Jumat, 10 Juni 2005

Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat

Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat
Terutama bagi golongan berpenghasilan rendah.

Kamis pagi, sambil berangkat kantor, saya membaca harian Kompas tentang bagaimana ruwetnya mengurus kartu GAKIN (keluarga miskin) agar masyarakat golongan tidak mampu dapat menikmati dana kompensasi subsidi BBM yang katanya dialihkan untuk bidang kesehatan dan pendidikan masyarakat golongan bawah. Keruwetan itu juga ditambah lagi dengan berbagai persyaratan administrasi dan lambannya aparat dalam menangani prosedur penerbitan kartu Gakin. Aduh ..... kalau begitu ruwetnya, bisa-bisa orang sakit itu meninggal sebelum sempat diobati.

Tahun 2005 ini Indonesia memang sedang dirundung malang. Setelah badai tsunami menghantam Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, tahun 2005 kita masuki juga dengan bencana beruntun. Banjir ..... itu sudah berita rutin awal tahun yang tak berkesudahan. Reda masalah gempa dan tsunami, muncul berita mengenai wabah polio di Sukabumi dan pelan-pelan terkuak adanya penyakit polio (katanya lumpuh layu ..... entah apa bedanya dengan polio...?) di beberapa kota di Jawa Barat dan Banten. Lalu busung lapar di lumbung padi NTT dan wabah german measles (campak jerman), di samping berita-berita kecil lainnya mengenai problem kesehatan masyarakat.

Aduh ... kok pemerintahan SBY ini dirundung malang ya...? Alih-alih mengenjot laju pembangunan negara, malah bencana bertubi-tubi yang mampir. Entah pertanda apa lagi bagi bangsa dan negara ini... tapi, mungkin inilah puncak gunung es dari segudang problem yang diderita rakyat Indonesia selama ini.

Selama ini, secara bisik-bisik, kita pernah mendengar bahwa program KB (keluarga Berencana) seringkali dilaksanakan secara ngawur. Petugas lapangan hanya mengejar target jumlah akseptor yang berhasil dijangkaunya. Terkadang, nenek-nenek peot pun diakui sebagai akseptor KB. Kita memang melihat ada banyak puskesmas di setiap kecamatan, namun tidak jarang pula kita dengar keluhan tentang ketiadaan tenaga medis. Jangan lagi bicara mengenai peralatan yang tersedia .... Sedih mengetahui bahwa fasilitas kesehatan bagi rakyat kecil betul-betul terabaikan. Tidak salah bila kualitas kesehatan mereka begitu rendah. Kesehatan menjadi barang yang sangat mewah. Mereka takut sakit karena ketiadaan uang untuk berobat .... tetapi pada saat yang bersamaan mereka tidak mampu mencegah penyakit datang. Kemiskinan dan kekumuhan hidup mereka menyebabkan penyakit sangat bersahabat dengan mereka.

Keadaan ini sangat berbeda dengan pengalaman saya menjadi ”orang miskin” di negara orang. 23 tahun yang lalu, saat merasa diri mulai hamil, saya pergi ke PMI (Protection Maternelle et Infantile) di lingkungan tempat tinggal kami di Residence du Clos Saint Lazare. Saya diperiksa oleh Dr. Toutlemonde - gynecolog perempuan. Dengan ramahnya dia memeriksa kehamilan saya dan menanyakan ini-itu. Yang terpenting ditanyakan adalah; apakah saya memiliki ”securite-sociale - SS”; semacam asuransi kesehatan.

Securite Sociale, bagi orang Perancis menjadi sambungan nyawa yang akan melindunginya. Sudah tentu, saya tidak memilikinya. Tapi saya tenang-tenang saja .... sebelum memutuskan hamil, saya sudah mempelajari bagaimana cara mendapatkan ”securite sociale a la cotisation tres modere” (memiliki asuransi dengan biaya sangat ringan). Jadi begitu hamil, mulailah saya mengajukan permohonan ”prise en charge” (minta dibayarin) untuk SS tersebut melalui Caisse d’Allocation Familiale di Saint Denis.

Sebelum lupa... saya cerita dulu, apa itu Caisse d’Allocation Familiale - CAF. Lembaga ini, mungkin kaki tangannya Departemen sosial. Jadi orang-orang miskin yang memiliki penghasilan di bawah SMIC (salaire minimum) dapat mengajukan permohonan tunjangan sesuai dengan aturan yang berlaku dengan berbagai kategori. Kami yang baru menikah di bawah 5 (lima) tahun dan memiliki pemasukan hanya dari beasiswa suami yang nilainya di bawah SMIC, berhak atas tunjangan perumahan yang besarnya sekitar 90% hari sewa apartemen yang kami tempati. Nah atas dasar itu sebagai ”beneficiaire” alias penerima tunjangan ”miskin” itulah, maka menurut aturan, CAF atau Mairie (kantor walikota) berkewajiban menanggung biaya SS kami. Ini namanya ”aji mumpung”

”Perburuan” untuk mendapatkan SS ternyata cukup seru (saya terkadang masih merasa aneh ... kok nekat dan malu-maluin juga pengalamannya). Keluar dari PMI, saya langsung pergi ke kantor CAF, mengambil dokumen dan mengisinya dengan keyakinan penuh. Bagaimana tidak, tetangga saya yang sama-sama hamil (satu Australian, dan satunya lagi dari Univ. Andalas, keduanya hamil anak ke 3) sudah mendapat SS hanya dalam waktu 1 bulan sesudah deklarasi kehamilan.  Malah si Uni itu sudah mendapat banyak kemudahan karenanya. Sudah dapat SS gratis, eh dia dapat ”pembantu” orang perancis lagi..... Gila juga tuh si Uni, mana ada orang Indonesia punya pembantu orang perancis di negaranya lagi. Tapi itulah.... gara-gara kehamilannya agak bermasalah; si uni muntah-muntah terus selama 4 bulan pertama dan berat badannya turun, Dr. Toutlemonde melaporkan dan merekomendasikan kepada Mairie agar ada tenaga yang mengurus rumah tangga si uni selama masa hamil. Di samping itu, untuk menghindari komplikasi kehamilan, si Uni tidak perlu datang ke PMI untuk pengecekan rutin kehamilan. Petugas kesehatan akan datang ke apartemennya, rutin 1x seminggu untuk mengecek perkembangan kehamilannya. Semuanya gratis.

Nah kembali pada proses pengurusan SS, sampai dengan kehamilan bulan ke 3, saya mendapatkan jawaban bahwa permintaan ”prise en charge” ditolak karena saya bukan beneficiare dari allocation familiale. Saya bingung dan tidak mengerti alasannya, karena kami sudah mendapat tunjangan perumahan, kok nggak dianggap sebagai beneficiare?

Tetangga saya, refugie vietnamienne mengusulkan untuk menulis surat kepada Perdana Menteri (kala itu Pierre Mauroi). Nekat, saya lakukan itu tanpa sepengetahuan suami tentunya. Setelah menulis surat, saya pergi lagi ke CAF, menanyakan alasan penolakan tersebut. Mereka menjelaskan bahwa beneficiare CAF adalah suami, dan saya harus memproses penggantian nama dari nama suami kepada nama saya sendiri agar saya mendapat fasilitas Prise en Charge tersebut.. Petugas CAF memberikan dokumen isian yang saya isi saat itu juga untuk mempercepat proses. Toh dokumen pendukungnya sudah ada dalam komputer mereka. Jadi nggak perlu tambahan dokumen-dokumen lainnya. Pemberitahuan perubahan nama ”beneficiare”, saya terima 2 minggu kemudian dan saya kembali mengajukan permohonan Prise en charge dengan bukti-bukti baru.

Singkatnya ... setelah menunggu sekian lama, saya akhirnya menerima surat pemberitahuan dari Kantor Perdana Menteri, bahwa mereka memperhatikan isi surat tersebut dan telah meneruskannya ke pada pihak yang berwenang. Tentu saja, hal ini membuat saya panik ... ini jawaban klasik yang, kalau di Indonesia berarti penolakan secara halus.

Rupanya saya lupa, bahwa saya berada di negara dengan sistem jaminan kesehatan yang sudah sangat baku. 2 minggu setelah saya menerima surat dari kantor perdana menteri, saya mendapat surat dari SS yang menyatakan bahwa Peraturan mengenai batas umur pemohon ”prise en charge” berubah, dari tadinya hanya sampai dengan umur 22 tahun menjadi umur 27 tahun. Permohonan saya dikabulkan dan saya hanya diwajibkan membayar SS sebesar 10% dari tarif standard.. Alhamdulillah .... kebetulan apalagi itu .... Saya percaya kuasa Allah berlaku untuk hal tersebut. 

Setelah saya membayar lunas SS, saya mendapat 1 buku yang disebut ”carnet de maternite” yang berisi kewajiban-kewajiban pemeriksaan selama hamil dan setelah melahirkan. Pada tanggal 8 April 1983, jadilah saya melahirkan dengan normal, selamat..... dirumah sakit umum yang fasilitasnya sekelas dengan RS mewahnya Indonesia.... 100% gratis. Yang lebih hebat lagi, setelah pemeriksaan wajib bayi pada hari ke delapan dan mengembalikan salah satu lembar ’kewajiban periksa” itu ke kantor SS .... saya mendapat selembar CEK TUNAI ..... betul-betul cek tunai yang bisa digunakan buat kebutuhan bayi. Untuk iuran SS tahun selanjutnya... karena saya memiliki anak di bawah umur 3 tahun, maka biaya SS ditanggung sepenuhnya oleh CAF.

Saya tahu, saya tidak bisa membandingkan fasilitas sosial yang dinikmati masyarakat di negara maju dengan negara kita yang saat ini masuk dalam kategori miskin. Saya hanya merasa beruntung ... hidup dinegara orang dengan status ”orang miskin” ternyata jauh lebih beruntung daripada hidup di negara sendiri. Selama proses mendapatkan SS, saya mendapatkan bantuan dan simpati yang begitu besar dari setiap orang yang saya temui.

Saya sedih memikirkan, betapa, di negara sendiri, kita senang mempersulit orang. Kita sering membaca/mendengar berita betapa banyak orang mengeluhkan pelayanan RS yang sangat komersial. Meminta uang jaminan untuk perawatan sebelum menerima pasien.

Ada sesuatu yang salah dalam sistem jaminan kesehatan di negara ini. Kalaupun kita mampu membayar asuransi kesehatan, maka terlalu banyak batasannya, sehingga asuransi tersebut terasa sangat tidak bermanfaat kecuali kalau rawat inap. Padahal, berapa sih jumlah orang sakit yang harus rawat inap? Sebagian besar adalah sakit-sakit biasa yang tidak memerlukan rawat inap.

Jadi jangan salahkan bila praktek dukun, para normal, orang pintar atau orang pura-pura pintar tumbuh subur. Penyakit mewabah tanpa kendali ......, Jangan salahkan rakyat bila mereka tidak mampu hidup sehat dan bersih... mereka tidak mampu. Tapi ... kita yang mampu, bantulah mereka kala mereka memerlukan bantuan kita. Kalau kita kita juga bisa membantu mereka dengan materi, setidaknya janganlah mempersulit apa yang menjadi hak-hak mereka ... jangan makan hak mereka.

Padahal, pada jaman yang serba online ini, dana kompensasi BBM buat kesehatan tidak harus dibatasi per daerah/wilayah. Bukankah BPS memiliki data penduduk Indonesia. Mengapa tidak dibuatkan satu Kartu Identitas Nasional (KTP nasional) dan data base penerbitan kartu tersebut dapat diisi dengan apa saja data yang diperlukan untuk setiap orang, baik yang bersifat kewajiban maupun hak. Dengan demikian, tidak perlu ada KTP ganda, pemalsuan data atau hal-hal negatif lainnya. Begitu juga halnya dengan data tingkat sosial/penghasilan rakyat. Sekali input data KTP Nasional itu dimasukkan, maka tidak ada alasan bagi rumah sakit/puskesmas atau siapapun menghindar dari kewajiban memberikan pelayanan yang dibutuhkan rakyat. Sebagaimana rakyat juga tidak bisa menghindar dari kewajibannya.

Menata data administrasi 220 juta rakyat Indonesia memang bukan hal yang mudah. Tetapi itu bukan tidak mungkin dilaksanakan, bila ada kemauan. Sistem online akan menjamin transparansi dalam seluruh segi kehidupan kita. Perbankan kita sudah menggunakan sistem online ... sehingga nasabah di Jakarta bisa menarik uangnya melalui atm di seluruh Indonesia. Tidak ada batas wilayah lagi. Jadi pundi-pundi dana kompensasi BBM, dengan suatu program integrated, saya yakin, juga bisa diakses oleh rakyat miskin dimana saja dia membutuhkan pengobatan. Banyak pakar tentang sistem di Indonesia. Masalahnya.... apakah kita mau mengubah sistem manual ... yang memungkinkan untuk ”bermain-main” dengan sistem online yang sangat rigid. Ini soal kemauan ... bukan soal bisa atau tidak. Kemauanlah yang akan menggerakkan sesuatu dari ”tidak bisa” menjadi ”bisa”

salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...