Pernikahan Abdullah Gymnastiar yang lebih dikenal sebagai Aa Gym dengan janda cantik beranak 3, yang konon keponakan mantan Presiden RI ke 3 BJ Habibie, beberapa waktu lalu memang sangat menghebohkan. Semua orang tiba-tiba angkat bicara. Isu poligami jadi menghangat kembali. Milis, koran, majalah, radio apalagi infotainment di tv, ramai memberitakan cerita seputar pernikahan ke 2 si Aa. Bahkan presiden RI lantas ikut sibuk memanggil Menteri Pemberdayaan Wanita DR Meutia Hatta untuk mengkaji kembali dan berniat memperluas cakupan penerapan PP no 10.
Yang tidak kalah menghebohkan juga, pada saat yang hampir bersamaan beredar video hubungan intim di luar nikah antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat Yahya Zaini dan Maria Eva yang sebenarnya telah berlangsung beberapa tahun yang lalu.. Terungkapnya hubungan gelap tersebut ini makin meramaikan pro dan kontra hubungan antara lelaki menikah dengan the other woman. Betul-betul langsung menohok .... Dua ekstrimitas. Legal versus ilegal. Dari sudut pandang saya, keduanya berawal dari “Perselingkuhan”. Yang satu berakhir secara legal melalui lembaga poligami, satunya lagi tetap illegal dan berakhir dengan membawa ”gunung es” dendam yang kemudian meledak melalui video intim tersebut.
Yang pro poligami, tentu mengeluarkan ”berbagai” jurus berupa ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadit pendukung. Begitu juga yang kontra. Tapi, karena sebagian besar para penafsir al Qur’an adalah dari jenis kelamin lelaki, maka ayat-ayat dan hadist yang beredar tentu nuansanya sangat maskulin à pro poligami. Tidak ada satupun yang sifatnya feminin alias menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis dari sudut pandang ”kepentingan” perempuan.
Sebagai perempuan, rasanya sebel banget atas ke dua peristiwa ini dan pro – kontra yang menyertainya. Menurut saya ... semuanya berujung pada masalah sekwilda – sekitar wilayah dada dan ketidakmampuan lelaki menahan nafsu syahwatnya. Padahal .... masih menurut saya lho ... Manusia (jaman sekarang) yang mulia dan layak dihormati adalah Manusia yang mampu menahan nafsu syahwatnya (dalam bidang apapun juga), pada saat dia mampu melakukan apapun juga.
Misalnya saja ... lelaki yang kukuh mempertahankan monogami saat keadaan memungkinkannya untuk melakukan poligami (dia kaya raya sementara istri mandul atau sakit). Atau orang yang kaya raya, tetapi dia mampu hidup bersahaja, secukupnya seraya mendedikasikan seluruh harta dan karyanya semata-mata untuk kegiatan di jalan Allah SWT. Berharap ridho Allah SWT semata.
Nah rasa prihatin itu, agak terobati saat saya membaca artikel BENARKAH POLIGAMI ITU SUNNAH, yang ditulis oleh Faqihuddin (kalau tidak salah) di suatu blog di multiply. Jadi artikel itu saya forward ke salah satu milis perempuan yang saya ikuti. Maksud kerennya sih .... mengajak anggota milis untuk memandang tafsir ayat/hadis tentang Poligami dari sudut lain yang lebih kritis. Awalnya, saya memang nggak tahu dan nggak menyelidiki siapa Faqihuddin itu. Cuma tahu (dari artikel itu) bahwa dia adalah dosen IAIN dan lulusan Damaskus – Syiria. Sayang ... rupanya members milis itu kurang berkenan dengan tulisan tersebut. Alih-alih berdikusi dengan sehat, saya jadi merasa dihujat dan prihatin karena ada salah satu anggota yang melihat saya sebagai orang yang ”salah jalan”. Padahal ... sungguh mati, saya nggak ngomong apa-apa kecuali mem forward tulisan itu. Padahal ... pada prinsipnya, saya mengerti dan bisa menerima konsep POLIGAMI menurut Islam dalam konteks untuk perlindungan perempuan. Tetapi ini tidak berarti saya setuju dengan penerapannya di masa sekarang yang terlihat lebih mengutamakan "pemuasan syahwat" lelaki.
Jaman diturunkannya ayat-ayat Al Qur’an dan masa kehidupan Rasulullah SAW itu sangat berbeda dengan sekarang. Keimanan dan ketakwaan manusianya juga berbeda. Mana mungkin manusia sekarang mampu punya kualitas ketakwaan yang sama dengan Rasul sehingga mereka merasa mampu menjalankan poligami sebagaimana Rasul. Atau mungkin para pelaku poligami itu sudah merasa kualitasnya sebagai manusia sudah setara dengan Rasul, sehingga mereka merasa punya hak melakukan apa-apa yang dilakukan Rasul (sunnah Rasul) secara serampangan. Pernahkah mereka mengkaji asal-usul setiap pernikahan Rasul dengan para istri-istrinya .....? Apakah mereka pernah pula mengkaji, bagaimana Rasulpun pernah kerepotan dengan ”persaingan” antara istri-istrinya?
Kalaupun mau mengikuti sunnah/perilaku Rasul, kenapa tidak mengikuti perilaku dan keshalehan Rasul sampai beliau berumur 55 tahun, yaitu semasa hidup membujang sampai dengan meninggalnya Khadijah binti Khuwailid untuk kemudian beliau menikah lagi 3 tahun setelah meninggalnya Khadijah? Mengikuti segala ibadahnya, kejujuran, konsistensi, keteguhan dalam memegang amanah, integritas, kesabaran dan banyak lagi perilaku Rasul yang patut menjadi tauladan bagi umat manusia. Kalau semuanya sudah diikuti ....baru kemudian mengikuti sunnah/perilaku Rasul berpoligami. Kenapa justru hanya kehidupan rumah tangga (poligamis) Rasul semasa 8 tahun sebelum beliau meninggal dunia dalam usia 63 tahun saja, yang menjadi obyek untuk diteladani?
Kok enak banget ya...., Apakah perilaku Rasulullah selama 28 tahun mengarungi kehidupan monogami bersama Khadijah binti Khuwailid tidak patut diteladani? Padahal .... disitulah beratnya kehidupan dan perjuangan Rasul dalam menyebarkan mengembangkan agama Islam. Setelah Khadijah meninggalpun, Rasul masih menduda hingga + 2 tahun sebelum para sahabat ”memaksa” beliau menikah kembali agar anak-anak[1] beliau ada yang mengurus dan beliaupun memiliki pendamping. Demikianlah Rasul akhirnya menikah dengan Saudah binti Zam'ah[2] .
Baru setelah itulah selama 8 tahun sampai dengan wafatnya Rasul SAW menikahi beberapa perempuan. Masing-masing dengan berbagai pertimbangan khusus yang beberapa di antaranya berkaitan dengan penerapan kandungan al Qur’an. Tentu sah-sah saja bila sementara orang menafsirkan bahwa pada dasarnya Rasul berperilaku monogami (di tengah masyarakat Arab yang poligamis) dan hanya karena ”kewajiban” beliau dalam memberi contoh kepada umat dalam berperilaku sesuai dengan ”arahan” Allah SWT, di dunia inilah maka beliau melakukan poligami.
Berkaitan dengan ”teladan” Rasul mengenai poligami ini, adakah para pelaku poligami sudah betul-betul mengikuti teladan Rasul yang lainnya, yaitu .... segala perilaku Rasul selama berumah tangga dengan Siti Khadijah. Apakah dalam memilih istri ke dua – ketiga dan seterusnya, para pelaku poligami itu juga sudah mengikuti teladan Rasul ..... Istri kedua Rasul, Saudah binti Zam'ah adalah janda tua yang sama sekali tidak cantik. Begitu pula dengan istri-istri beliau lainnya, kesemuanya janda, kecuali Aisyah RA.
Kebanyakan pelaku poligami saat ini lebih memilih perempuan muda atau janda cantik untuk disunting sebagai istri ke dua. Jarang, kalau tidak boleh dikatakan tidak ada yang memilih janda tua miskin, dan banyak anak sebagai istri kedua. Padahal ... justru merekalah yang perlu dibantu, dilindungi dan dinikahi ..... Ada banyak janda miskin, banyak anak yang lebih butuh perlindungan. Itu kalau kita, secara konsekuen, mau mengikuti sunnah/perilaku Rasul lho! Jadi .... dimana letak alasan “mengikuti sunnah Rasul” yang sering digembargemborkan oleh para pelaku poligami. Itu betul-betul tafsir Al Qur’an dan Hadist yang bias gender ... yang terlalu maskulin. .. Sak’ enak’e dewe...!!! Sorry to say ..... bagi saya pribadi ... poligami masa kini lebih banyak pertimbangan “syahwat” daripada mengikuti sunnah Rasul. Konyol betul ..... teladan baik yang diperlihatkan Rasul ditafsirkan serendah itu.
Sangat disayangkan, intelektual perempuan muda jaman sekarang ikut terjebak dan terbelenggu dalam penafsiran bias gender tersebut. Belum ada intelektual muslimah yang berani memulai membuka wacana penafsiran baru. Kelihatannya ada ”ketakutan” untuk menfsirkan sesuatu yang ”berbeda” dengan yang sudah ada. Takut di cap sesat, takut dihujat dan lain-lain. Padahal .... bukankah Islam adalah agama yang relevan untuk segala jaman ... rahmatan lil alamin ... dan yang terpenting adalah .. Agama bagi orang-orang yang berpikir.
Pemikiran seperti ini bukan dengan maksud sok pintar ... Saya Cuma sebutir pasir tak berguna, bila dibandingkan dengan dai/daiyah, alim ulama. Apalagi bila dibandingkan dengan ahli tafsir dari belahan dunia manapun juga. Saya hanya berpikir .... bukankah para dai/daiyah, alim ulama, ahli-ahli tafsir itu juga manusia biasa ... yang punya nafsu, ambisi, khilaf dan silap. Bukan tidak mungkin kekurangan ini terjadi saat mereka menafsirkan kandungan Al Qur’an dan Hadist.
Jadi ... kalau kita meyakini bahwa kandungan Al Qur’an bisa menjawab persoalan manusia hingga akhir jaman, maka tafsir Al Qur’an secara periodik harus dikaji kembali dan disempurnakan. Jangan lupa .... yang sempurna itu adalah Al Qur’an yang merupakan firman/wahyu dari Allah SWT. Sementara tafsir adalah buah pikiran manusia yang ”mungkin” sarat dengan kesalahan.
Wallahu’ alam.
Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan saya (bila ada) dalam menafsirkan poligami.Diedit kembali pada tanggal 9 desember 2006 jam 14.30 di Lebak bulus
[1] Dalam pernikahannya, Rasul SAW hanya memiliki 6 (enam) orang anak dari siti Khadijah yaitu Qasim, Abdullah, Zainab,Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah Az Zahra dan 1 orang anak dari istrinya yang berasal dari Mesir, bernama Mariyah al Qibtiyah yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim kemudian meninggal dunia dalam usia 1 tahun.
[2] Di dalam sebuah referensi dikatakan bahwa pernikahan beliau dengan Saudah binti Zammah terjadi lebih dahulu, baru kemudian Rasul menikahi Aisyah binti Abu Bakr. Namun karena Aisyah masih di bawah umur, maka Aisyah baru bergabung di rumah Rasul 3 tahun kemudian. Selama masa tersebut, Rasul hidup monogami dengan Saudah binti Zammah. Dalam Referensi lain, dikatakan bahwa Aisyah dinikahi lebih dahulu daripada Saudah tetapi bergabung/serumah dengan Rasul 3 tahun kemudian.