Bagian 2: Sebetulnya ....... apa sih tujuan pendidikan kita.
Hari ini, anak saya mulai mengikuti evaluasi belajar. Karena dia sekolah di swasta, maka dia harus mengikuti evaluasi sebanyak 2 kali. Minggu pertama versi sekolah dan minggu ke dua versi Diknas. Kasihan anak itu ... kena flu lagi. Tapi seperti biasanya, saya tidak terlalu memaksanya untuk belajar. Saya sudah agak ketularan suami dengan prinsip ”Biar dia senang-senang. Anak kecil itu alamnya ... bermain. Jadi jangan dipaksa belajar. Pinter di sekolah, nggak jaminan sukses di masyarakat. Nantinya Cuma jadi orang gajian yang patuh...., bukan orang yang strugle dalam menghadapi kehidupan”.
Anak-anak, sepertinya selalu jadi kelinci percobaan bagi para pakar pendidikan. Semula, saya selalu kesal kalau ada orang tua atau berita yang yang mengeluhkan perubahan kurikulum. ” Ganti menteri, ganti kebijakan .... Itu jargon yang selalu didengung-dengungkan. Dalam hati, saya selalu berkata ... ”kok bego amat ya orang-orang itu...., kan dunia selalu berputar ... bertambah maju, jadi tentunya kurikulumpun harus dievaluasi secara periodik, disesuaikan dengan perkembangan jaman”.
Jadi sah-sah saja kalau kurikulum berganti setiap 5 tahun sekali. Cuma saja, karena pergantian kurikulum selalu terjadi bersamaan dengan pergantian menteri, seolah-olah menteri baru-lah yang mengganti kurikulum. Padahal kan para pakar pendidikan sudah bekerja jauh sebelumnya, selama masa kerja menteri lama. Mereka sudah melakukan benchmark ke negara-negara maju, mempelajari kurikulum disana-sini. Saya yakin, tim kurikulum nasional adalah orang-orang pintar dengan sederetan gelar di depan dan belakang namanya. Masa nggak percaya sih?
Sayangnya, sekarang saya terpaksa menjilat ludah saya sendiri. Bukan karena saya tidak lagi memiliki pemahaman bahwa kurikulum harus dievaluasi mengikuti perkembangan jaman. Pemahaman ini tetap saya pegang dan saya percayai. Tapi membaca berita mengenai berbagai masalah pendidikan, di daerah pedalaman terutama di luar pulau Jawa, angka pengangguran yang semakin tinggi, khususnya di kalangan orang-orang terdidik (sarjana), sekarang saya jadi bertanya-tanya.... sebetulnya, apa sih tujuan pendidikan anak-anak kita ini. Mau dibawa kemana mereka dengan bekal pendidikan yang diterima di sekolah?
Terus terang, saya terpengaruh dengan tulisan Andreas Harefa dalam salah satu bukunya. Dia mengatakan bahwa pendidikan dimaksudkan agar anak-anak kelak menjadi mandiri, mampu mempekerjakan dirinya sendiri dan tidak bergantung pada pemerintah untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan demikian, pendidikan harus disesuaikan dengan lingkungan dimana anak-anak itu tinggal. Jangan mencabut mereka dari alam dimana mereka tumbuh dan besar. Saya sangat percaya dengan pendapat tersebut, karena dengan jalan apapun juga, akhir dari pendidikan adalah agar kelak kita mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apakah kemampuan itu berasal dari kemampuan fisik semata, kemampuan intelektual (otak) semata .... atau gabungan dari keduanya.
Kalau tujuan akhirnya adalah seperti itu, maka seharusnya, pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, tidak bisa disama ratakan. Memang ada ilmu-ilmu dasar yang wajib diajarkan. Ilmu lainnya, seharusnya adalah ilmu yang langsung menyentuh kehidupan sehari-hari. Jadi, pikiran awam saya mengatakan bahwa sebelum kita membuat kurikulum; selain melakukan benchmark ke negara maju, kita juga harus melakukan riset/survey data terlebih dahulu tentang profil calon anak didik kita secara demografi. Kemudian dibuatkan peta kondisi anak didik berdasarkan, antara lain lokasi tempat tinggal, potensi akademiknya, kondisi sosial dan ekonomi, kondisi/potensi daerah tempat tinggal. Ini memang bukan kerja yang mudah, tetapi bisa dan harus dilakukan. Jangan dilihat sebagai proyek yang dijadikan ”pintu masuk” untuk mengeruk keuntungan sesaat.
Di luar dari masalah kemampuan akademis dan faktor ekonomi, anak-anak yang tinggal dikota-kota besr di Indonesia (misalnya saja Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya), akan memilik persepsi dan ekspektasi tentang pendidikan dan masa depannya yang berbeda dengan anak-anak di kota-kota kecil pulau Jawa. Anak-anak nelayan, pasti memiliki persepsi yang berbeda dengan anak petani. Sesama anak petanipun akan berbeda.... anak petani di pulau Jawa pasti memiliki persepsi dan ekspektasi berbeda dengan anak petani di pedalaman Kalimantan, Sulawesi.... apalagi bila dibandingkan dengan anak petani di Irian/Papua..Dari hasil pemetaan tersebut ditambah dengan benchmark dari luar negeri itu, mungkin dapat ditentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, Sekolah macam apa ... sampai tingkatan mana. Kesemuanya disesuaikan dengan potensi daerahnya masing-masing.
Bukankan suatu yang aneh, bila Bandung dan Jakarta yang tidak memiliki sumber daya alam pertambangan maupun permiyakan memiliki perguruan tinggi dengan jurusan Teknis Gas/Petrokimia, jurusan pertambangan dan perminyakan. Sementara di jantung daerah perminyakan (Riau) sama sekali tidak ada perguruan tinggi dengan jurusan perminyakan. Jurusan Pertambangan mungkin lebih cocok ada di Kalimantan. Bahkan Jayapura yang kaya dengan mineral dan minyak selayaknya ada jurusan-jurusan tersebut. Dengan demikian putra daerah bisa mengenyam pendidikan yang sesuai dengan alamnya. Mereka akhirnya mampu mengeksplorasi daerahnya. Tidak perlu mendatangkan tenaga dari Jawa yang akhirnya hanya akan memperlebar jurang antara putra daerah dan pendatang. Yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial yang berbuntut kepada perpecahan seperti yang sekarang terjadi.
Di samping itu, kitapun tahu bahwa struktur apapun juga, selalu mengikuti bentuk piramida. Tingkat bawah selalu lebih besar daripada tingkat atas. Jadi .... kalau di suatu wilayah, diperoleh data bahwa sebagian besar anak-anak nantinya, karena berbagai faktor dan ketersediaan tenaga guru, hanya mampu menyelesaikan sekolah sampai SD saja, SLP saja atau SLA saja, kurikulum sekolah harus mampu membekali anak agar bisa bekerja setelah menamatkan jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Atas dasar itu, pada tingkatan SD pun, maka kurikulum yang diperlukan untuk anak di kota besar seharusnya berbeda dengan kurikulum sekolah untuk anak di pedalaman. Yang pasti, mata ajaran/muatan lokal yang diajarkan harus sesuai dengan kebutuhan hidup yang sifatnya praktis ... bukan sekedar teoritis.
Jaman saya kecil dulu, saya masih melihat adanya Sekolah Menengah Pertanian, Sekolah Kesejahteraan Keluarga, Sekolah Asisten Apoteker, sekolah Guru Olahraga, yang sekarang tidak terdengar lagi gaungnya. Bukankah suatu hal yang aneh, bila kita menanggap diri sebagai negara agraris sementara Sekolah Menengah Pertanian adalah sekolah yang langka, Juga suatu hal yang sangat ajaib, bila sebagai negara kepulauan, saya tidak pernah mendengar adanya sekolah menengah perikanan/kelautan. Kalaupun ada universitas dengan jurusan pertanian dan kelautan, maka lulusannya pun lebih suka jadi wartawan atau bankir. Pantas saja kita ketinggalan jauh dari Thailand dalam bidang pertanian dan kelautan. Bahkan kita akan tersusul oleh Vietnam, yang baru + 20 tahun bangkit dari perang gerilya, dalam bidang pertanian.
Sebagai negara yang kaya dengan sumber mineral, alangkah sayangnya nila tidak ada sekolah menengah pertambangan/permiyakan. Bukankah pekerja di pertambangan, perminyakan juga memerlukan tenaga menengah, teknisi yang jumlahnya cukup besar, bukan melulu tenaga sarjana? Begitu juga dengan bidang kelautan dan pertanian. Bahkan, apa salahnya bila buruh kasar yang tidak tamat SD, juga memiliki pengetahuan bagaimana cara memupuk, mencangkul yang baik dan itu diperoleh dari kurikulum/muatan lokal sekolah di desa.
Mungkin kita memang senang bermuluk-muluk. Melihat sesuatu terlalu jauh, bukanlah suatu yang salah. Karena kita memang tidak boleh ketinggalan, kalau mau bersaing di percaturan global. Tapi sesuatu yang jauh itu seharusnya dengan mengerahkan potensi dan sumber daya alam kita. Dengan demikian kita akan memiliki keunggulan yang unik, yang tidak dapat dimiliki negara lain. Bukankah suatu hal yang menyedihkan, sebagai negara agraris, Indonesia menjadi negara pengimpor beras nomor wahid di dunia? Buah-buahan yang dijual di super market bahkan hingga pedagang kalilimapun berasal dari manca negara. Jeruk pakistan, durian bangkok, pepaya hawai. Itupun kualitas buangan, bukan kualitas nomor satu. Duh nasib.....
Akhirnya saya dapat mengerti, kenapa di daerah pedalaman dan di kalangan masyarakat miskin, orangtua seringkali tidak memberikan prioritas utama bagi anaknya untuk pergi ke sekolah. Bahkan di Jakarta, anak, masih dengan seragam sekolah, lebih suka memegang kecrekan, bergerombol di hampir setiap traffic light. Sekolah memang tidak pernah gratis, walaupun pemerintah memberlakukan wajib belajar 9 tahun Apalagi, di samping kemampuan keuangan yang sangat terbatas dan kemiskinan orang tua, sekolah juga tidak mampu menjawab kebutuhan hidup.
Setamat sekolah, anak-anak mereka tidak juga dapat bekerja. Ilmu yang diperoleh di sekolah, bukanlah ilmu praktis yang membuat anak didik mampu bekerja secara mandiri, melainkan ilmu-ilmu teoritis yang abstrak. Ilmu yang hanya membuat anak merasa ”sudah pintar” sehingga lebih suka mengganggur karena merasa malu untuk ”bekerja kasar”. Sekolah malah menjadikan anak-anak kita gamang menapaki kehidupan. Itu problema yang dihadapi bila kita sempat tamat sekolah, bagaimana nasib anak-anak yang terpaksa drop out? Padahal, akhir dari perjalanan panjang pendidikan sekolah, katanya agar kita mampu bekerja sesuai dengan bidang pendidikan. Tapi mengapa kenyataannya jauh berbeda .... Adakah yang salah.......???
Ah ... seandainya, di sekolah, saya diajarkan bertukang .... mungkin saya bisa bantu bapak di bengkelnya. Seandainya, di sekolah saya diajarkan menjahit atau memasak dengan serius ... pasti saya bisa membantu melebarkan usaha warung ibu dengan menu-menu baru atau mengantikan ibu menjahit baju langganannya. Sayang .... di sekolah saya cuma diajarkan matematka, fisika dan kimia yang bikin otak saya melintir ..............
Salam
Lebak bulus 13 juni 2005
Pa mreka tu ngga ngerti ya kalau mlintiri otak rang tu dosa?.
BalasHapusKalau mau ngajar matematika, fisika dan kimia ajarlah tapi buat plajaran tu mnarik
dengan kerja-nyata dan bengkel kerja.
Il-ilmu sosial umumnya hanya dikecapkan.
Kesedihan lain: ternyata penataran P4 yang dah puluhan tahun tu tak mbuat rang-rang lebih Pancasilais
kerna hanya di "kecapkan" dan tak da percontohan-mental-Pancasilais yang terpuji dari para penggede.