Rabu, 15 Februari 2006

Harta - godaan bagi manusia.


Pertemuan silaturahmi keluarga besar almarhum bapak yang setiap tahun dilaksanakan di rumah, baru saja usai. Ruang keluarga tempat acara doa dan makan siang bersama baru saja selesai dirapikan dan ditata sebagaimana semula. Kami, enam bersaudara beserta suami/istri masing-masing, memang selalu menyempatkan diri untuk hadir pada acara ini, karena inilah satu-satunya kesempatan untuk berinteraksi dengan keluarga bapak yang asli Betawi.

Kesibukan penghuni Jakarta memang membuat kami tidak sempat bersilaturahmi. Apalagi, bapak adalah “anak tunggal”. Seluruh kakak-kakaknya meninggal dunia sebelum sempat menikah. Ini menyebabkan kami tidak memiliki sepupu langsung dari pihaknya. Pada garis generasiku, hanya ada anak-anak dari sepupu bapakku. Hubungan kami dengan mereka, relatif “agak jauh”. Apalagi, selama kurun waktu 1965 – 1983, kami sekeluarga menjadi “nomaden” mengikuti kepindahan tugas Bapak ke berbagai kota di Jawa Barat dan Sumatera. Jadi lengkaplah sudah alasan untuk membenarkan kerenggangan hubungan persaudaraan ini. Itu sebabnya, acara silaturahmi yang biasanya diadakan pada bulan Desember menjadi satu-satunya kesempatan untuk bertemu, walaupun masih terasa kurang effektif.
*****

Siang itu, saat kami sedang bercengkerama di teras belakang rumah ibu, sambil beristirahat, dia memanggil kami berenam, masuk ke kamarnya. Panggilan ini agak serius, karena diembel-embeli dengan perkataan “hanya anak-anak” tanpa suami atau istri masing-masing. Sambil berjalan menuju kamarnya, kami saling berpandangan. Bertanya-tanya dalam hati....., ada apa gerangan?

Setelah menutup rapat pintu kamar, sesuai permintaannya, kami berenam duduk di tempat tidur mengelilinginya. Tanpa basa-basi seperti biasanya dan juga seperti kebiasaan para perempuan Minang yang sangat “diktator”, beliau meminta kami mendengarkan “petuah dan pesan” yang berkaitan dengan “harta kekayaan”nya, yang suatu waktu nanti, mau atau tidak mau akan diwariskan kepada kami, ke enam anak-anaknya. Walaupun nilainya relatif tidak besar dan jenisnya tidak banyak, kalau tidak berhati-hati, tentu bisa menjadi pemicu keributan antar saudara. Aku ingat sekali, ada dua hal utama yang menjadi topik pembicaraan kala itu, yaitu mengenai perhiasan dan rumah.

“Papi dan mami sudah sepakat sejak awal, bahwa seluruh perhiasan perempuan, hanya akan diwariskan kepada anak perempuan saja dan tidak kepada menantu perempuan. Apalagi, kalian anak lelaki sudah mendapatkan bagian 2 kali lebih besar dari anak perempuan dalam pembagian warisan saat papi meninggal beberapa tahun yang lalu”. Ujarnya membuka pembicaraan di siang hari itu.

Kami anak perempuannya saling berpandangan, merasa tidak enak dengan saudara-saudara lelaki. Harus diakui, 3 anak perempuannya, memiliki kemampuan materi yang lebih baik daripada ke 3 saudara lelaki kami. Jadi keputusan seperti itu tentu dikhawatirkan membuat kecil hati saudara-saudara lelaki kami. Mungkin ada rasa diperlakukan tidak adil oleh ibunya. Siapa tahu terselip juga keinginan agar istri-istri mereka, masing-masing mendapatkan satu set perhiasan Tapi, tidak ada seorangpun yang berani bicara, apalagi melihat gelagat ibu yang tidak ingin perkataannya dibantah.

“Khusus untuk rumah ini …. Tidak diperkenankan untuk dijual, tetapi dapat dihuni oleh anak-anak perempuan dan nantinya diwariskan hanya kepada cucu perempuan dari anak perempuan juga”, lanjutnya lagi.

Aku agak tersentak mendengar “keputusannya”. Ini khas keputusan “adat Minang”. Perempuan mewarisi harta ibunya, sementara lelaki tidak mendapat warisan apapun dari keluarganya. Mengherankan sekali … ibuku yang dalam berbagai kesempatan, seperti dalam pernikahan adik-adik maupun anak-anaknya, selalu menolak menggunakan “adat Minang”, ternyata dalam pembagian “harta”, mengadopsi adat Minang yang menurutku jelas-jelas bertentangan dengan Hukum Pewarisan dalam Al Qur’an. Kalau saja rumah yang “diperbincangkan” itu adalah “milik sendiri” yang diperolehnya dari hasil bekerja atau warisan dari orangtuanya, maka keinginannya untuk meng”hibah”kan hanya kepada keturunannya yang perempuan, masih bisa diterima akal. Tetapi semua anak-anaknya mengetahui dengan jelas bahwa rumah itu dibangun dari hasil kerja bapak kami. Tentu semua anak-anaknya kelak memiliki hak yang “sama” dalam pewarisan rumah dan ibuku tidak dapat meng”klaim” rumah itu dan mewasiatkan “seenaknya”.

“Tidak, mam …. Ini bertentangan dengan hukum pewarisan Islam. Rumah ini adalah hasil pencarian papi selama hidup, jadi tidak bisa diperlakukan seperti itu …” Tak tahan juga untuk tidak membantah penyataan ibuku.
“Ini permintaan orang tua .. jangan membantah” Ibuku berkeras. Salah satu adik perempuan mencolek tanganku, memberikan tanda untuk tidak berbantahan dengan ibuku.

Entah apa yang ada di kepala ibuku, hingga dia membicarakan hal tersebut. Kalau mau jujur,  keputusan tersebut, tentu sangat menguntungkanku. Dari keenam anaknya, beliau memiliki 2 orang cucu perempuan, satu dariku dan satu dari adik lelakiku. Dengan demikian, sangat jelas bahwa yang berhak atas rumah tersebut, berdasarkan keinginannya, adalah anak perempuanku. Tapi, pada kenyataan, pernyataan ibu sungguh sangat menyulitkan posisiku, apalagi “wasiat lisan” itu dikatakannya saat aku baru saja menjual rumah untuk tinggal bergabung dengannya. Tentu, saja ada kekhawatiran bila di antara adikku berprasangka buruk mengenai kepindahanku tersebut. Khawatir timbul dugaan bahwa ”wasiat” ibuku sudah diatur untuk kepentinganku. Selain itu, keputusan tersebut sangat bertentangan dengan Hukum Waris Islam. Aku hanya bisa menghela napas panjang.

Kalaupun mau dilakukan pembagian sesuai dengan keinginannya, maka pembagian itu harus dilakukan pada saat beliau masih hidup dengan status hibah, namun tidak sebagai wasiat. Untuk melindungi hak para ahli waris, Islam membatasi hanya 1/3 hari harta yang dapat diberikan dalam bentuk wasiat di luar ketentuan hak waris.

Entah bagaimana sebenarnya pembagian waris yang dilaksanakan berdasarkan ”Hukum Adat Minang”. Walaupun ibuku berasal dari Minang, kami anak-anaknya sama sekali tidak mengenal adat-istiadat Minang. Bahkan bercakap-cakap dalam bahasa Minangpun, tidak bisa. Yang terlihat selama ini, ibuku sebisa-bisanya selalu menghindar untuk bersentuhan dengan urusan adat tersebut. Seorang teman kantor bercerita bahwa suaminya sama sekali tidak mendapatkan harta warisan dari keluarganya, karena seluruhnya jatuh kepada saudara-saudara perempuannya.

Ini tentu mengherankan. Bukankah dalam adat istiadat Minang dikenal petatah-petitih ”Adat bersendikan Syara’ – Syara’ bersendikan Kitabullah” atau lazim dikenal sebagai ”Adat bersendikan Agama – Agama bersendikan Kitabullah (Al Qur’an). Apalagi, selain masyarakat Aceh, orang Minang dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat. Tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa dalam hal hak waris, masyarakat Minang tidak mengikuti hukum pewarisan Islam, tetapi lebih memegang teguh hukum adat. Padahal ditinjau dari sisi apapun juga, kedudukan Al Qur’an sebagai kumpulan dari wahyu Allah SWT untuk mengatur peri kehidupan manusia di dunia, jelas lebih tinggi daripada adat istiadat yang buatan manusia. Mengapa.....? Entahlah ....pertanyaan seperti ini, pasti hanya akan mendapat jawaban ”kamu sudah tidak lagi menjunjung adat istiadat .... indak baradaiek”.

Terhadap ”pesan” ibu, aku sudah menyatakan kepada semua adik-adikku bahwa bila saatnya tiba nanti, maka dalam waktu maksimal 1 tahun, maka rumah peninggalan ini harus segera dijual kepada siapapun peminatnya dan hasil penjualannya dibagi sesuai dengan hukum waris Islam. Syukur bila di antara kami ada yang mampu membeli/memilikinya. Bila tidak, maka semua harus rela melepaskannya kepada orang lain dengan harga yang layak. Mengapa harus menunggu waktu selama 1 tahun terlebih dahulu? Tentu karena aku harus punya waktu yang cukup untuk membangun rumah dan menjual rumah bukanlah hal yang mudah. Melanggar wasiat Ibu? Tanpa mengurangi rasa hormat pada ibu yang mengandung dan melahirkan, rasanya kita harus mendahulukan hukum waris berdasarkan Al Qur’an dibandingkan dengan wasiat ibu kita (manusia). Semoga tidak ada yang menghambat pelaksanaan ini semua.

Lebak bulus 14 Februari 2006

2 komentar:

  1. ASAW,
    Salam kenal Mbak. Memang kalo sudah menyangkut keinginan ortu, sbg anak kita ingin semaksimal mungkin mengupayakan keinginannnya tewujud. Tetapi dalam hal spt tertuang di jurnal Mbak, apa boleh buat keinginan beliau mungkin hanya akan menjadi keinginan belaka.

    BalasHapus
  2. Wa alaikum salam wr wb,
    Salam kenal juga ...
    Memang susah juga jadi ortu ... tetapi Ini juga merupakan peringatan bagi kita semua agar tidak berlebihan sikap dalam memandang harta kekayaan.
    salam

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...