Senin, 06 Februari 2006

Memahami hak waris dengan ikhlas.


Kesehatan mertua perempuanku, berusia hampir 84 tahun, sejak mengalami patah tulang paha awal Januari 2006 ini, terlihat kurang stabil. Selama masa perawatan pasca operasi di rumah sakit, beliau seringkali berhalusinasi (mungkin) berjumpa dan bercengkerama dengan 3 orang kakak perempuannya, kesemuanya sudah meninggal dunia. Mereka seperti berbicara, kadang bertengkar dalam bahasa Belanda. Kadang pula, beliau seperti sedang dikunjungi oleh almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia hampir 15 tahun yang lalu. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan keluarga besar anak-anaknya.

Beberapa bulan sebelumnya, dalam keluarga suami, timbul wacana yang agak sensitif, yaitu ingin membicarakan “harta waris” ibu, agar tidak menimbulkan pertentangan di kemudian hari. Timbulnya wacana ini memang agak mengejutkan, karena membicarakan masalah waris, sementara yang bersangkutan masih hidup, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah hal yang tabu. Apalagi mayoritas keluarga besar suami bukanlah orang-orang yang kekurangan, walaupun tidak berlebihan sekali. Tetapi kita, tentu tidak boleh berburuk sangka mengenai hal ini. Pembicaraan mengenai warisan, belum tentu dimaksudkan untuk “membagi-bagi” warisan, tetapi lebih kepada menginventarisir berbagai masalah yang mungkin timbul mengenai hak pewarisan tersebut. Apalagi, di kalangan “terdidik”, ada keengganan untuk menerapkan hukum pewarisan Islam karena dinilai “merugikan” perempuan. Jadi, selain menginventarisi “jumlah harta kekayaan”, juga ditujukan untuk membahas mengenai “bagaimana cara membagi harta waris yang adil bagi semuanya”.

Membagi harta waris yang adil bagi semua, ini adalah masalah yang sangat sensitif bagi manusia, terutama bagi perempuan Islam yang “hanya memperoleh ½ dari hak para anak lelaki”. Hal ini dipicu oleh keadaan bahwa dalam kehidupan sehari-hari; umumnya seorang anak perempuan “lebih memberi perhatian kepada orang tua” dibandingkan dengan anak lelaki yang “lebih dikuasai oleh istri dan anak-anaknya sendiri” dibandingkan dengan perhatiannya kepada orang tua. Belum lagi ketentuan yang menyatakan bahwa apabila seorang lelaki (suami) meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak lelaki (kandung), maka sebagian hartanya akan kembali kepada keluarga almarhum (orangtua serta kakak-adiknya). Kalaupun mereka memiliki anak lelaki, maka hak istri yang ditinggal mati hanya hak 1/8 saja Ketentuan ini tentu dirasa sangat merugikan istri dan anak perempuan yang ditinggalkan almarhum.

Pada era dimana perempuan juga bekerja, bukan sekedar untuk mengaktualisasi diri dimana seluruh penghasilannya menjadi “milik pribadi perempuan”, tetapi pekerjaan yang dijalaninya betul-betul karena kebutuhan hidup dan penghasilan perempuan digunakan sepenuhnya untuk menopang ekonomi keluarga, maka aturan Islam mengenai hak waris bisa dirasa sangat tidak adil bagi perempuan.

Bagaimana Islam menetapkan hak waris bagi yang ditinggal mati?
Dalam An Nisa ayat 11 dan 12, Allah SWT berfirman bahwa :
[4:11] Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan272; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua273, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

272: Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat ayat 34 surat An Nisaa).
273: Lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

[4:12] Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)274. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun

274: Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti : a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

Masuknya orang tua dan saudara-saudara almarhum sebagai pewaris, dalam kasus seorang lelaki menikah (tidak punya anak atau hanya mempunyai anak perempuan saja) seperti yang dicantumkan dalam surat An Nisa ayat  11 – 12 di atas, seringkali dirasakan sangat tidak adil bagi istri (dan anak perempuan) yang ditinggal. Lalu mengapa Allah menetapkan pembagian yang demikian?

Lelaki dalam Islam mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan. Dia, sewaktu menikah berkewajiban memberikan mahar kepada calon istrinya dan kemudian, sebagai kepala keluarga dan imam dalam rumah tangga, berkewajiban memberikan nafkah bagi anak istrinya. Sementara perempuan tidak memiliki kewajiban tersebut. Sebagai istri, perempuan tidak berkewajiban mencari nafkah, karena kewajiban suamilah untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Kalaupun dia memiliki nafkah sendiri maka dia dapat menyimpannya untuk keperluan pribadi. Begitu juga saat perempuan menerima warisan, maka perempuan dapat menyimpannya untuk kepentingan pribadi, tanpa ada berkewajiban untuk menyerahkannya untuk keperluan keluarga. Berbeda dengan lelaki, dia wajib memenuhi kebutuhan keluarga dari penghasilannya termasuk juga harta yang diterimanya dari warisan.

Lebih jauh lagi, tatkala seorang (anak) lelaki kehilangan ayahnya, maka tanggung jawab ayah beralih ke tangannya; termasuk di dalamnya melindungi ibunya dan menjadi wali bagi kakak-adik perempuannya saat menikah. Kewajiban –kewajiban ini merupakan salah satu alasan mengapa hak waris (anak) lelaki lebih besar daripada (anak) perempuan.
*****

Beberapa tahun yang lalu, seorang teman bercerita dan mengeluh panjang lebar mengenai kasus perebutan harta warisan peninggalan orangtuanya. Dia (perempuan) adalah anak tunggal, yang ibunya telah meninggal dunia beberapa tahun sebelum ayahnya meninggal dunia. Saat ayahnya meninggal dunia, maka (menurut ceritanya), keluarga ayahnya yaitu oom dan tantenya serentak mengambil sertifikat tanah milik almarhum sekaligus menguasai beberapa rumah dan villa keluarga tersebut. Si anak tentu tidak bisa menerima kondisi itu dan melakukan perlawanan secara lisan untuk kemudian setelah upaya lisan tersebut tidak berhasil, maka ia, akhirnya melalui jalur hukum.

Sejak saat itu, dimulailah babak pertengkaran antar keluarga, oom dan tante di satu kubu versus keponakan. Tidak ada satupun yang rela mengalah. Sang keponakan merasa punya hak penuh atas harta peninggalan orang tua sementara oom dan tante merasa berhak karena berdasarkan Al Qur’an, sebagian harta peninggalan seorang lelaki yang hanya memiliki anak perempuan akan jatuh kepada saudara-saudara sekandungnya, sebagaimana tercantum dalam ayat berikut :

[4:176] Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)387. Katakanlah : "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
387: Kalalah ialah : seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.

Kasus perebutan harta warisan ini tentu sangat menyedihkan, karena pihak yang berseteru adalah orang-orang yang hidup berkecukupan. Mereka rela kehilangan tali silaturahim di antara keluarga demi harta warisan. Entah bagaimana akhir cerita perseteruan itu, yang pasti pengacara merekalah yang beruntung mendapat harta warisan tersebut dalam bentuk Jasa Konsultasi Hukum

Manusia terkadang lebih dikuasai oleh hawa nafsu dibandingkan dengan akal sehatnya. Lebih memikirkan hak daripada kewajiban, apalagi bila sudah bersinggungan dengan harta. Tentu tidak salah, bila Allah SWT berfirman bahwa :

[18:46] Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

[57:20] Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

[65:3] Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
*****

Pembagian Hak Waris berdasarkan Al Qur’an, sungguh merupakan ujian besar bagi para muslimah akan keimanannya kepada Allah SWT yang Maha Mengetahui. Peran aktif muslimah dalam menegakkan “periuk nasi” harus disikapi dengan amat bijak agar tidak menimbulkan sikap “persamaan” dalam segala hal, karena sesungguhnya Allah SWT telah memberikan berbagai keringanan dan kemudahan bagi muslimah, dan bahkan “kemanjaan” dalam menempuh kehidupan ini.

Karenanya tentu, tidak jangan ada keraguan lagi bagi kaum perempuan untuk menerima dengan ikhlas pembagian harta waris sebagaimana yang telah digariskan dalam Al Qur’an. Bukan besarnya harta waris yang kita terima yang dipentingkan, tetapi berkah dan rahmat Allah SWT yang menyertai harta dan rejeki kitalah yang lebih penting untuk selalu kita syukuri.

Manusia memang cenderung untuk mempertahankan “hak” namun seringkali mengabaikan “kewajiban” yang menyertai dan melekat pada “hak-hak”nya tersebut. Jangan lupa, bahwa segala sesuatu di dunia ini selalu berimbang. Ada yang baik, tentu ada yang buruk, ada hitam dan ada pula putih, maka ada hak, tentu ada pula kewajiban. Maka menjadi kewajiban kitalah untuk menghayati dan mengamalkan agar semua “hak dan kewajiban” antara lelaki dan perempuan, suami dan istri, anak dan orang tua, berjalan seimbang sesuai dengan apa yang diperintahkanNya. Wallahu’alam.

3 komentar:

  1. itulah kenapa, ketika jika orang tua laki-laki meninggal, warisan harus segera dibagi. agar tidak tumpang tindih saat perhitungan di belakang...

    BalasHapus
  2. Ya..., Betul sekali. Tapi dalam kenyataannya, untuk suatu alasan tertentu, terkadang banyak orang yang menunda-nunda pembagian warisan. Yang jadi permasalahan juga, pada keluarga yang anak2nya hanya perempuan, bila si Bapak meninggal dunia, ada keengganan untuk memberikan bagian warisan kepada keluarga bapaknya yang berhak menurut hukum waris. Mereka cenderung memakai hukum positif (negara), bahwa ahli waris adalah anak dan istri. Ini yang bisa memicu pertengkaran di antara keluarga.

    Semoga kita tidak termasuk golongan orang-orang yang hubud-dunya.
    salam

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...