Seorang teman mengirimkan tulisan (forwarding tanpa kejelasan siapa penulisnya) mengenai keberatan-keberatan tentang penterjemahan Injil ke dalam bahasa Minangkabau. Sebetulnya menterjemahkan Injil ke dalam bahasa lokal untuk digunakan dalam peribadatan mingguan penganut agama Kristen, bukanlah suatu hal yang aneh dan keributan ini menjadi sangat menyebalkan.
Injil versi yang kita kenal sekarang, dalam setiap peribadatan agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan, selalu dibawakan dalam bahasa setempat. Di Indonesia, peribadatan mereka akan dilakukan dalam bahasa Indonesia. Jarang atau bahkan mungkin tidak pernah peribadatan agama Kristen di Indonesia yang dibawakan dalam bahasa aslinya. Kita sendiri tidak pernah tahu bahasa asli Injil. Bahasa Ibrani/hebrew, Aramaic atau bahasa lainnya? Yang pasti.... peribadatan mereka akan dilakukan dalam bahasa setempat.
Di negara Anglophone, peribadatan agama Kristen akan dilakukan dalam bahasa Inggris. di negara-negara Francophone dilakukan dalam bahasa Perancis dan .... di negara-negara Arab akan dilakukan dalam bahasa Arab. Jangan berpikir bahwa bangsa Arab/Timur Tengah tidak ada yang beragama Kristen ya... Ini pikiran yang terlalu naif.
Peribadatan Kristen dalam bahasa Arab ini juga yang menyebabkan suatu saat, sekitar 40 tahun lalu, saya sempat terperangah ketika suatu pagi di hari minggu,mendengar suara puji-pujian dalam bahasa arab, yang isinya hampir mirip dengan beberapa ayat-ayat al Qur'an yang saya kenal, terdengar mengalun dari televisi. Segera setelah saya simak dengan teliti... baru sadar bahwa ternyata ayat-ayat tersebut dilantunkan dalam tata cara ibadat Kristen Maronit (Katholik Timur) yang banyak dianut oleh orang-orang Arab Libanon. Salahkah mereka ....? Tentu tidak... karena, begitulah tata cara peribadatan Kristen. Peribadatan dilakukan dalam bahasa setempat tentu dengan maksud agar khotbah dan peribadatannya mudah dimengerti oleh jemaat yang hadir.
Di Indonesia, yang saya tahu, terutama untuk gereja Kristen Protestan, kita kenal ada gereja HKBP, gereja Batak yang peribadatannya tentu dilakukan dalam bahasa Batak. Ada gereja Pasundan untuk orang-orang berbahasa Sunda, gereja Jawa yang peribadatannya dilakukan dalam bahasa Jawa dan saya yakin ada gereja-gereja lain yang peribadatannya dilakukan dalam bahasa setempat atau bahasa umat di wilayah terkait.
Jadi .. bukan suatu hal yang aneh bila peribadatan dalam gereja di wilayah Sumatra Barat kemudian ingin dilakukan dalam bahasa Minang, karena... percayalah, walau minoritas, tentu ada urang Minangkabau (asli) yang menjadi penganut agama Kristen ..... Sama seperti orang-orang di wilayah Timur Tengah yang beragama non Islam. Atau ..... minimal, ada warga pendatang dan etnis/suku lain yang bertempat tinggal di wilayah Sumatera Barat yang memerlukan peribadatan dalam bahasa mereka sehari-hari, dalam hal ini bahasa Minang. Jangan baperlah .... karena bagi kalangan Kristen, penterjemahan Injil dalam bahasa lokal adalah hal biasa. Soal apakah isi/terjemahannya berbeda dengan injil dalam bahasa aslinya, nggak usah mempermasalahkannya. Itu urusan mereka.
Hal ini tentu berbeda dengan tata cara ibadah umat Islam yang keseluruhannya menggunakan bahasa asli al Qur'an, dalam hal ini bahasa Arab. Shalatnya umat Islam dilakukan dalam bahasa Arab al Qur'an. Mengertikah kita akan surat-surat yang dibaca selama shalat? Untuk beberapa surat pendek yang biasa dibaca, kita tahu artinya. Tetapi bukan karena kita fasih berbahasa Arab, tetapi karena kita sempat membaca terjemahan dan karenanya tahu arti surat-surat atau ayat-ayat tertentu. Beruntunglah mereka yang bisa dan mampu berbahasa Arab dengan fasih.
Sampai saat ini tidak pernah ada suatu terjemahan al Qur'an tanpa disertai tulisan dalam bahasa aslinya. Mengapa....? Untuk menjaga "kemurnian" ayat2 al Qur'an ... Apakah tidak pernah ada upaya mendistorsikan ayat2 al Qur'an ...? Pernah dan mungkin juga sering. Untuk orang-orang yang bukan penghafal Qur'an (hafidz) dan bagi mereka yang tidak mengerti bahasa Arab tentu akan mudah terperdaya....
Daripada meributkan Injil dalam bahasa Minang, tentu akan lebih baik bila kita memperkuat keimanan kita sendiri. Yakin bahwa agama yang kita anut adalah agama yang benar yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Kalau urang awak takut atas penerjemahan Injil ke dalam bahasa Minangkabau, sebetulnya, patut kita balikkan pertanyaannya... Apakah iman Islam masyarakat Minangkabau sedemikian tipisnya sehingga takut terhadap terjemahan Injil dalam bahasa mereka? πππ
Injil versi yang kita kenal sekarang, dalam setiap peribadatan agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan, selalu dibawakan dalam bahasa setempat. Di Indonesia, peribadatan mereka akan dilakukan dalam bahasa Indonesia. Jarang atau bahkan mungkin tidak pernah peribadatan agama Kristen di Indonesia yang dibawakan dalam bahasa aslinya. Kita sendiri tidak pernah tahu bahasa asli Injil. Bahasa Ibrani/hebrew, Aramaic atau bahasa lainnya? Yang pasti.... peribadatan mereka akan dilakukan dalam bahasa setempat.
Di negara Anglophone, peribadatan agama Kristen akan dilakukan dalam bahasa Inggris. di negara-negara Francophone dilakukan dalam bahasa Perancis dan .... di negara-negara Arab akan dilakukan dalam bahasa Arab. Jangan berpikir bahwa bangsa Arab/Timur Tengah tidak ada yang beragama Kristen ya... Ini pikiran yang terlalu naif.
Di Indonesia, yang saya tahu, terutama untuk gereja Kristen Protestan, kita kenal ada gereja HKBP, gereja Batak yang peribadatannya tentu dilakukan dalam bahasa Batak. Ada gereja Pasundan untuk orang-orang berbahasa Sunda, gereja Jawa yang peribadatannya dilakukan dalam bahasa Jawa dan saya yakin ada gereja-gereja lain yang peribadatannya dilakukan dalam bahasa setempat atau bahasa umat di wilayah terkait.
Jadi .. bukan suatu hal yang aneh bila peribadatan dalam gereja di wilayah Sumatra Barat kemudian ingin dilakukan dalam bahasa Minang, karena... percayalah, walau minoritas, tentu ada urang Minangkabau (asli) yang menjadi penganut agama Kristen ..... Sama seperti orang-orang di wilayah Timur Tengah yang beragama non Islam. Atau ..... minimal, ada warga pendatang dan etnis/suku lain yang bertempat tinggal di wilayah Sumatera Barat yang memerlukan peribadatan dalam bahasa mereka sehari-hari, dalam hal ini bahasa Minang. Jangan baperlah .... karena bagi kalangan Kristen, penterjemahan Injil dalam bahasa lokal adalah hal biasa. Soal apakah isi/terjemahannya berbeda dengan injil dalam bahasa aslinya, nggak usah mempermasalahkannya. Itu urusan mereka.
Hal ini tentu berbeda dengan tata cara ibadah umat Islam yang keseluruhannya menggunakan bahasa asli al Qur'an, dalam hal ini bahasa Arab. Shalatnya umat Islam dilakukan dalam bahasa Arab al Qur'an. Mengertikah kita akan surat-surat yang dibaca selama shalat? Untuk beberapa surat pendek yang biasa dibaca, kita tahu artinya. Tetapi bukan karena kita fasih berbahasa Arab, tetapi karena kita sempat membaca terjemahan dan karenanya tahu arti surat-surat atau ayat-ayat tertentu. Beruntunglah mereka yang bisa dan mampu berbahasa Arab dengan fasih.
Sampai saat ini tidak pernah ada suatu terjemahan al Qur'an tanpa disertai tulisan dalam bahasa aslinya. Mengapa....? Untuk menjaga "kemurnian" ayat2 al Qur'an ... Apakah tidak pernah ada upaya mendistorsikan ayat2 al Qur'an ...? Pernah dan mungkin juga sering. Untuk orang-orang yang bukan penghafal Qur'an (hafidz) dan bagi mereka yang tidak mengerti bahasa Arab tentu akan mudah terperdaya....
Daripada meributkan Injil dalam bahasa Minang, tentu akan lebih baik bila kita memperkuat keimanan kita sendiri. Yakin bahwa agama yang kita anut adalah agama yang benar yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Kalau urang awak takut atas penerjemahan Injil ke dalam bahasa Minangkabau, sebetulnya, patut kita balikkan pertanyaannya... Apakah iman Islam masyarakat Minangkabau sedemikian tipisnya sehingga takut terhadap terjemahan Injil dalam bahasa mereka? πππ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar