Rabu, 29 Juni 2005

Bunuh diri juga menghinggapi remaja dari kelas menengah

Pengantar :
Belakangan ini, kasus bunuh diri di Indonesia, semakin marak. Pelakunya bukan saja orang tua tetapi juga anak usia sekolah. Hal sepele bisa menjadi pemicunya. Kala kita membaca berita tersebut, kadang tidak terpikir bahwa ada orang yang mampu menyakiti dirinya dan berusaha menghilangkan nyawanya sendiri. Tetapi kalau hal itu terjadi di kalangan dekat, mungkin perasaan kita menjadi berbeda lagi. Betapa kompleksnya persoalan hidup manusia, termasuk kehidupan anak remaja dari usia belasan sampai usia mahasiswa. Orang tua, seringkali ”merasa tahu segalanya” tentang kehidupan remaja, berdasarkan pengalaman hidupnya. Padahal sesungguhnya, kita tidak tahu apa-apa. Jaman selalu bergerak, sementara referensi yang digunakan orang tua adalah masa lalu, bukan ”masa sekarang” yang riel sedang dihadapi anak-anaknya.

Cerita ini ditulis untuk berbagi cerita sambil menarik perhatian para orang tua.”Peristiwa bunuh diri” bukan hanya menyentuh ”anak-anak golongan miskin” yang malu karena tidak bayar uang sekolah atau orang tua yang tidak lagi sanggup memberi makan anak-istrinya. Tapi lebih luas lagi, bisa terjadi pada remaja atau golongan menengah, tanpa kita sendiri tahu apa pemicu sesungguhnya. Sekedar berbagi pengalaman, tulisan ini, dibuat berdasarkan kejadian sebenarnya (dari sisi penulisnya), semoga menjadi hikmah dan pelajaran bagi kita semuanya, bila suatu saat mengalami hal yang sama. Wallahu 'alam
Salam

Bagaimana bisa terjadi ???
Hari menjelang siang. Saya sedang menyelesaikan proposal kelayakan proyek untuk pinjaman kredit bank yang menjadi tugas dan tanggung jawab keseharian di kantor. Sebentar lagi saat makan siang tiba, jadi proposal ini mesti cepat diselesaikan pengerjaannya.

Belakangan ini, sambil mengerjakan tugas kantor, saya masih harus memonitor proses permohonan student visa anak saya. Anak sekarang memang manja, semua mau tahu beres. Tapi, Ini pasti kesalahan para orang tuanya. Selalu berusaha menyenangkan hati anak, memenuhi kebutuhan mereka. Untuk menutupi kesalahan mereka karena kurang mempunyai waktu bersama. Sibuk mengejar materi untuk memenuhi standar gaya hidup metropolis.

Bip !! Bunyi pendek, tanda sebuah sms masuk. Siapa nih siang-siang kirim sms? Orang yang selalu berhubungan dengan saya, biasanya lebih suka menelpon langsung.
”Selamat siang tante. Saya hanya mau minta maaf, bila saya punya kesalahan sama tante”

Wah, tumben anak ini kirim sms! Biasanya, gadis hanya mengirim sms pada kesempatan atau hari-hari istimewa saja. Pada hari ulang tahun saya atau lebaran. Saya tidak kenal betul dengan gadis, mungkin juga tidak pernah bertemu muka. Hanya sering mendengar namanya. Sesekali dia, juga mengirim kue buatannya untuk saya, ke rumah. Dia teman anak lelaki saya.
”Tumben kamu kirim sms? Memangnya sudah bikin salah apa sih, kamu? Atau mungkin kamu ya, yang suka telpon tak bersuara ke rumah malam-malam?” saya sedikit bercuriga. Memang belakangan itu, seringkali ada telpon gelap berdering di rumah baik siang maupun malam hari. Nggak tahu waktu.
”Nggak kok, tante. Saya cuma mau bilang aja kalau saya sayang banget sama anak tante.” jawabnya lagi.
”Terus dia gimana?” teringat bahwa hubungan cinta remaja ini memang sudah berakhir kira-kira 6 bulan sebelumnya.
”Gini deh, banyak doa aja... Kalau jodoh pasti nggak kemana kok! Sekarang lebih baik konsentrasi kuliah saja”, lanjut saya, masih dalam sms.

Sms terakhir itu tidak terjawab. Saya lalu memutuskan untuk meneruskan pekerjaan sedikit dan lalu makan siang di kantor seperti biasa. Tidak ada kesan apa-apa, walau terasa sedikit aneh menerima sms dari teman anak saya itu. Mungkin gadis lagi iseng, kurang kerjaan! Atau, jangan-jangan mau mengambil hati saya, agar saya mau membujuk anak saya balik lagi pacaran sama dia... He..he... GR ....!!

Setelah makan siang dan shalat, saya melanjutkan pekerjaan rutin yang kadang terasa sangat membosankan. Sekitar jam 15.00, resepsionis kantor memberitahu ada telpon dari rumah. Agak kesal saya menerima telpon. Ada apa lagi ...?? Saya paling tidak suka menerima telpon dari rumah pada jam kantor, kecuali ada hal yang sangat penting.

Saya dengar suara si mbak dari rumah, terkesan sangat hati-hati dan berusaha bicara pelan-pelan seolah tidak ingin didengar siapapun.
”Bu... ada orang... lelaki, telpon cari mas. Sudah dua kali ...”
”Siapa...? Ada apa ... ? Saya agak kaget, sedikit khawatir. Tidak biasanya ada lelaki tak dikenal mencari anak saya ke rumah. Siang-siang begini, seharusnya dia tahu kalau anak saya pasti tidak ada di rumah. Kuliah!

Teman-temannya selalu menghubunginya melalui hp. Apalagi ini hari kuliah. Anak saya sedang ujian semester. Jam segini mungkin baru selesai ... atau sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Anak-anak sekarang punya umumnya hp, jadi tidak mungkin dicari-cari sampai ke rumah, kalau tidak ada sesuatu yang emergency.
”Katanya, gadis masuk rumah sakit bu ... kritis..! Mereka minta, mas bertanggung jawab”

Deg .... tanpa terasa, dada saya berdebar kencang. Apa yang mesti dipertanggung jawabkan oleh anak saya? Saya teringat sms yang saya terima menjelang makan siang tadi. Apa ada kaitan antara sms dengan kritisnya gadis di rumah sakit?
” Ya... ya... nanti saya coba cari mas dan hubungi keluarganya. Tolong hati-hati mbak...! Jaga telpon baik-baik, segera angkat kalau bunyi lagi! Jangan sampai ibu sepuh terima telpon ini, ya.”

Konsentrasi saya langsung pecah. Tidak bisa bekerja lagi. Cemas ... bingung tidak menentu. Saya coba menghubungi anak saya melalui hp nya. Mati ..... Shit! Saya lupa, batere hpnya sekarat. Saya ingat tadi pagi, kami berangkat sama-sama dari rumah. Seperti biasa dia turun di blok M dan menyambung perjalanannya dengan bus ke kampus. Di perjalanan kami sempat ngobrol seperti biasa, tidak ada suatu yang istimewa. Hanya membicarakan proses permohonan student visa di kedutaan dengan segala pernak-perniknya. Dia juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Akhir semester ini dia harus segera berangkat ke melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Saya juga tahu batere hp nya sudah agak lemah. Tidak seperti biasanya, hari ini dia meninggalkan charger hp di rumah. Biarlah, nanti saja saya telpon ke rumah. Mungkin saat ini dia masih dalam perjalanan pulang, di bus.

Saya menghubungi nomor hp gadis yang tadi digunakannya mengirim sms. Cuma itu nomor yang saya ketahui untuk menghubungi keluarganya. Saya tidak pernah dan tidak suka terlalu mencampuri urusan anak-anak, walaupun saya selalu bawel untuk mengetahui siapa saja kelompok mereka. Hanya itu dan tidak mau masuk terlalu jauh.

Suara lelaki remaja segera menyambut.: “Sebentar tante, bicara sama ibu saya saja...”, jawabnya setelah tahu siapa yang menelpon, dan kemudian disambung dengan suara perempuan.
”Apa yang terjadi..?” langsung saya bertanya. Tanpa basa basi. Ini pertama kali saya bicara dengan ibunya gadis.

Sambil tersendat, dia menceritakan semua yang terjadi. Gadis, bungsu dan satu-satunya perempuan di keluarga, mencoba bunuh diri menjelang jam makan siang tadi dengan meminum racun serangga. Dia sudah merancangnya dengan baik. Menyiapkan surat perpisahan dan permohonan maaf untuk keluarga. Mengirim sms kepada seluruh teman dekatnya untuk datang ke rumahnya pada jam 17.00. Waktu yang dia perkirakan ”jasadnya” akan tiba di rumah. Termasuk di dalamnya beberapa sms yang dikirimnya kepada saya. Untung, pembantu rumah mereka cepat melaporkan sesuatu yang mencurigakan di rumah ketika dia mau membereskan kamar gadis. Hari itu, kamar gadis yang biasanya terbuka lebar, saat itu terkunci rapat. Curiga ada maling di dalam kamar, mereka memanggil satpam di perumahan tempat tinggal mereka. Mengintip dari jalusi jendela untuk melihat apa yang terjadi di dalam kamar untuk kemudian segera mendobrak pintu saat melihat gadis terkulai lemah dengan ceceran cairan di sekitarnya. Lalu segera dibawa ke rumah sakit tak jauh dari tempat tinggal mereka.

Saya betul-betul lemas ..., keringat dingin mengalir membasahi baju. Jadi itu rupanya, makna sms dan telpon yang bertubi-tubi ke rumah. Gadis mencoba mengakhiri hidupnya dan mereka, secara tidak langsung, menuduh anak saya sebagai penyebab.
Kepala saya mendadak sakit ... pusing... Duh, apa lagi yang terjadi ini? Urusan remaja yang tidak habis-habisnya. Pendek sekali pikirannya...!!!
”Ibu, apakah anak ibu baik-baik saja....? pertanyaan bodoh begitu saja terlontar.
”Dia masih belum sadar. Tapi seluruh isi perutnya sudah dikuras. Dokter memastikan dia bisa terselamatkan. Belum terlambat dan kami bersyukur, daya tahan tubuhnya sangat baik.”
”Syukurlah ... tapi bukan itu saja. Maksud saya ..... ” ragu saya mengatakannya. Saya takut dengan pikiran dan dugaan saya sendiri... Takut menghadapi kenyataan. Selama ini saya percaya penuh pada anak saya. Dia tidak pernah ketinggalan shalat 5 waktu dan puasa Daud. Dan saya juga selalu mengingatkan setiap saat akan dua hal yang harus dihindarinya dalam bergaul... Narkoba dan seks pranikah. Tapi siapa yang tahu ....???

Saya ingat 2 minggu sebelum peristiwa itu, anak saya membawa adiknya main ke rumah gadis. Seperti biasa, usil, saya sempat menanyakannya. Kenapa masih berkunjung ke rumah gadis juga, sementara hubungan mereka sudah putus. Tapi anak saya enteng saja menjawab...” Memangnya kalau sudah putus nggak boleh berteman ya...??”

”Tidak bu ... Alhamdulillah, bersih dan tak kurang apapun. Semua sudah diperiksa lengkap” Ibu gadis mengerti arah pertanyaan saya yang mengambang itu.
”Syukurlah, saya masih mencoba mencari anak saya. Hpnya mati, karena lupa di charge. Insya Allah kami akan berkunjung ke rumah sakit nanti malam, bersama suami dan anak saya. Saya harap ibu berkenan menerima kami”

Saya kemudian menelpon semua teman-teman anak saya yang saya kenal. Mengecek keberadaannya. Semua menggeleng, tidak tahu dimana keberadaan anak itu. Bahkan teman-teman belajarnya dan penghuni rumah, tempat mereka sering nongkrongpun tak ada yang tahu kemana dia. Betul-betul lenyap seperti ditelan bumi. Mungkin ini coincident  dan pertolongan Allah SWT untuk menyelamatkan diri anak saya. Kakak-kakak dan oom-oomnya gadis begitu marah. Menuduh secara tegas bahwa anak saya penyebab gadis bunuh diri seraya mengancam melalui telpon ke rumah. Bila sampai maghrib anak belum ditemukan, mereka akan mengadukan kasus ini ke polisi dan menciduk anak saya. Apalagi teman dekat gadis mengatakan bahwa sehari sebelumnya, gadis bertengkar hebat dengan anak saya di Senayan. Apa sebabnya? Gelap! Sama gelapnya dengan penyebab bunuh diri itu. Mereka sudah bubar sejak 6 bulan sebelumnya. Gadis, sama sekali tidak ternodai, apalagi hamil karena anak saya ... So what? Hanya karena pertengkaran di Senayan ...? Pertengkaran apa lagi? Sangat tidak masuk akal!!!

Saya ulangi menelpon kerumah. Berharap dia sudah berada di rumah. Biasanya 1,5 jam sesudah selesai kuliah, anak saya sudah tiba di rumah, Ini sudah waktunya. Tapi entah apa yang terjadi, dia belum juga tiba di rumah.  Mbak panik karena telpon tidak berhenti berdering mencari anak saya. Dia tidak bisa ke dapur untuk masak, khawatir ibu saya menerima telpon. Saya tidak kalah panik dan bingung. Buyar sudah urusan kantor ... ingin pulang, ingin menangis, panik, sedih, bingung... takut akan keselamatan anak saya. Semua masih gelap. Saya tidak berani menelpon suami ke kantornya. Ini masalah gawat ... tidak nyaman dibicarakan di telpon. Bisa runyam semuanya. Lelah mencari anak melalui telpon, akhirnya saya memutuskan pulang, sambil tak putus-putus berdoa untuk keselamatan anak saya. Duh... kemana anak ini????

50 meter menjelang tiba di rumah, saya melihat dia sedang berjalan menuju rumah, santai seperti biasanya, tanpa beban. Saya panggil dan mengajaknya masuk ke mobil, untuk bicara sebentar menjelang masuk ke rumah. Saya tidak ingin pembicaraan ini didengar ibu saya. Telpon-telpon panjang seharian ini saja pasti sudah membuatnya curiga. Pasti dia akan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Saya tidak ingin ada kehebohan di rumah.

”Gadis mencoba bunuh diri, sekarang kritis di rumah sakit”
”Kapan dan darimana tahu kabarnya?”

Saya ceritakan secara singkat apa yang sudah terjadi sambil menatap tegas wajah anak saya. Menduga-duga reaksi dan perasaannya. Tapi tidak ada yang dapat saya baca pada raut wajahnya.
”Saya sudah janji akan ke rumah sakit setelah kita makan malam nanti. Mau ikut?”
’Yup!” jawabnya singkat.

Setelah suami pulang, saya menceritakan sedikit tentang kejadian hari ini. Tentang janji saya mengunjungi gadis di rumah sakit dan memintanya segera bersiap. Setelah makan, mandi dan shalat Isya, kami berangkat. Dalam mobil, tak ada yang bersuara. Semua sibuk dengan pikiran dan perasaannya masing-masing. Menduga-duga, apa yang sebenarnya terjadi. Perjalanan ke rumah sakit terasa bagai tak berujung. Ini adalah perjalanan yang paling mencekam selama hidup saya.

Tiba di rumah sakit, kami langsung menuju lantai tempat gadis di rawat. Keluar dari lift, kami bertemu pandang dengan tatapan mata marah, benci dan bengis dari keluarga gadis. Saya merasa terluka dan sangat terhina karenanya. Sikap mereka sama sekali tidak bersahabat. Kami berniat baik menjenguk gadis, ingin berbagi duka, menunjukkan bahwa kami orang-orang yang bertanggung jawab, kalau diperlukan, walau kami sendiri masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga gadis menempuh jalan terkutuk ini.

Saya masuk ruang perawatan dengan anak saya. Gadis sudah sadar dan meminta maaf pada saya dan anak saya, sudah merepotkan kami. Saya hanya bisa tersenyum getir dan memintanya untuk tidak mengulangi tindakan konyol ini. Tidak lama di kamar, saya segera meninggalkan kedua remaja yang saling berpegangan tangan. Lalu meminta suami menjenguk masuk. Suasana betul-betul tidak bersahabat dan sangat mencekam. Kaku dan tegang.

Hanya ibu gadis yang masih mau berbicara dengan kami. Sekali lagi, dia mengulang cerita yang sama. Dia menyampaikan pesan dan ancaman bapak gadis agar anak saya tidak lagi menghubungi anaknya. Saya memahami dan sangat mengerti, kemarahan mereka. Saya menyanggupinya, walaupun saya tidak mengerti apa permasalahan dan kesalahan anak saya. Ini memang sudah keterlaluan. Saya hanya tidak ingin anak saya tersandera dengan tindakan-tindakan konyol gadis, bila mereka masih saling berhubungan.

Tidak lama kami di rumah sakit, kami berpamitan. Tidak ada jabat tangan dan tidak ada basa-basi apa lagi beramah tamah. Malam itu, amat sangat kelam dan gelap. Sama kelamnya dengan hati dan perasaan saya. Untung hari itu hari terakhir anak saya ujian. Jadi keesokan harinya dia mengurung diri di rumah. Saya rasa dia perlu menenangkan pikiran dan perasaannya. Kejadian itu pasti membuatnya shock. Saya tidak berani bertanya-tanya lebih jauh lagi apa yang menjadi masalah dalam pertengkaran mereka di Senayan satu sehari sebelum kejadian ini. Biar itu menjadi rahasia hatinya.

Hari Jum’at kebetulan libur. Saya di rumah, menyiapkan makan siang, saat telpon berdering. Tidak ada orang di dalam. Suami dan anak saya sudah berangkat ke mesjid untuk melaksanakan shalat Jum’at Agak malas, terpaksa telpon saya angkat. Ternyata, Ibu gadis menelpon, meminta dan sangat mengharapkan kehadiran anak saya di rumah sakit saat itu juga. Saya ingat perjanjian yang kami buat di rumah sakit. Tidak ada kontak lagi, apalagi bertemu!

”Maaf bu, apa ibu lupa dengan permintaan bapak gadis dan perjanjian kita?”
”Ya, maafkan saya. Tolonglah sekali ini saja...!
”Untuk apa? Untuk menyakiti hati kami lagi?”
”Ibu, tolonglah! Gadis meminta saya menelpon. Keadaannya memang sudah semakin baik. Dia hanya ingin bertemu anak ibu. Saya sudah melarangnya, tapi dia mengancam, hanya mau makan obat-obatannya setelah bertemu dengan anak ibu. Dia berjanji, ini untuk yang terakhir kali. Jadi mohon diijinkan”
”Anak saya sedang shalat Jum’at. Saya belum bisa memberi jawaban. Telpon saja lagi, nanti”

Sepulang shalat, saya sampaikan pesan tersebut. Saat telpon kembali berdering, anak saya menyanggupi dan berjanji datang setelah makan siang. Siang itu kami berdua berangkat ke rumah sakit. Saya tidak akan mengijinkan anak saya berkunjung sendiri. Saya masih belum tahu perkembangan keadaan di sana. Jangan-jangan ini jebakan untuk melukai anak saya. Jujur, saya masih mengkhawatirkan keselamatan anak saya.

Berbeda dengan pertemuan pertama, kali ini ibu gadis menyambut kami dengan sangat ramah. Rumah sakit sepi. Ibu gadis menyambut dan mempersilakan anak saya masuk ke dalam ruang tempat gadis dirawat. Kemudian dia menggamit tangan saya. Dia meminta maaf atas sikap keluarga terutama suaminya kepada kami saat bertemu dua hari sebelumnya. Dia banyak bercerita tentang gadis, tentang isi hati dan perasaan-perasaan gadis. Sayapun meminta maaf, bahwa anak saya sudah menjadi penyebab keputus-asaan gadis, walaupun sesungguhnya saya sama sekali tidak mengerti pangkal permasalahannya. Sesungguhnya ibu gadis tahu permasalahan sebenarnya, dan merasa malu atas kejadian ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia juga bercerita; keluarga memutuskan bahwa gadis, untuk sementara waktu akan diungsikan di luar kota, untuk menenangkan pikiran dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pertemuan siang hari itu diakhiri, sekali lagi, dengan janji untuk mengusahakan agar mereka tidak lagi saling berhubungan. Walaupun kami sama sepakat bila suatu sat mereka memang berjodoh, maka kami tidak bisa menghalanginya. Biarlah Allah SWT yang menentukan jalan hidup manusia.

Hari itu saya pulang dari rumah sakit dengan hati yang lebih ringan Beban berat selama 3 hari ini pupus sudah. Namun, secara jujur, dalam hati saya berdoa dan memohon; ”Ya Allah, bila suatu saat nanti saya diberi kesempatan untuk mempunyai menantu perempuan, berikanlah, kepada anak saya, pasangan shalihah yang menyejukkan hati  baginya dan juga bagi kami, kedua orang tuanya”

salam
Lebak bulus 15juni2005




2 komentar:

  1. walah...walah...pasti anak ibu punya banyak kelebihan ampe si gadis pengen bun-dir getu....tapi yang nggak habis pikir lha kok sepicik itu sich mikirnya? emangnya bunuh diri tuh best way?? alah mak.....ampun dech

    BalasHapus
  2. Ini yang perlu dipikirkan oleh orang tua dalam mendidik anak. Pengajaran agama, kadang tidak berpengaruh dalam menghadapi kenyataan hidup. Saya punya kolega yang sangat rajin ibadah. di penglihatan mata saya, selama saya kenal +/- 10 tahun, lelaki itu tampak bersahaja dan taat ibadah (minimal yang terlihat.. shalat dan puasa). Toh akhirnya, ditengah belitan kenyataan hidup (saya nggak tahu alasan yang sebenarnya), dia mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di kantornya.
    Jadi, dimana korelasi antara ibadah (takwa) dengan bunuh diri yang jelas2 diharamkan oleh agama??

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...