Pasrah dan Berserah Diri
Lebih dari enam bulan saya berobat ke tempat ibu G, setiap hari sabtu jam 8 pagi, saya menjadi pelintas batas kota. Berangkat dari rumah di Bekasi menuju pos pengumben – Jakarta Barat. Beruntung sekali, teman yang memperkenalkan saya kepada ibu G itu adalah HRD manager di perusahaan real estate tempat saya bekerja. Begitu perhatiannya pada masalah yang saya hadapi, dia memerintahkan supir kantor untuk siap mengantar saya setiap hari sabtu, sampai suatu kali ibu G memberitahukan bahwa pengobatan yang saya jalani sudah cukup dan saya dianggap sembuh. Sebagai penutup ritual pengobatan, saya diminta untuk menyembelih satu ekor kambing dan memberikan masakan matangnya pada kaum duafa.
Agak terperangah, mendengar syarat akhir itu. Sempat juga terbersit kebimbangan untuk menjalankan persyaratan itu. Tapi, saya sudah berada di ujung jalan dan tidak dapat lagi mundur. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, pemotongan kambing jadi juga dilaksanakan. Walaupun merasa aneh dengan cara pengobatannya, sejak awal saya berprinsip, asalkan tidak disuruh macam-macam yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama, akan saya jalani. Pengobatan dengan berdzikir selama perawatan, sudah saya lakukan dengan senang hati. Lalu dengan memakan kuning telur seperti yang dianjurkan oleh ibu G. Semua dilakukan demi sebuah harapan untuk sembuh. Jadi, jangan tanyakan apa hubungan antara kesembuhan dengan penyembelihan kambing? Entahlah... saya tidak ingin berpanjang-panjang lagi dengan pertanyaan seperti itu. Kala kita memutuskan mencari pengobatan alternatif, kita sudah harus siap dengan segala keanehan-keanehan cara pengobatan yang ditempuh. Demikian juga dengan ritual potong kambing. Anggap saja itu sebagai wujud syukur dan berbagi kebahagiaan kepada kaum duafa atas kesembuhan. Begitu, lebih baik.
Usai pengobatan dengan ibu G, kondisi saya memang belum 100% normal, dalam arti kembali kepada siklus menstruasi normal 28 hari. Tetapi minimal, menstruasi, walaupun masih berlangsung hingga 3 minggu, sudah bisa berhenti dan berlangsung seperti sedia kala secara regular, tanpa obat-obatan. Begitu berlangsung berbulan-bulan hingga akhirnya berkurang dari 3 minggu menjadi 2 minggu. Alhamdulillah..... itupun sudah jauh lebih dari cukup. Saya memang tidak kembali memeriksakan kondisi rahim kepada dokter. Malas ... mungkin juga terselip rasa takut bila ditemukan suatu yang abnormal, berbentuk kanker di rahim. Pokoknya selama badan terasa fit, maka semua dianggap baik-baik saja. Toh menstruasi, walaupun tidak normal sebagaimana yang dialami wanita lainnya, sudah mulai berlangsung dengan jadwal teratur.
Hari-haripun mulai kembali normal ... hubungan dengan suami yang sempat terganggu, secara berangsur mulai membaik. Syukur alhamdulillah, menghadapi problematika perempuan selama hampir 7 tahun, suami mendampingi dengan ikhlas dan pasrah. Tidak sekelumitpun ada kesangsian dalam hati bahwa dia melakukan penyelewengan badani dengan perempuan lain. Memang ada dampaknya, suami menjadi ”dingin” dan kurang bereaksi. Dan ini adalah reaksi normal, kala seorang lelaki harus menahan birahi selama + 7 tahun, tentu akan ada bekasnya dan untuk mengembalikan kehangatan rumah tangga diperlukan upaya dan kesabaran dari kedua belah pihak.
Di tengah-tengah usaha untuk memulihkan hubungan pasutri, saya sempat memeriksakan diri ke Lembaga Deteksi Kanker Dini di bilangan Lebak Bulus Jakarta Selatan. Dari pemeriksaan Ultrasonography, ditemukan kista sebesar kacang tanah di rahim bagian kiri. Tepat dimana saat dilakukan penyinaran, terlihat bulatan merah. Mungkin ini yang menyebabkan perdarahan yang saya alami selama 7 tahun itu. Namun, menilik dari besaran kista dan perjalanan panjang perdarahan, dokter berpendapat bahwa kista tersebut bukanlah kanker ganas dan tidak perlu diangkat. Syukurlah.... Dokter memang menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan jenis kista. Saya yang sudah jenuh dengan pemeriksaan dan pengobatan medis, mengabaikan anjuran tersebut. Rasanya... pasien berhak menentukan jenis pengobatan/terapi apa yang akan kita jalani dengan segala konsekuensinya. Apalagi bila kita percaya .. Allah SWT yang memberi cobaan dan Dia pula yang mempunyai hak prerogatif untuk menghentikan cobaanNya pada saat yang dianggapNya tepat dengan cara apapun yang dianggapNya baik.
Tahun 1994, genap 7 tahun sejak terjadi ”dugaan aborsi spontanae”, pada bulan yang sama, saya berkesempatan duduk bersimpuh di hadapan Ka’bah ... memohon ampun atas segala dosa-dosa yang telah dilakukan sepanjang hidup. Bersyukur atas limpahan rejeki dan anugerah yang luar biasa telah dilimpahkan kepada kami. Saya tidak peduli bahwa kami masih mempunyai kewajiban melunasi rumah yang kami tinggali .... Saya tidak terlalu berhitung-hitung berapa sisa tabungan di tangan dan siapa yang mengurus anak tunggal kami di rumah selama kami berdua absen selama + 45 hari menunaikan ibadah haji. Yang penting ... ada ongkos cukup untuk membayar ONH reguler untuk dua orang, ada uang yang cukup untuk anak di rumah dan uang selama satu bulan setelah kami kembali ke rumah hingga mendapat gaji lagi.
Sebelum berangkat, sempat terbersit kekhawatiran akan datangnya kembali gangguan perdarahan selama menunaikan ibadah haji. Hampir seluruh dokter yang dikonsultasikan, menganjurkan untuk membekali diri dengan obat pengatur menstruasi. Namun saya pasrah, tidak ingin lagi bersentuhan dengan obat-obatan. Seorang teman dekat suami asal India (yang menjadi mualaf), selalu mengingatkan tentang kepasrahan kepada Allah SWT, jadi bila Allah SWT meridhoi niat manusia, maka terjadilah hal-hal di luar akal manusia.
Segera setelah mendaftar dan membayar ONH ke bank, saya berusaha mempersiapkan mental/spiritual dengan cara mengisi waktu berdzikir setiap saat dan permohonan kepada Allah SWT..... ”Ya Allah, bila perjalanan ini memang karena panggilanMu ...., bila ibadah ini memang Kau ridhoi dan bila asal usul rejeki yang kami gunakan telah Kau halalkan... Maka, mudahkanlah perjalanan ini .... Lancarkanlah ibadah kami ini .... Hanya Engkau yang Maha Tahu dan Maha Pengatur... kami serahkan segala urusan ini kepadaMu.. Kami tunduk kepada takdirMu .....”
Kami berangkat awal, dalam kloter yang sebagian besar jamaahnya berasal dari golongan majlis taklim di perkampungan Jakarta. Terenyuh melihat betapa mereka mengalami banyak ”cultural shock” sejak masuk ke pesawat terbang. Bila dulu, saya hanya merasa kesal mendengar ”kejorokan” jamaah menggunakan lavatory di pesawat, maka mengalami langsung bersama jamaah haji yang berasal dari perkampungan, perasaan kesal itu berubah menjadi rasa prihatin.
Selama ini, bimbingan manasik haji, hanya ditujukan pada ritual ibadahnya. Para pembimbing lupa, bahwa untuk golongan masyarakat pengguna ONH regular yang mayoritas berasal dari perkampungan, diperlukan bimbingan extra berupa simulasi menggunakan lavatory atau peralatan modern lain yang tidak biasa ditemui dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ketidak mengertian itulah yang menjadi sebab lavatory menjadi kotor/jorok dan banjir dan berbagai masalah non teknis.
Usai mejalani pemeriksaan imigrasi dan menunggu giliran pemberangkatan selama + 10 jam di bandara khusus haji - Jeddah, kami langsung menuju Madinah Al Munawaroh dengan bus. Tidak terbayang sama sekali, bahwa akhir saya sempat mengunjungi rumah Rasulullah ... shalat dan berdoa di taman surgawi Raudhah .. Dan yang terpenting ... saya berhasil menepiskan keraguan dan ketakutan akan balasan langsung atas dosa yang pernah diperbuat dan menggantinya dengan kesadaran bahwa karena dosa itulah, maka sewajarnya, manusia lebih mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Saya menetapkan niat, selain ibadah wajib, juga mengisi waktu selama + 42 hari di tanah Haram dengan melaksanakan shalat sunat Takbir di seluruh tempat yang dikunjungi, Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Arafah dan bahkan di tempat pemukiman sementara selama menunaikan ibadah haji. Memohon ampun atas segala dosa-dosa yang pernah diperbuat, yang disengaja maupun tidak dan meminta ridho Allah SWT agar perjalanan ibadah itu berlangsung dengan lancar.
Setelah sempat menunaikan janji shalat sunat Takbir di Nabawi, pada hari ke 3 di Madinah, menstruasi kembali datang ... deras...!! Saya merasa lemas, perasaan terasa kecut ... sedih, bila Allah SWT ternyata tidak mengabulkan harapan yang telah menggunung dalam hati. Doa dipanjatkan, dzikir dilantunkan setiap saat ” Ya Allah... bila memang ini yang telah kau gariskan, maka saya akan berusaha menerimanya dengan ikhlas ... namun ijinkanlah saya memohon agar diberikan anugerah untuk menyempurnakan ibadah haji ini ....”
Saya tidak dapat merampungkan shalat arbain di Nabawi. Saat semua jamaah haji berangkat menunaikan shalat wajib di Nabawi, saya hanya bisa mengiringi mereka dan duduk di pelataran masjid Nabawi yang luas, hingga akhirnya seluruh jamaahpun berangkat menuju Makkah al Mukarramah. Hati terasa agak gundah, tatkala harus berangkat dengan bus dan mengiringi jamaah satu kloter melaksanakan shalat sunnat Ihram untuk kemudian melafazkan niat umroh dan miqot dari Bir Ali untuk melaksanakan ibadah umroh. Saya tidak dapat melaksanakan Umroh bersama-sama dengan rombongan, karena saya memasuki Makkah masih dalam keadaan ”kotor” Walaupun sedih dengan kondisi ini, saya berusaha ikhlas menerima keadaan ini. Mungkin Allah belum memberikan izin pada saya untuk menunaikan ibadah haji saat itu. Semoga, lain kali, Dia berkenan mengundang saya lagi menunaikan ibadah haji dalam suasana yang lebih baik lahir dan bathin. Walaupun demikian, dzikir dan doa selalu dipanjatkan. Bukankan semua itu merupakan rahasia Allah. Dia yang memberikan penderitaan, dia juga yang memiliki hak untuk mencabutnya.....,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar