Senin, 08 Mei 2006

Pendidikan dan masa depan anak-anak kita.


Pada setiap bulan April, anak-anak di kelas terakhir, dari mulai tingkat sekolah dasar hingga di tingkat sekolah menengah sedang disibukkan dengan try out dan ujian-ujian masuk sekolah tingkat selanjutnya termasuk untuk masuk ke universitas. Bukan saja anak-anak yang sibuk, para orangtuapun cukup disibukkan dengan ritual menjelang akhir tahun ajaran, yaitu membantu anak-anaknya agar mendapat nilai yang baik dengan cara mengawasi jam belajar, mengajari anak-anak, dan bahkan ada yang sampai berpuasa dan shalat tahajud, memohon kepada Allah SWT agar anak-anaknya mendapatkan nilai yang memuaskan atau diterima di sekolah yang dituju.

Berbeda dengan dekade sebelumnya dimana ujian saringan masuk ke sekolah lanjutan/universitas dilaksanakan setelah anak-anak selesai ujian akhir, maka sejak beberapa tahun yang lalu, sejak awal tahun kalender, sekolah dan universitas mulai jorjoran memasang iklan pengumuman penerimaan/pelaksanaan ujian dalam rangka seleksi penerimaan murid dan mahasiswa baru pada triwulan kedua. Seleksi calon murid/mahasiswa telah dilaksanakan jauh hari sebelum ujian akhir berlangsung.

Anak-anak sendiri, tidak kalah stressnya dalam menghadapi evaluasi hasil belajar. Berbagai pelajaran tambahan dalam bentuk les, seperti les matematika atau bahasa Inggris sudah rutin menghiasi hari-harinya. Tidak itu saja, demi sebuah ambisi orangtua yang berbungkus “menyalurkan bakat anak” atau “mempersiapkan diri dalam era global”, sejak kecil anak-anak sudah pula disibukkan dengan kegiatan-kegiatan tari (umumnya balet atau tari bali), les musik, les melukis bahkan sampai dengan les-les kepribadian.

Betapa lelahnya menjadi anak-anak yang hidup di bawah tekanan “mempersiapkan diri memasuki era global”. Apalagi, hidup di kota besar yang padat, membuat perjalanan dari rumah ke sekolah lalu ke tempat les menjadi sangat panjang, lama dan menjemukan. Tidak jarang ditemukan, seorang anak harus bangun pada jam 04.30 untuk shalat, mandi dan segera berangkat ke sekolah. Sarapan di mobil, di tengah antrian mobil dalam kemacetan. Usai sekolah langsung berangkat ke tempat les dan baru kembali sampai rumah sesudah hari menjelang malam, atau sekitar jam 18.00 atau 19.00. Lelah lahir dan batin. Manalagi waktu yang tersisa untuk belajar, apalagi untuk bersenang-senang.

Ini adalah potret kehidupan seorang anak dari kelas menengah dan kelas atas di Indonesia terutama yang hidup di Jakarta. Namun kelelahan dan kejemuan bukan hanya milik mereka. Hampir semua anak-anak yang hidup di kota besar, mengalami hal yang sama. Bangun pagi, sarapan seadanya kalau sempat. Anak-anak lainnya masih harus mengejar kendaraan umum yang terkadang enggan mengangkut mereka, berpeluh sambil menghirup udara kotor bertimbal, yang katanya bisa menurunkan kecerdasan. Bahkan tidak jarang terlihat anak-anak usia sekolah masih berkeliaran, menjajakan koran atau bahkan menjajakan suara dalam lagu yang kadang tak jelas benar apa maknanya, di jalanan hingga larut malam untuk mengetuk belas kasih pengendara mobil. Entah orang tua mana yang tega membiarkan mereka kehilangan masa kanak-kanak yang ceria. Kemiskinan, mungkin telah membuat mereka tidak berdaya.

Begitu beratnya kehidupan yang harus dijalani anak-anak, hingga mereka sama sekali tidak lagi sempat mengikuti naluri alamiahnya, yaitu bermain, mengeksplorasi keingintahuannya dalam kegiatan yang sesuai dengan usianya. Yang paling parah, kegiatan mencari uang, cepat atau lambat, berdampak pada pemahaman mereka tentang uang dan pendidikan. Menyimak dua sisi yang jauh berbeda ini, terbersit pertanyaan, untuk apa sebenarnya semua “kehebohan” ini?

Ambisi orang tua.
Pendidikan dan masa depan anak-anak tidak pernah lepas dari perhatian para orang tua. Siapapun mereka dan dari kalangan apapun mereka. Orang tua akan selalu berharap bahwa anak-anak mereka, suatu waktu kelak, akan mencapai “kesuksesan” sebagaimana yang telah mereka raih. Bahkan di kalangan miskin, harapan ini semakin bertambah dengan keinginan agar anak-anak itu tidak lagi mengalami kepahitan hidup orang tuanya dan kalau mungkin menjadi “alat” dari orang tuanya untuk keluar dari jaring kemiskinan. Demi sebuah masa depan yang kita semua tidak tahu, maka seorang anak “dipaksa” sejak dini untuk mulai dibentuk sesuai dengan “imaginasi dan ambisi” orang tua akan masa depan yang nantinya akan dihadapi oleh anak.

Masa depan yang bagaimana yang akan dihadapi oleh si anak di masa yang akan datang?
Dalam pemikiran yang sangat sederhana, masa depan yang dihadapi oleh seorang anak adalah; dia harus bisa melepaskan diri dari ketergantungannya kepada orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk di antaranya adalah kebutuhan sandang pangan dan papan. Bahkan kemudian, sesuai dengan kodrat yang ditetapkan dalam penciptaan manusia, maka si anak akan menikah dan beranak pinak, mengulangi siklus kehidupan manusia. Jadi, seluruh perjalanan hidup sejak kecil, bertumbuh menjadi kanak-kanak, remaja lalu beranjak dewasa lengkap dengan segala kegiatan fisik, maupun rohani, apakah itu bentuknya olah pikiran, yaitu bersekolah atau sekedar olah otot membantu orang tua bekerja di kebun/hutan, kesemuanya merupakan suatu latihan dan proses yang harus dijalani anak manusia untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut.

Andreas Harefa, salah seorang pelopor gerakan manusia pembelajar, dalam salah satu buku karangan, menyatakan bahwa pendidikan, seyogyanya harus mampu menjadikan masyarakat menjadi mandiri namun tidak menjauhkannya dari alam dan lingkungan dimana dia berada.

Kalau tujuan akhirnya adalah kemandirian baik secara fisik, emosional maupun keuangan, apalagi dengan prasyarat “tidak menjauhkan dari alam dan lingkungan dimana dia berada”, maka ada banyak cara untuk menuju kesana dan sekolah hanya merupakan salah satu cara saja. Dan sekolah yang terbaik adalah sekolah yang mengakar kepada kebutuhan dan alam dimana peserta didik itu berada.

Dengan logika yang sederhana itu pula,  dan dalam kasus yang sangat ekstrim, kita kemudian dapat mempertanyakan, apakah sekolah bagi anak-anak suku anak dalam di Jambi atau anak-anak suku Dani di lembah Baliem, harus memiliki kurikulum yang sama dengan anak-anak di pulau Jawa? Tidak perlu terlalu jauh membandingkan dengan kebutuhan anak sekolah di pulau Jawa. Apakah sekolah yang dibutuhkan mereka sama dengan kebutuhan anak-anak sekolah di salah satu kota kabupaten di Sulawesi. Apakah mereka juga harus mengikuti kurikulum standar dari Diknas serta mengikuti ujian nasional? Apakah memang mereka membutuhkan hitungan-hitungan rumit a la anak-anak sekolah di kota-kota besar, sementara kebutuhan riel yang mereka hadapi adalah cara bertahan hidup di tengah hutan. Mereka membutuhkan keterampilan mengolah alam bukan hitung-hitungan matematika yang rumit. Pendapat ini mungkin dianggap sebagai “pelanggaran terhadap hak asasi manusia”. Menghambat kemajuan putera daerah.

Tetapi marilah kita berpikir secara rasional dan realistis. Berdasarkan penelitian, hanya ada 15% manusia yang bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang sarjana ke atas terutama ditinjau dari sisi kemampuan akademik. 85% lainnya adalah manusia yang memang hanya mampu menempuh pendidikan menengah dan rendah, baik karena kemampuan akademis maupun finansial. Bagi anak-anak seperti ini, maka yang diperlukan adalah eksplorasi kemampuan ”non akademis”, berupa pengajaran praktis – keterampilan yang langsung dapat dimanfaatkan sebagai bekal menata kehidupan di masa depan. Sekaligus juga untuk mengeksplorasi ”bakat-bakat terpendam” mereka.  Bagi anak-anak seperti ini, sekolah umum cenderung membelenggu dan mematikan kreatifitas manusia.

Konon pula, keberhasilan Jepang dan Jerman untuk bangkit dari kehancuran total setelah perang dunia ke dua disebabkan karena pemerintah kedua negara tersebut menaruh prioritas pembangunan pendidikan jenjang menengah terutama pada pendidikan kejuruan. Bukan kepada pendidikan tinggi dengan gelar-gelar yang mentereng. Konsentrasi pembangunan tenaga menengah pada gilirannya, mampu meningkatkan jumlah tenaga terlatih kelas menengah yang kemudian menopang kebangkitan industri di kedua negara tersebut.

Sayangnya, paradigma pendidikan Indonesia cenderung ”menghamba” kepada gelar akademis. Bukan kepada proses dan kompetensi. Setiap orang dicekoki oleh paradigma bahwa menjadi sarjana adalah jaminan masa depan yang lebih cerah. Hal ini dilakukan tanpa melihat kondisi geografis, demografi, sosial, budaya serta distribusi ekonomi Indonesia yang kurang merata. Tidak heran bila akhirnya, semua orang berebut dan berlomba-lomba masuk universitas agar kelak menjadi sarjana. Kualitas lulusan SMApun semakin menurun, karena kualitas sekolah ditentukan oleh seberapa banyak lulusannya yang diterima di universitas terkemuka Indonesia, bukan oleh proses belajar-mengajar. Sebagian besar sekolah lebih bangga dengan status kelulusan 100% dibandingkan dengan kualitas lulusan. Tidak heran, saat para lulusan SMA tidak mampu melalui ujian saringan masuk Universitas berkualitas, maka universitas ”cap dua kendi” (ini istilah yang selalu digunakan Budi Tampubolon, untuk menekankan sesuatu yang buruk kualitasnya) pun dimasuki. Akhirnya, gelar sarjana tidak lagi mencerminkan kompetensi para penyandangnya.

Bahkan yang lebih menyedihkan, penghambaan kepada gelar ini merambat kepada golongan menengah dan para birokrat terhadap jenjang pendidikan lebih tinggi lagi, yaitu terhadap gelar magister (S2), doktor (S3) dan professor. Semua orang, sekarang berebut untuk menyandang gelar profesi sebagai guru besar.

Konon, di negara maju seperti Perancis, banyak anak muda yang tidak memiliki ijasah bacalaureat (berhasil lulus dari sekolah setara SMA) yang menjadi ”tiket” masuk universitas/grande ecole. Toh lulusan sekolah mereka, pada jenjang manapun juga memiliki keterampilan yang memadai untuk bekerja. Walaupun dengan persyaratan ketat ”kompetensi”, seperti misalnya; bekerja sebagai tukang potong dagingpun wajib memiliki sertifikat yang menandai pengetahuannya tentang tubuh binatang dan bagaimana menghasilkan potongan-potongan daging yang baik dan benar dari setiap bagian tubuh binatang tersebut.

Masalahnya, perbedaan tingkat sosial di Indonesia terlalu besar dan berbagai kebijakan yang dibuat terlalu berorientasi pada kebutuhan golongan menengah ke atas yang memang sudah memerlukan pendidikan dengan wawasan global. Sementara itu, seperti sering dikatakan, 80% penduduk Indonesia hidup di pedesaan dan bahkan hingga di pelosok gunung/pedalaman hutan perawan dan pesisir pantai yang jauh dari jangkauan modernisasi yang melanda kota besar. Pendidikan kepada mereka tentu harus disesuaikan dengan kebutuhan riel lingkungan hidup mereka yang dekat dengan alam. Yaitu kebutuhan pendidikan yang berbasis kompetensi untuk memanfaatkan alam sehingga mereka mampu menggunakan sumber daya alam sekelilingnya untuk kemudian meningkatkan taraf hidupnya. Ini mungkin lebih realistis daripada mendapat pendidikan akademis yang terasa absurd bagi rakyat kebanyakan.

Betapa besarnya kerugian bangsa ini bila para pengambil kebijakan tidak dapat menangkap esensi pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat Indonesia yang memang beragam tingkat sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Kebutuhan akan pendidikan yang mampu membuat anak-anak Indonesia mandiri dan responsif terhadap lingkungan dimana mereka besar dan tinggal. Pendidikan yang mampu menahan mereka untuk tetap tinggal di kota tempat mereka lahir dan dibesarkan, mengembangkan potensi daerahnya masing-masing dibandingkan dengan keinginan berbondong-bondong melakukan urbanisasi ke kota besar. Pendidikan yang mampu membuat seluruh anak Indonesia merasa sama tinggi sama derajat dimanapun mereka berada dan apapun profesinya.

Bila ini bisa diterapkan, tentu bangsa ini tidak akan mengalami kerugian akibat ketidak seimbangan antara biaya dan waktu yang terbuang dengan hasil pendidikan yang diperoleh peserta didik. Sampai kapan ini akan berlangsung?

Diselesaikan di lebak bulus – jakarta selatan, 5 mei 2006  


10 komentar:

  1. Mbak, saya kira nggak cuma di Indos. di Cand dan US juga begitu. Gelar akademis jadi semacam tiket buat masa depan yg lebih baik ( baca : gajinya besar, status sosial tinggi). Bahkan mhs2 yg 'cuma' sekolah di community college ( biasanya untuk mendapatkan diploma D2-D3, meskipun ada juga beberapa program studi yang menawarkan gelar S-1 dengan cara joint dengan universitas lain) seringkali dilabeli sebagai "the loser". Sementara yg dianggap sebagai "the winner" adalah mhs yg berhasil masuk ke universitas papan atas. Guess what? Biasanya ortu yg datang dari kalangan menengah-atas mengirimkan anak2nya sejak dini (2,5 tahun) dengan beragam les2 juga sih.

    BalasHapus
  2. Yang jadi masalah di Indonesia ... pendidikan bagi "the loser" berupa pendidikan kejuruan dan pelatihan2 menjelang kerja di Indonesia itu tidak ada atau kurang. Yang banyak adalah sekolah umum, sehingga tamat SMA (atau lebih buruk lagi drop out) cuma jadi pengangguran dan "preman" yang memeras siapa saja yang dianggap lebih lemah.

    Di negara maju, anak2 lulusan high school, sebelum bekerja mendapat pelatihan dari departemen/dinas tenaga kerja ... gratis. Di Indonesia .....????

    Btw ... ceritamu cukup menarik ... thanks ya..

    BalasHapus
  3. Mungkin akar permasalahannya yang perlu dilihat.
    mau dibawa kemana pendidikan kita ?

    SKS akeh bukan jamin siap kerja. dulu S1 160 sks, sekarang kalo ndak salah sudah turun 144 sks. bandingin dengan negara lain, apa sebanyak itu juga ?

    system pendidikan kita yang sering membuat kita puyeng snediri.

    bahasa daerah apa masih relevan diajarkan ? kalo kenyataannya hanya ada di jawa saja. di luar jawa ndak ada yang namanya pelajaran bahasa daerah. terus anak saya mau belajar bahasa daerah dari siapa ?

    BalasHapus
  4. hehehe...
    Ini khas, pemikiran orang kota ... bawaannya mikirin pendidikan tinggi terus ...
    Konon katanya .. cuma 15% manusia yang "mampu dan layak" belajar hingga perguruan tinggi ...

    Padahal ... ada berapa % sih rakyat Indonesia yang mampu melanjutkan pendidikan tinggi (secara akademik dan finansial)
    Mbok ya mikirin yang 85% sisanya itu lho ...
    Supaya mereka nantinya bisa bekerja dengan layak walaupun drop out
    Supaya mereka nggak jadi preman di jalanan ...
    Supaya mereka tidak dilecehkan dan
    Supaya mereka mampu berjalan dengan kepala tegak ...

    Gitu oom Irvan ...

    BalasHapus
  5. Tante Lina, 85% itu harusnya tetap bisa jalan dengan kepala tegak sesuai dengan batas kemampuan mereka. toch tukang angkut sampah tetap jalan dengan kepala tegak. tukang becak tetap tidak merasa dilecehkan. sopir angkot dan tukang insinyur juga sama-sama makan di fastfood.
    Cuman penghargaan dari kita yang sering membuat mereka jadi tertunduk.
    Kita semua bicara umr, tapi gaji pembantu apa sudah umr ? bagiaman mereka bisa tegak kepala jika kepala mereka ditekuk abis.
    he.,....he....he...... ini rasanya sudah masalah nasional ya.....

    BalasHapus
  6. biar tuntas, saya sebut masalah nasional karena lapangan kerja buat 85% tidak pernah dipedulikan.
    banyak pabrik pindah karena system yang ancur di negara kita.
    Saya bandingin dengan jiran aja. malaysia berani memberi tax holiday agar pabrik mau buka di negara mereka. walau tenaga kerja mereka mendatangkan dari indonesia, tapi mayoritas penduduk mereka yang 85% itu bisa bekerja. paling tidak memberi fasilitas pada kuli yang dibayar lebih murah. dengan dagang disekitar tempat para kuli, income mereka otomatis lebih tinggi dari pada kuli.
    Sementara kita di indonesia, udah punya pabrik direpotin dengan segala macam tetek bengek,s ehingga ujung-ujungnya pabrik pindah ke jiran. hasilnya kita gigit jari dan pengganguran nambah. orang tuanya nganggur, piye anak e mau sekolah ? wong ndak ada duit buat bayar uang sekolah. piye mereka bisa jadi pinter kalo kebutuhan gizi mereka tak terpenuhi ?
    lingkaran problem ini yang saya maksud jadi masalah secara nasional.....
    moga-moga tante lina mau bantu memecahkan masalah ini pelan-pelan.

    BalasHapus
  7. Bagaimana kalau kita mulai dari lingkungan terdekat. Pembantu rumah tangga ...
    Kalau dia masih lajang, kita beri kesempatan untuk menambah pengetahuan (kita bayarin kursus), terus 3 tahun kemudian dengan bekal simpanan gaji+ hasil kursus , kita lepas mereka untuk membuka usaha.

    Kalau mereka sudah berkeluarga, kita ajak anak2nya untuk tinggal di rumah, dibiayai sekolahnya .. Ini sekaligus membuat anak2 mereka tumbuh dengan lebih baik (minimal makan makanan bergizi, tinggal di rumah yang sehat dan bersekolah dengan gratis).

    Sorry to say ... melakukan hal ini buat saya lebih menarik daripada DAA ... Alumni umumnya "harus" mampu menghidupi diri sendiri dengan ijasah dan "kemampuan intelektualnya, sementara "pembantu" kita di rumah lebih berhak atas uluran tangan kita...
    salam

    BalasHapus
  8. Yup setuju bu. PRT diberi kesempatan kursus, malah tetangga saya memberi kesempatan sekolah. PRT di jakarta dulu resign dan berhasil buka warung dan hidup mandiri.
    Namun jika mau di banding dengan DAA, berapa keluarga yang mampu menyekolahkan PRT ? berapa alokasi dana yang harus disediakan tiap bulannya ?
    dan jika DAA dibanding dengan konsep ini, sepertinya tujuan dari DAA itu sendiri kabur entah kemana ;)
    Jika tante lina concernnya dalam hal ini, kita sudah punya kiprah dhuafa gabungan alumni UI yang mempunyai beberapa anak asuh. silahkan bergabung dengan ui-2000-subscribe@yahoogroups.com kondisi saat ini cukup mengenaskan. hidup susah, kalo mati kasihan anak asuh. Disana ada mbak Sri latifah e'81 yang akan menyambut bantuan tante Lina.

    BalasHapus
  9. Thanks infonya ...
    Kami sudah punya group kecil-kecilan yang membina anak2 dengan melibatkan mahasiswa di jurusan tempat suami kerja.
    Itu Sri Latifah yang kerja di kantor Menristek ya...? Saya pernah ketemu waktu ada rakor Deputy I Ristek ... (bukan saya yang rakor ... saya cuma ikutan nebeng liburan akhir minggu aja).

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...