang ada dalam benak saya .... kita lihat saja, apa yang akan terjadi saat waktunya tiba, kelak ...