Selasa, 14 Juni 2005

Jangan silau dengan predikat dan ijasah/sertifikat yang dimiliki….!!!

Judul ini mungkin terlalu provokatif ..... Di tengah membanjirnya sekolah, universitas dengan seabrek-abrek gelar yang ditawarkan, saya yakin masih banyak ijasah/sertifikat yang menjamin bahwa pemegangnya memang memilki kompetensi yang tinggi sesuai dengan ijasah/sertifikat yang diterbitkannya. Saya tidak ingin berpolemik tentang hal itu. Saya hanya ingin bercerita tentang pengalaman pribadi. Pengalaman ini tidak bisa dianggap sebagai patokan, karena mungkin, kemampuan saya yang betul-betul rendah atau standar yang saya gunakan terlalu tinggi. Apapun juga, saya berharap cerita ini ada manfaatnya bagi para pendidik untuk mengevaluasi sistem belajar terutama dalam pembelajaran bahasa, agar terjadi kesesuaian antara nilai yang tercantum dalam ijasah/sertifikat dengan kemampuan peserta didik. Atau, anggap saja tulisan ini hanya sekedar refleksi diri.

Tahun 1980, 3 minggu setelah menikah, suami  berangkat ke Perancis karena mendapat beasiswa. Saat itu saya sedang mengikuti ujian akhir tingkat 4 (belum berlaku sistem SKS) dan entah kapan saya bisa menyelesaikan kuliah yang sebetulnya secara teoritis tinggal 1 tahun lagi. Jadi, daripada kuliah nggak jelas kapan selesainya, lebih baik ikut suami saja. Kalau memungkinkan, lanjutkan kuliah di sana. Kalau tidak ..... jadi ibu rumah tangga saja., dan punya anak..... Nanti setelah setelah masa kuliah suami selesai, baru meneruskan kuliah di Indonesia.  Sederhana saja.

Sambil menunggu proses permohonan visa de long sejours, saya mengikuti kursus bahasa perancis di CCF Salemba, 2 kali seminggu @ 2 jam, ditambah dengan private di rumah ibu Titi Sari (wartawan majalah Kartini, kalau tidak salah), 4 jam lagi per minggu. Saya berharap dengan bekal itu, saya tidak akan tersesat di negara orang.

Bulan September, saya berangkat ke Paris sendiri dengan pesawat UTA dalam perjalanan selama 18 jam. Suami sudah menunggu di Orly du Sud jam 5 pagi di  awal musim gugur yang romantis. Dari Orly, kami ke Gare de Lyon untuk langsung menyambung perjalanan dengan KA ke Lyon, + 525 km di selatan Paris, tempat suami belajar bahasa Perancis secara intensif sebelum mulai belajar mengambil program DEA (diplome d’etude Approfondie). Kami tinggal di studio di banlieu nya Lyon, di Vaulx en Velin selama 1 minggu. Walaupun pengetahuan bahasa saya masih ”cetek” banget, saya merasa tidak memiliki kendala untuk keluyuran, belanja ke Mammouth, sebuah  hypermarche, tidak jauh dari cite yang kami tempati. Bukan apa-apa, saya pakai logika saja. Belanja di grand surface, nggak perlu ngomong. Cukup lihat etiket harga dan layar monitor saja, lalu bayar. Gampang kan?

Akhir September, kami pindah ke Poitiers. Selama kami mencari tempat tinggal yang tetap, l”ENSMA (ecole nationale superieure de mecanique et d’aerotechnique) mempersilakan kami tinggal di asrama mahasiswa, bangunan sangat kuno yang berada di kampus lama, hanya untuk jangka waktu 1 bulan saja. Setelah beres-beres barang bawaan, kami mulai kluyuran mencari-cari rute bis, jalan-jalan yang harus dilalui, sekaligus mencari agence d’immobiliere untuk cari studio tempat tinggal. Masih ada waktu 1 minggu sebelum test masuk untuk ikut kuliah bahasa Perancis di Faculte des letters – Universite de Poitiers. Di situ ada  kelas khusus bagi orang asing yang mempersiapkan diri, belajar bahasa sebelum kuliah di Universitas di seluruh Perancis. Belajarnya intensif, 20 jam per minggu.  Kelas ini terdiri dari 3 niveau, yang disebut vrai debutant, debutant dan yang tertinggi dianggap sebagai premiere annee. Saya ikut test masuk, disana bertemu sepasang anak muda dari etnis cina. Modal ikut test? Hasil les di CCF selama 3 bulan (+ 48 jam) ditambah 36 jam di luar CCF. Baru sampai di lesson 8 buku De Vive Voix I (ini buku kuno banget... ). Singkatnya, saya diterima di kelas debutant. Kelas yang menengah.  Nggak malu-maluin sebagai orang Indonesia. Pasangan cina itu masuk di premiere annee. Mereka memang kelihatan betul-betul sudah sangat siap untuk sekolah di Perancis.

Kuliah di adakan setiap hari dari jam 9.00 – 12.00 istirahat, lalu dilanjutkan lagi mulai dari jam 14.00 – 16.00, setiap hari, 5 hari/minggu. Hari pertama masuk kuliah, guru kami, Fabienne, menjelaskan bahwa kelas akan mulai belajar dengan buku yang sama dan mulai dengan buku ke II (pokoknya jauh banget dari apa yang dipelajari di Jakarta). Kami juga diminta untuk menulis sedikit cerita standard... Nama, asal negara, sudah berapa lama belajar bahasa perancis ... dst.

Kelas kami memang kelas multi nasional. Isinya ada 1 orang dari Canada, 1 dari Jerman, 1 cewek Mexico dari Guadalajara yang super cerewet dengan logat espagnola yang khas, 2 pasang refugies Vietnamiens, 3 orang refugies Iraniens, 1 turki dan saya dari Indonesia. Saat itu memang lagi musim-musimnya Boat people dan saat-saat menjelang kejatuhan Syah Reza Pahlevi dari Iran.

Usai istirahat, kami kembali masuk , langsung ke laboratorium bahasa. Sambil menyuruh mahasiswa mengikuti petunjuk audio, Fabienne membaca kertas-kertas tulisan kami. Satu persatu disapanya langsung melalui peralatan audio. Tiba di tempat saya, Fabienne menyapa ramah ....
Madame .... anda ternyata baru belajar sampai di lesson 8 ”.
Oui .... c’est ca...!!”
” Wah .... rasanya, anda salah masuk kelas”
Pourquoi.. / Kenapa..?”
” Kami akan mulai dengan buku ke dua ... niveau anda terlalu rendah untuk mengikuti pelajaran! ”

Saya tercekat .... ya, betul! Pengalaman saya belajar bahasa Perancis memang masih sangat cetek walau hasil test menyatakan saya berhasil melampaui standar yang ditetapkan.
Mademoiselle, .... j’ai passe le test et .... bukan salah saya kalau saya masuk kelas anda.”
“ Anda akan mengganggu kelancaran teman-teman yang lain…”
” Tapi saya ingin mencoba... donnez-moi la chance
” OK, saya beri kesempatan anda selama seminggu. Bila anda tidak mampu, saya harap anda bersedia turun kelas...”
Bon,... d’accord”.

Kami meneruskan pelajaran. Sebelum pulang, Fabienne meminta kami untuk membuat sedikit cerita tentang negara masing-masing. Saya membuat tugas dengan sungguh-sungguh, berusaha keras bercerita tentang Indonesia. Kamus dan livre de la conjugaison bertebaran di tempat tidur. Keesokan harinya, PR dikumpulkan, kami mulai pelajaran. Sesudah makan siang Fabienne mengumumkan hasil PR, ternyata tulisan saya dinyatakan terbaik. Jadi, dia tidak punya alasan lagi untuk menyuruh saya turun kelas. Hoorreeee.......

Tidak ada perbedaan yang terlalu jelas akan kemampuan berbahasa di kelas, kecuali keberanian untuk bicara. Kelas terlihat jelas lebih didominasi oleh mahasiswa ”kulit putih”. Bawel, ramai, walaupun bahasanya kacau balau, gak tahu subyek, predikat .. gak jelas tata bahasanya. Pokoknya tabrak terus ... ngomong dan ngomong. Apalagi si mexicaine itu tidak ada hari tanpa celotehnya.

Kami yang berasal dari Asia, duduk diam ... anteng, tangan di atas meja. Takut bergerak... takut Fabienne menyadari kehadiran kami... takut ditanya ... Nanti malu... ketahuan gak tahu tata bahasa yang baik. Ketahuan vocabulaire-nya masih amat sangat cetek. Duh, kok kelas lama banget selesainya... Si Turki, masih mendingan. Masih ada bunyinya ... dia sering menyapa saya, ngajak ngobrol. Mungkin karena merasa ada ”separo darah eropa” mengalir di tubuhnya.

Satu semester lewat. Masuk semester ke 2, gurunya ganti. Sekarang kami diajar Helene yang judes tapi funki. Pelajaran lebih banyak menggunakan audio, dengar siaran berita atau rekaman acara talk show dari TV, lalu diskusi. Seperti biasa, kami yang berasal dari Asia cuma bunyi kalau di ”gong” in. Akhirnya, masa ujian dimulai. Ujian teori (tata bahasa) saya lalui dengan penuh percaya diri. Itu soal teori yang gampang dihapal. Masuk ke laboratorium, saya mulai tersendat, ngomongnya cepet banget, jadi mesti diulang-ulang. Tapi, masih ok lah, walau hati sudah mulai kecut! Keesokan harinya, ujian oral ... percakapan sehari-hari dan di test langsung satu persatu. Untung saya nggak kebagian di test sama Helene. Bisa mati berdiri!!

Masuk bulan Juni, keluar pengumuman, karena sudah mulai masuk musim panas, orang mulai gelisah mengatur jadwal berlibur. Saya tidak terlalu bersemangat melihat pengumuman. Maklum sejak tinggal di Poitiers, saya jadi nggak pede lagi. Mulai sadar betul bahwa kemampuan bahasa saya masih nol besar. Belum bisa atau lebih tepat, belum berani ngomong ... takut salah ... takut diketawain orang. Saya sudah punya pengalaman nggak enak waktu beli karcis bus 2 mingguan. Petugas loket berulang kali tanya ... nggak ngerti waktu saya bilang mau beli ”un carnet de quinzaine”. Padahal, mati-matian sudah, saya melafalkan kata-kata itu.

Sampai kampus, saya cari papan pengumuman cepat-cepat. Deg ..... saya bingung baca pengumuman. Nama saya nggak ada. Saya ulangi mencari.. Sekarang mulai dari atas. Nama saya terpampang di urutan teratas. Nilai ujian saya dapat mention ”tres bien” ... Sangat baik... dan cuma satu-satunya. Saya bingung .. gamang ....!! Kok bisa ya..?? Apa gak salah nulis..? Pasti ada yang salah..!!! Tapi ya sudah, saya masuk ke ruang administrasi, nanyain sertifikat .. dan betul ... tertulis di sertifikat itu ” a reussi avec mention tres bien..” Duh .. duh.. gimana nih??

Bulan terus berjalan, kami pindah ke region Parisienne. Ke Stains di departement Seine St Denis. Kesibukan suami di lab menyebabkan saya harus bisa mengatasi masalah sendiri. Jadi saya harus mengurus Allocation Familiale, Securite Sociale, reimboursement d’impots dan berbagai korespondensi, sendiri. Malu kalau gak bisa .. kan sudah dapat mention tres bien. Tapi lain teori lain pula prakteknya. Menghadap pejabat publik saat mengurus allocation dan securite sociale menjadi siksaan yang luar biasa buat saya. Jantung berdebar-debar, kaki lemas, tangan berkeringat, keringat dingin menetes deras tak terkendali, membasahi baju. Padahal sudah masuk musim gugur. Siksaan itu terus berlangsung sampai saya pulang dan tiba di rumah, baru sedikit lega karena menemukan tempat untuk bersembunyi. Saya sungguh-sungguh merasa lelah lahir dan batin. Nggak bisa masak lagi buat suami. Untung sebelumnya suami sudah dipesan untuk mampir beli bebek panggang di restoran cina. Jadi tinggal masak nasi di rice cooker. Saya malu, kesal bahkan frustasi ... kok kemampuan saya tidak sebanding dengan nilai yang tercantum di sertifikat.

Kembali ke Indonesia, saya merasakan bahwa kemampuan saya berbicara dalam bahasa Perancis masih sangat jelek. Apalagi bahasa Perancis memang kurang digunakan. Jadi sampai sekarang, saya masih les di CCF 4 jam seminggu. Supaya nggak lupa, walaupun rasanya tidak ada kemajuan lagi. Itu cuma tempat clubbing saja, ngrumpi ngalor-ngidul, nggak ada tujuan, nggak ada target..

Di kalangan selebriti perempuan Indonesia, lepas dari segala macam kontroversi yang dibuat, saya mengagumi Krisdayanti dan Anggun, yang dengan sadar dan percaya diri menyudahi pendidikan formalnya untuk kemudian total menggeluti dunia tarik suara. Mereka sesungguhnya orang-orang jenius yang mampu menggali potensi diri dan mengembangkannya dengan sangat baik. Padahal, itu bukan keputusan yang mudah untuk diambil. Tidak banyak orang tua mendukung keputusan semacam itu.

Teman kursus saya, ada yang malang melintang pindah kuliah disana-sini dan semuanya berakhir dengan tanpa selesai tuntas. Dia merasa tidak mendapat apa-apa di kampus. Namun saya sungguh-sungguh angkat topi buat dia. Tanpa ijasah formal, dia mampu meniti karier hingga posisi manager di sebuah perusahaan multinasional asal perancis, Kini, ibu cantik yang satu ini sekarang lebih suka mengurus 3 jagoannya di rumah. Tapi itu adalah pilihan yang tidak kalah baiknya. Semoga anaknya memiliki semangat juang dan kemampuan yang sama tinggi dengan ibunya. Begitu juga teman saya TB yang pernah menjadi General Manager di salah satu hotel berbintang di Jakarta dan ibu Enha, guru bahasa Inggris saya 16 tahun yang lalu. Je rends hommage a vous tous

Saya tidak tahu apa perasaan orang-orang yang memiliki setumpuk ijasah/sertifikat berikut sederetan gelar di depan dan belakang namanya. Sekitar 4 tahun yang lalu, seorang bekas teman kantor saya yang lama datang ingin bertemu bos. Karena beliau tidak ada, saya yang mengenalnya duduk menemani. Duduk dan ngobrol panjang lebar, dia ternyata sudah memajang gelar DR, PhD, MSc dan M.Eng sekaligus di kartu namanya. Kesemuanya dari universitas di negara paman Sam,. Hebat sekali. Saya bertemu terakhir sekitar 8 tahun sebelumnya. Berarti selama 8 tahun dia sudah menyelesaikan 2 jenjang pendidikan S2 dan melakukan 2 kali  riset S3. Saya geleng-geleng kepala. Orang Indonesia memang jenius ....super hebat... Semoga tahun mendatang ada Nobel Price mampir ke Indonesia. Tidak habis pikir ... kagum, kapan ya dia tinggal dan sekolah di negerinya paman? Ups... tidak boleh berburuk sangka....!!!!

Omong punya omong, akhirnya dia menawarkan saya untuk ikut mengambil gelar PhD. ”Murah kok mbak, 20 juta saja. Wisuda (??!!) bisa di Singapore atau Jakarta. Boleh pilih. Ini daftar peserta kita yang baru selesai”

Saya melihat brosur yang diajukannya.Ada sederetan nama-nama beken, sebagian besar pejabat pemerintah dan legislatif. Saya mengelak. Ingat pengalaman saya dengan sertifikat bahasa perancis itu.
”Nggak ah ... saya ingin ilmunya. Malu punya gelar kalau nggak ngerti apa-apa...”
”Jangan takut ..., kalau mau ilmunya, ikut saja program yang 6 bulan, kuliah dulu baru wisuda”
Lho..lho..lho... Nggak salah tuh? Kok gelar PhD diperoleh cuma dengan kuliah 6 bulan?  Bukankah DR/PhD itu diperoleh by research dan bukan by course yang Cuma 6 bulan? Duh pusing …. Mungkin level intelektual saya nggak sampai setinggi itu.

Terbayang masa-masa melelahkan saat saya mendampingi suami di Perancis. Hari-hari melelahkan lahir batin kami berdua. Libur musim panas pertama di Poitiers tidak dapat kami lalui dengan baik. Suami harus belajar mati-matian karena Prof. Henry Cordier di l”ENSMA akan pensiun dan dia merasa berkewajiban untuk  segera ”mentransfer” urusannya kepada Prof. Pierre Thureau di universite de Paris XII - Creteil. Saya juga teringat pada perjalanan panjang suami setiap hari, dari Stains ke Creteil menyusuri lorong bawah tanah Paris dengan metro dan RER ditambah 10 jam di lab. Bahkan, dia berhari-hari tidak pulang untuk menyelesaikan sisa penelitian selama hampir 4 tahun diakhir masa tinggalnya. Belum lagi menyelesaikan thesis dalam bahasa perancis yang rumit. Mereka yang pernah melakukan riset atau kerja di laboratorium untuk meraih gelar DR/PhD pasti merasakan betul sakit dan getirnya masa-masa tersebut.

Duh ... jadi, buat apa gelar sederetan itu? Saya tidak sanggup mengkhianati prosesi tradisi keilmuan yang sudah berlangsung sekian lama. Bukan karena sok moralis, tapi saya betul-betul takut ... saya malu .... nanti kalau saya diajak diskusi, terus ngomongnya nggak nyambung gimana .... ? Saya juga takut, kalau nanti di akhirat, Allah SWT tanya... ” Gelar kamu yang sederet itu diperoleh dengan cara apa...???”

Salam
Lebak bulus 13juni2005

3 komentar:

  1. Membaca tulisan tersebut, jd pingin sedikit berkomentar.. (boleh kan.. )

    Ijazah.. (just) a piece of paper.. yg memang buat kita/orang2 yg mendapatkannya dengan sungguh2 bisa jadi merupakan kebanggan tersendiri, usaha & jerih payah lahir batin. Tapi, sampai sejauh mana kita bisa "mempertanggungjawabkan" kredibilitas kita, komptetensi,kemampuan yg sesuai dg ijazah tersebut.

    Suatu saat, beberapa tahun yg lalu, ketika saya mau melamar disebuah perusahaan, (tentunya dengan sibuk memfotocopy semua ijazah/diploma yg saya miliki) saya baru sadar/"engeh" bahwa salah satu ijazah kursus bahasa asing yg saya miliki sudah kadaluwarsa lebih dari dua tahun! (setahu saya, beberapa kursus bahasa asing memang mencantumkan masa berlaku ijazah yg dikeluarkannya) Seorang sepupu saya bilang : "gak usah panik gitu dong! tetap aja lampirin itu ijazah, yang penting, nanti pada saat di tes, lo bisa jawab semua (pake bahasa asing tsb) dengan lancar...!! yang penting itu kan..?! saya pikir, benar juga pendapat dia...

    Malah saya jadi berpikir.. kalau suatu saat bisa punya perusahaan sendiri (cie..) lebih baik saya terima karyawan yang ("cuma") lulus SMA, tapi mau belajar dan punya kemampuan yg setara yang berpendidkan S1 atu S2. Daripada terima karyawan yg punya bertumpuk2 ijazah ini itu tp kemampuannya gak lebih baik dari anak yg lulusan SMA...

    gitcu... (bingung neehh.. mau komen apa lagi, ntar malah jadi cerita2.. bukan komen lagi! hehe...)

    salam
    @dHe MD AuLIa

    BalasHapus
  2. Saya paling tidak percaya dech sama Ijazah...........lebih baik pengalaman yang luas dan tunjukan apa kemapuan kita!Ijazah tidaklah menjadi tolok ukur kita ! Tetapi sayangnnya dimanapun setifikat adalah penting untuk identitas kita cari kerja!
    kalau tidak ada sertifikat kita tidak bisa bekerja.........itulah ironisnnya!Padahal banyak sertifikat bisa dibeli.............
    Seperti kejadian pada kakak saya sendiri, Dia adalah profesional bisa mendidik dan pernah mendidik para pramugari untuk safety training, setelah dia mengundurkan diri dari perusahaan karena urusan keluarga, sekarang dia ingin lagi bekerja pada perusahaan dengan cuma mengandalkan pengalamannya dan profesionalnnya dia, tetapi dia tidak punya sertifikat. tetapi sayangnnya perusahaan itu hanya akan menerima pegawainnya yang ada serifikatnya ( pengalaman mengajar dengan sertifikat).
    Walaupun perusahaan itu tau bahwa kakak saya orang yang profesional dalam mengajar,tetapi untuk kepentingan perusahaan kakak saya perlu menyediakan sertifikat!akhirnnya perusahaan itu menerima orang yang jelas2 punya sertifikat! tetapi kakak saya sungguh tau orang itu tidaklah mampu untuk mengajar!karena kakak saya kenal betul dengan calon pengajar itu! he..he..he..he.....
    Sertifikat lebih berharga bukan? dari pada kemampuan seseorang yang sebenarnya mampu untuk itu?Jadi bagaimana negara kita akan maju kalau hanya mengandalkan sertifikat tapi bukan kemampuan atau profesionalisme seseorang?.
    ah jadi bingung neh..........
    salam,
    orang yang tidak punya sertifikat tapi dipercaya untuk bekerja@com

    BalasHapus
  3. Bergantung bagaimana kita menyikapinya. Di negara manapun, secarik kertas yang namanya Sertifikat/Ijazah masih menjadi bukti yang valid untuk membuktikan kemampuan kita. Anak saya (lulus dari jurs Math) tidak bisa mengajar di SMA di Australia, karena dia tidak memiliki ijasah sarjana pendidikan (mereka mensyaratkan guru harus memiliki ijasah pendidikan dan keilmuan yang terkait - double degree), walaupun karena kemampuannya mengajar, dia diterima sebagai tutor di SMA yang sama.

    Bedanya, di negara maju, secarik kertas itu berkaitan erat dengan kemampuan, sementara di Indonesia, kemampuan seringkali tidak berbanding lurus dengan kemampuan, karena seringkali ijasah kita peroleh dari institusi "ecek-ecek".

    Di Indonesia, seringkali guru mengajar di sekolah walaupun dia tidak memiliki kompetensi sebagai pengajar. Ijasah/sertifikat masih tetap diperlukan sebagai bukti kemampuan kita dalam "menguasai materi dan cara mengajar" tetapi yang lebih harus dijaga adalah "ijasah/sertifikat yang dimiliki setiap orang, harus sesuai dengan kemampuan dan kompetensinya" agar tidak terjadi penurunan mutu di segala bidang.

    Nah hal ini yang belum diperhatikan oleh kita. salam

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...