Rating: | ★★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | History |
Author: | Pramoedya Ananta Toer |
Ini buku pertama Pram yang menggugah pikiran saya dan semakin mengagumi kepiawaian Pram dalam mengolah kata dan peristiwa.
--------
Arok Dedes Pramoedya
Menafsir Sebuah Kudeta Politik
Judul : Arok Dedes
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra
Tempat : Jakarta
Waktu Terbit : 1999
Tebal : x + 418 halaman
Buku Pramoedya Ananta Toer , Arok Dedes, merekonstruksi sejarah kudeta Arok atas Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Setting sejarah yang kuat dan premis dasar kudeta politik yang masuk akal membuat bangun karya ini kokoh sebagai sebuah "fiksi sejarah politik" yang tak sekedar novel biasa. Pram membuktikan kembali kepiawaiannya dan laku keras.
Pramoedya dikenal sebagai sastrawan yang bicara tentang sejarah. Sesudah karya masterpisnya, "Trilogi Pulau Buru", dia telah mengajukan sebuah versi sejarah. Kepiawaiannya adalah kemampuannya menilai sejarah dalam karya sastra. Apapun yang terjadi sebenarnya tidaklah penting, karena bagaimanapun juga, karyanya tetaplah sebuah karya sastra, bukan penelitian sejarah.
Dengan kebebasan yang sangat luas yang diberikan kesastraan, seorang
pengarang lebih bebas menafsir sebuah sejarah. Apalagi sebuah sejarah politik yang umumnya sarat dengan kepentingan, data yang kabur, pengakuan bermakna ganda, dan gelapnya waktu itu sendiri. Namun, kekaburan itu akan jadi begitu terang benderangnya di mata seorang pengarang, tanpa mengabaikan kerumitan yang sesungguhnya tetap terkandung dalam pelbagai peristiwa sejarah.
Dalam "Arok Dedes" ini, Pram menafsir siapa sesungguhnya sosok seorang Ken Arok dan Ken Dedes yang terlanjur melegenda di masyarakat itu. Dengan referensi yang kuat, Pram bak seorang sejarawan yang sedang menyuguhkan sebuah disertasi tentang sejarah kudeta pertama di tanah Jawa yang diperankan oleh anak keturunan Sudra yang tak bernama dan tak juntrung asal usulnya, Arok.
Pram melukiskan bagaimana keberhasilan penggulingan kekuasaan seorang Akuwu Tumapel bisa terjadi tanpa menyandarkan diri pada daya-daya magis yang dimiliki seorang Arok seperti dikenal dalam legendanya. Kekuatan utama yang menjadi dasar keberhasilan kudeta Arok adalah dukungan yang kuat dari kaum Brahmana pemuja Wisnu yang pada masa itu telah tersingkirkan dalam peta politik tanah Jawa. Kekuatan lain adalah kecerdasannya yang luar biasa dalam menghapal naskah-naskah rontal yang dianggap suci dan bahasa Sansekerta yang dianggap bahasa para dewa.
Digambarkan juga bagaimana pertarungan kepentingan di tingkat elit politik masa itu, antara kepentingan kerajaan pusat Kediri, Gerakan Mpu Gandring yang berkoalisi dengan kasta satria, para resi Brahmana, dan Tunggul Ametung yang ingin mempertahankan status quonya. Semuanya berada di bawah bayang-banyang bangkitnya perlawanan rakyat pimpinan Arok. Dan ketika kaum Brahmana memihak Arok, gempuran pasukan Arok yang bergerilya di wilayah Tumapel tak tebendung lagi dan kudeta pun terjadi.
Pesan moral yang tampaknya ingin disampaikan dalam novel yang digarapnya sekitar tiga bulan (1 Oktober-24 Desember 1976) sewaktu ditahan di Pulau Buru ini adalah betapa kompleks sebenarnya sebuah kudeta terjadi, dan betapa licik para aktornya untuk bersegera mengambil kesempatan, memenangkannya, dan mengaburkan peristiwa sejarah yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, hingga halaman terakhir, tak begitu jelas, siapa pembunuh Tunggul Ametung sebenarnya, sementara Kebo Ijo yang jadi tertuduh menyanggah telah membunuhnya.
Demikianlah, Pram menggunakan sepenuhnya kelebihan yang diberikan kesusastraan dalam menafsir peristiwa sejarah yang tetap meninggalkan misteri itu.