Jumat, 08 Juli 2005

Menikah dengan orang Tunisia? Siapa takut...?

Avec grand remerciement pour Isna

Gerbang pernikahan di jaman sekarang kelihatannya semakin sukar dimasuki. Di kota-kota besar, usia penikahan baik lelaki maupun perempuan, cenderung makin meninggi Umumnya dikisaran usia 30 tahun. Entah apa yang jadi penyebabnya. Apakah karena perempuan sekarang banyak yang bersekolah tinggi, lalu menunda penikahan agar kuliah bisa selesai dulu. Dan karena pada umumnya usia perempuan lebih muda dari pasangannya otomatis usia lelaki saat memasuki pernikahan juga semakin tinggi.

Ternyata, selesai kuliahpun mereka tidak langsung menikah. Mencari pekerjaan dulu.... terbenam dalam sibuk.. Lalu setelah itu mulai sedikit realistis. Mulai menimbang-nimbang ... mesti punya rumah dulu ... punya mobil dulu... punya tabungan dulu .. punya asuransi jiwa dulu... Kalau materi belum siap, kasihan anak-anaknya. Sekolah sekarang mahal . Setelah semua tersedia ... lho..lho... Mental belum siap nih ... Tertunda lagi ... Terus begitu, tidak habis-habisnya.

Di sisi lain, perempuan sekarang juga sangat mandiri. Pekerjaan membuat mereka merasa mampu menghidupi dirinya. Tidak perlu tergantung pada orang lain. Dengan begitu persepsi perempuan terhadap nilai pernikahanpun berubah. Harus egaliter dalam hak dan kewajiban!
-----------

Teman les bahasa Perancis saya, datang dari berbagai golongan. Sebagian adalah perempuan matang, bahkan ada nenek berusia 65 tahun yang menurut saya sangat ”smart” dan ”open minded”. Pengetahuannya sangat luas terutama yang menyangkut budaya. Salah satu yang termasuk paling rajin les, perempuan muda usia 34an. Dia bisa digambarkan sebagai profil wanita karier masa kini. Smart, open minded, sangat extrovert, easy going dan gemar bertualang. Pendapat dan gaya hidupnya, terutama yang berkaitan dengan hubungan lawan jenis, sering bikin telinga ibu-ibu, terutama ”the housewife’s gang” merah padam. Bisa dimengerti, mereka yang tidak bekerja, mungkin tidak tahu bagaimana hutan belantara pergaulan para professional muda yang penuh gelora.

Baru-baru ini, dia yang selalu rajin hadir di kelas, menghilang dari ccf selama dua minggu. Tanpa kabar berita, sms yang dikirimpun tak sampai. Nah dua minggu yang lalu dia masuk, dan dengan wajah berseri-seri menceritakan petualangannya ”mencari cinta” ke negeri orang. Betul-betul ke negeri orang . Naik pesawat dari Jakarta – Singapore – Bangkok – Istambul dan lalu berlabuh di ujung utara benua Afrika, di salah satu negeri ”Maghreb”, Tunisia. Cerita perburuannya seru ... seram ... menegangkan ... dan sekaligus mengharukan. Minimal buat saya. Tapi, sayang bersifat sangat pribadi. Jadi, bukan itu yang ingin saya ceritakan.

Lelaki yang ditemuinya itu atau sebutlah calon suaminya, berusia sekitar 50 tahun, bekerja di sebuah kementrian Tunisia. Jadi jelas asal usul dan pekerjaannya. Itu yang penting. Bagaimana bisa bertemu? Ini pergaulan global a la cyber net ... Jadi, ini salah satu keuntungan kita ber internet ria. Chatting telah membuka ruang pergaulan dan memungkinkan pertemuan dua orang yang berada di belahan dunia yang tak terjangkau mata.

Setelah berkenalan selama 4 tahun, si gadis nekat berangkat ke Tunisia ... tanpa tujuan yang jelas. Kalau cocok ayo menikah, kalau tidak.. masih banyak lelaki di seluruh penjuru dunia. Maklum ... kemandirian a la wanita karier Indonesia, kadang membuat mereka merasa kurang cocok dengan lelaki Indonesia, terutama yang masih berpikiran ”tradisionial”

Dia duda bercerai yang memiliki 3 orang anak. Itu biasa ... di Indonesia banyak lelaki menceraikan istrinya. Lalu cari istri lagi.... dan itu juga biasa. Bahkan yang masih punya istripun kadang masih suka jelalatan, goda sana- goda sini. Apa anehnya? Apalagi Tunisia kan negara Islam, yang memperbolehkan suami beristri 4.

Tapi, ternyata Tunisia itu negara Islam yang unik. Negara itu, konon merasa lebih ”modern” dari kebanyakan negara Islam di utara jazirah Afrika. Jadi dalam pergaulan diplomatik internasional, Tunisia tidak mau dekat-dekat dengan Aljazair, Sudan, Maroko atau bahkan Mesir. Tunisia lebih merasa sepaham dengan Turki yang sekuler dan setengah Eropa itu. Lebih modern ... Mungkin begitu pikir para politisi negara itu.

Masyarakat Tunisia hidup dalam kontradiksi. Di satu sisi, peraturan dan undang-undang yang berlaku sangat maju. Sangat melindungi kepentingan warga negaranya. Tidak kalah dengan negara barat Apalagi penerapannya pun dengan sanksi – dan hukuman yang jelas. Tidak main-main. Tetapi di lain pihak, kultur Arab tradisional masih kuat melekat di dalam kehidupan masyarakatnya. Kehidupan yang sangat patrilinial. Dari kacamata para feminis, Tunisia adalah negara yang masih didominasi oleh lelaki. Perempuan tugasnya di rumah, mengurus suami dan anak-anak. Perempuan Tunisia yang bekerja masih sangat jarang. Dan seperti di negara Arab lainnya, sepulang kantor, suami akan mampir ke supermarket, belanja kebutuhan rumah tangga. Istri tinggal memasak di rumah.

Jangan harap kita pasangan non muhrim berani bergandengan tangan di muka umum. Jangan berani berpakaian tidak sopan ... Harus pakaian tertutup! Kalaupun tidak berhijab ... pakailah pakaian yang sopan, sedikitnya jangan mengumbar kemolekan tubuh. Itu tabu. Urusan kemesraan dan kemolekan tubuh jangan diperlihatkan di muka umum. Dalam hal ini, Jakarta jauh lebih maju. Tetapi..., di pantai turistik Tunisia, perempuan berbikini dengan aman bergentayangan. Ini pantai bung ... masa berpakaian lengkap? Bahkan, aborsipun dapat dilakukan siapapun, di banyak rumah sakit, dengan syarat bahwa usia kandungan belum melebihi 3 bulan.

Bagaimana pemerintah mengatur kehidupan rakyatnya, terutama yang berkaitan dengan perlindungan kepada anak-anak dan wanita. Ini menjadi perhatian saya. Bukan karena sok feminis. Tapi, hanya ingin mengetahui bagaimana pemerintah sekuler dari sebuah negara Arab yang sudah pasti mayoritas penduduknya beragama Islam, menterjemahkan hak-hak anak dan perempuan ke dalam UU dan sekaligus aplikasinya. Saya hanya ingin mengutip cerita kawan saya itu terutama dalam kasus yang berkenaan dengan ”perceraian dan konsekuensinya. Yang berkaitan dengan perlindungan anak dan mantan istri”

Kita mulai dari ; Bagaimana gaya remaja Tunisia berpacaran? Remaja Tunisia dilarang pacaran! Jangan main-main, kalau naksir anak orang... nah, datang langsung kerumah orang tuanya. Ajak orang tua kita untuk bilang kalau anak kita naksir anaknya. Lalu orang tua akan membuat pesta, mengundang kenalan dan tetangga. Setelah itu siap-siap memasuki gerbang pernikahan. Apa persiapannya ?

Yang terpenting adalah rumah dengan segenap isinya Ini indispensable, ”wajib bin kudu”. Jangan berharap menikah kalau yang satu itu belum terpenuhi. Kalau masih ada uang berlebih, tambahkan mobil.. lalu perhiasan, emas berlian, gak boleh imitasi ... lalu .... deposito... hehe.. pokoknya lengkap!!! Jangan dikurangi ... kalau tidak, jangan harap bisa menikah cepat-cepat. Nah persiapan ini memakan waktu bertahun-tahun. Jadi perempuan maharnya ”mahal”. Bubar dan membatalkan rencana pernikahan ...? No way.... belum pernah terjadi. Mungkin seluruh kaum kerabat bisa malu besar. Masyarakat Tunisia menjaga betul hal ini!

Setelah menikah? Perempuan duduk manis di rumah. Memang begitulah tradisi Arab. Perempuan bagai hidup disangkar emas. Alasannya; karena perempuan sangat dimuliakan. Lelaki yang bertanggung jawab harus memenuhi seluruh kebutuhan hidup keluarganya. Jadi sebetulnya enak lho, jadi perempuan! Tapi sayangnya, ada sedikit kontradiksi ... di dalam rumah, lelaki, termasuk anak lelaki, menjadi raja. Jangan makan sebelum mereka selesai makan dan kenyang. Sediakan cepat seluruh kebutuhan mereka. Jangan sampai mereka marah karena perempuan tak sigap melayani. Lelaki Tunisia juga sangat senang menghabiskan sore hari, berkumpul di kafe-kafe yang bertebaran di segala penjuru kota. Mereka mengobrol sambil minum kopi dan merokok dengan pipa khas arab. Namun jangan harap dapat menemukan wanita di kafe. Ini hal yang tabu dan akan jadi pemandangan aneh jika seorang wanita masuk dan duduk untuk minum kopi di tempat seperti itu. kecuali memang di daerah turis dimana banyak terdapat kafe yang memang diperuntukkan untuk wanita dan keluarga. Kehidupan seperti ini, bagi perempuan yang berpendidikan tinggi, yang sudah ”teracuni oleh pemikiran Barat” akan menjemukan dan membuat mereka berontak dan bisa berbuntut pada perceraian.

Perceraian memang bukan hal yang dilarang dalam Islam, walaupun tidak dianjurkan. Perempuan Tunisia tidak akan pernah takut bercerai. Bisa jadi, justru lelaki yang takut untuk menceraikan istrinya. Perceraian bisa membuat lelaki Tunisia bangkut. Betul-betul bangkrut. Rumah dan seluruh kekayaan beralih tangan kepada mantan istri, karena itu bagian dari mahar yang sudah diserahkan kepada istri saat menikah. Yang tersisa, hanya gaji yang dimiliki. Itupun sudah dipotong-potong oleh berbagai kewajiban menyantuni anak serta mantan istri.

Kewajiban menyantuni anak dan mantan istri wajib hukumnya. Anak-anak harus disantuni, dicukupkan kewajibannya sampai mereka selesai kuliah. Mantan istri wajib, dinafkahi sampai dia menemukan jodohnya kembali. Kalaupun mantan istri menikah, jangan harap bisa lepas tangan terhadap kewajiban menafkahi anak. Yang terlepas kewajibannya adalah menafkahi mantan. Anak, nasabnya kepada bapak. Jadi jangan coba-coba ingkar janji. Tetap melekat sampai mereka selesai kuliah.

Bagaimana bila lelaki ingin menikah kembali? ... Tidak ada kendala. Boleh... tapi selama mantan istri belum menikah kembali, maka kewajiban terhadap mantan belum pupus. Hanya sedikit berkurang, karena berarti ada dua perempuan yang disantuni suami. Apakah cukup di atas kertas begitu? Tidak ...!!! Pemerintah Tunisia sudah melengkapi dengan berbagai aturan dan sanksi. Secara periodik, aparat akan datang dan mengecek bukti transfer kewajiban lelaki kepada mantan istri dan anak-anaknya. Jangan pernah berani ingkar!! Bukti-bukti harus lengkap dan jelas Kurang 1 kali kirim? Penjara ganjarannya!!!!

Peraturan ini jelas melindungi kepentingan anak-anak dan perempuan. Jadi... siapa takut menikah dengan lelaki Tunisia ....?????

Salam
Lebak bulus 15 juni 2005




2 komentar:

  1. Wah..kok gue miss tulisan ini ya???!!! Jadi siapa takut kawin dgn lelaki Tunisia??? Mais pour le cas de notre chere amie...ce ne sera pas facile pour elle, faut qu'elle se reflechisse profondement sans doute!!!

    BalasHapus
  2. Surement.... mais, elle a dit que tout a ete rompue et j'espere que ce serait pour le meilleur

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...