Rabu, 14 Januari 2009

15 Januari 1974 - Mengenang peristiwa 35 tahun yang lalu

15 Januari 1974, tepat 35 tahun yang lalu, hari masih relatif pagi. Jam 6.15 seperti biasa saya mulai berjalan kaki menuju terminal Rawamangun untuk berangkat ke sekolah di bilangan Matraman, naik bus. Seperti biasa, saya bisa langsung naik bus dan memilih-milih tempat duduk. Tidak perlu menunggu lama, apalagi sampai berdesak-desakan berebut bus seperti sekarang.

Tidak ada bus yang langsung melewati SMA Fons Vitae dari terminal Rawamangun, sehingga saya harus berhenti di per 4 an Matraman – Pramuka, untuk kemudian menyambung perjalanan dengan oplet menuju sekolah. Namun demikian, saya bisa tiba disekolah tepat waktu tanpa pernah sekalipun terlambat.

Tidak banyak yang saya ingat, apakah hari itu tanggal 15 Januari 1974, kami “disuruh” pulang lebih cepat atau tidak. sebagai “pendatang” baru yang belum “kenal” Jakarta atau lebih tepat dikatakan “anak hilang” yang baru pulang kembali ke rumah, saya tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada hari itu. Yang pasti, sore itu saya melihat tayangan di tvri tentang dibakarnya “Proyek Senen”, satu-satunya pertokoan modern di wilayah Jakarta Pusat. Dan konon, aksi pembakaran tersebut dilakukan oleh mahasiswa.

Penguasa negeri ini menuduh mahasiswa Universitas Indonesia yang saat itu masih memiliki dua kampus terpisah di Rawamangun dan Salemba, melakukan aksi pembakaran tersebut setelah sebelumnya rencana berdemonstrasi di pangkalan udara Halim Perdanakusuma untuk menyambut kedatangan perdana menteri Jepang Kakuei Tanaka, tidak berhasil karena ketatnya penjagaan.

Jakarta membara, walau tidak sedahyat peristiwa Mei 1998 yang meluluh-lantakkan hampir seluruh bagian kota. Namun demosntrasi 15 Januari 1974 yang kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Malari, bisa dikatakan lebih “dahsyat” dari demonstrasi mahasiswa dan pelajar (KAMI/KAPPI) pada era pasca G30S yang “hanya” memberhentikan untuk kemudian mengempesi ban mobil yang mereka temui di sepanjang jalan.

Akibat peristiwa ini, beberapa, tokoh mahasiswa terutama dari UI ditangkap dan dipenjarakan. Jenderal Sumitro, pangkopkamtib saat itu dicopot dari jabatannya. Bisa jadi… Malari 1974 merupakan “babak baru” cara berdemostrasi dengan pola anarkis, karena sejak itu, jarang sekali ada demonstrasi yang “santun”. Baik yang dilakukan oleh mahasiswa atau elemen masyarakat lainnya

Apa yang melatarbelakangi demonstrasi di awal tahun 1974 tersebut? Dalam banyak bahan bacaan, dikatakan bahwa mahasiswa memprotes masuknya pemodal asing untuk menguasai perekonomian Indonesia. Memang saya itu banyak program "bantuan" asing yang masuk ke Indonesia di berbagai sector industry dari hulu hingga hilir, dari sector agro hingga industry automobil.

35 tahun kemudian, apa yang dikhawatirkan mahasiswa tersebut terbukti. Seluruh sektor ekonomi Indonesia telah tergadaikan. Coba sebutkan sector industry mana yang bebas “campur tangan” asing? Kini kita malah merasa lebih bangga bila bisa bermitra dengan investor asing dibandingkan kebanggaan menjadi “ raja bagi diri sendiri”. Bahkan hingga harga diri bangsa ini tergadaikan. Bangsa Indonesia “mulai” menjadi kuli di negara asing (baca: menjadi TKI di negara Timur Tengah), dan lambat laun di negara sendiri.

Yang lebih menyedihkan, “roh” perjuangan Malari 1974 yang anti modal asing sudah kita lupakan sedangkan “yang buruk” dari peristiwa itu, demonstrasi anarkis dan barbarism diadopsi dengan sangat bangga. IRONI sekali….….

6 komentar:

  1. Asw. Bu Lina, sy alumni FTUI Metalurgi angk 89. Kebetulan sy perlu data Malari utk salah satu setting novel sejarah yg sedang sy garap. Bolehkah sy mengambil/mengutip postingan ibu yg ini? Terima kasih sebelumnya, bu.

    BalasHapus
  2. silakan kalo memang ada manfaatnya.

    Coba juga baca bukunya Jend Sumitro dan prof Mahar Mardjono (rektor UI saat itu), beliau sebagai pelaku banyak bercerita tentang peristiwa tersebut

    BalasHapus
  3. Bukunya judulnya apa, bu? Wah siap2 ke Gramed ah besok. Terima kasih sekali, bu Lina:)

    BalasHapus
  4. keduanya biography dari kedua tokoh itu. yang satu berjudul Soemitro (oleh Ramadhan KH) sedangkan yang Prof Mahar Mardjono, saya nggak ketemu bukunya, jadi maaf gak bisa ngasi judul+pengarangnya. Tapi coba search aja. Semoga masih ada karena itu buku lama

    BalasHapus
  5. tambahan informasi. Buku SOEMITRO terbitan tahun 1994 yang ditulis Ramadhan K.H. mungkin bisa dipakai sebagai rujukan awal. Tapi ada buku yang leih spesifik membahas soal peristiwa MALARI, yaitu buku Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 oleh Heru Cahyono, tahun 1998. Keduanya diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan.
    Semoga membantu.

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...