Rabu, 03 Januari 2007

Pendidikan para Pendidik

Bosen ngomongin poligami ya?! Bayangkan ... hampir satu bulan, yang diomongin poligami terus. Di kantor, di jalan, di tempat kursus, koran, majalah, tabloid, berita di tv, talkshow, infotainment apalagi. Pro dan kontra, nggak ada yang mau kalah. Masing-masing dengan argumentasinya. Apapun dalihnya ... sekarang yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mendidik anak-anak, laki-laki ataupun perempuan, agar mereka kelak memperoleh persepsi yang benar atas ajaran agamanya. Nah yang berkaitan dengan pendidikan ini, saya punya sedikit cerita...; begini nih....


Sabtu awal Desember yang lalu, Budi nggak masuk untuk ngajar bahasa perancis. Katanya ada tugas keluar negeri … Jadi Mr. NY yang nggantiin dia. (sayang Budi nggak pernah bawa oleh-oleh buat murid-muridnya yang ditinggal pergi hehehe.... Mungkin lelaki biasa begitu ya? Nggak care dengan sekitarnya..., kecuali sama perempuan cantik).


Dulu kelas saya pernah diajar Mr. NY ini, selama satu semester. Duh ... bosen banget deh ... kelasnya nggak ”hidup”, jadi terasa membosankan. Makanya, waktu saya melihat NY duduk di meja depan, sempat terpikir untuk masuk dan bergabung ke kelas yang satunya lagi ... kelasnya Elisabeth. Tapi ... otak saya yang sebelah lagi, yang masih ”bersih” melarang saya untuk melakukan kekonyolan itu dan mengingatkan.. kok jahat banget ya, gue. Kan kita nggak boleh berpikiran buruk terhadap orang lain. Nggak ada salahnya untuk masuk kelas seperti biasanya. Siapa tahu ada hal baru ... Nah berbekal dengan pikiran bersih, saya akhirnya masuk kelas seperti biasa.


Topik yang diangkatnya pagi itu, tentang sistem pendidikan di Perancis, yang konon disesuaikan dengan sistem pendidikan yang berlaku umum di negara-negara Union Europeene, yaitu LMD alias license (3 tahun) – Master (2 tahun) – Doctor (3 tahun). Topik ini cukup menarik. Maklum saja, ada banyak ibu-ibu dalam kelas yang anaknya sudah atau sedang sekolah di SMA. Tentu, mereka tertarik dengan sistem pendidikan di Perancis. Siapa tahu ada rejeki yang cukup dan anaknya ingin sekolah di negaranya Jacques Chirac. Jadi sudah ada bekal pengetahuan tentang sistem pendidikan di negara tersebut.


Mr. NY menerangkan bahwa di negara-negara maju, terutama di Perancis, sekolah/universitas yang menghasilkan guru (semacam IKIP – jaman dulu) termasuk sekolah-sekolah yang ”high quality” sehingga mahasiswa yang kuliah disitupun termasuk top ranking. Hasilnya bisa dipastikan; guru-guru sekolah di Perancis termasuk orang-orang berkualitas. Terlebih lagi, tentu, bila dibandingkan dengan di Indonesia.


Sejak dulu, yang namanya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan – IKIP[1] bukan menjadi pilihan utama dari para lulusan SMA. Sedikit sekali mahasiswa IKIP yang dengan sadar diri mendaftarkan ke IKIP dengan niat tulus ingin menjadi guru. Hal ini mungkin masih berlangsung hingga saat ini. Dengan kata lain ... Mr NY mengakui bahwa sebagian mahasiswa IKIP[2] (beliau pengajar di tempat itu) adalah mahasiswa dengan kualitas nomor 2, yaitu sisa-sisa mahasiswa yang tidak lulus dalam saringan ujian masuk lima universitas à UI – ITB – UGM – Airlangga – IPB. Bahkan juga universitas lapis ke dua di pulau Jawa seperti Brawijaya dan Pajajaran atau bisa jadi lebih buruk dari itu; mahasiswa yang terdaftar di IKIP belum tentu sejak awal berniat menjadi guru. Daripada tidak menjadi mahasiswa, apalagi mahasiswa universitas negeri, masuk IKIP masih lebih baik. Tak ada rotan, akarpun jadi.


”Ini menjawab sebagian pertanyaan, mengapa kualitas pendidikan dasar dan menengah di Indonesia menjadi sangat amburadul. Bagaimana mungkin kita mendapatkan kualitas murid yang baik bila murid-murid tersebut diajar oleh sebagian besar lulusan dari universitas yang mahasiswanya merupakan mahasiswa kelas dua, sisa-sisa dari Universitas umum”


”Pemerintah, mungkin harus mengevaluasi lagi kebijakannya mengenai pendidikan anak-anak. Kalau memang pendidikan dasar/menengah dianggap penting, maka kualitas instansi pendidikan untuk para pendidik harusnya merupakan pendidikan yang mampu menjaring orang-orang dengan kualitas prima. Orang-orang yang memang sejak awal berniat menjadi guru. Lalu, kenapa IKIP harus diganti menjadi UNJ, instistusi pendidikan tinggi umum. Akibatnya, tidak ada lagi institusi yang mengkhususkan diri sebagai tempat pendidikan bagi para pendidik. Padahal bukankah pendidikan untuk para pendidik tidak bisa disamakan dengan pendidikan universitas umum? Atau mungkin pemerintah tidak mengganggap pendidikan anak-anak kita, suatu hal yang maha penting bagi bangsa ini?


”Konon perubahan itu disebabkan karena adanya protes dari mahasiswa dan lulusan IKIP yang merasa dianaktirikan. Pada setiap lowongan kerja di berbagai instansi selalu dicantumkan persyaratan lulusan dari universitas. Jarang ada lowongan yang mau menerima lulusan IKIP. Padahal .. banyak lulusan IKIP yang berharap bekerja misalnya di DEPLU, mais croyez moi, quoi que ce soi ... pendidikan di UNJ masih tetap pendidkan untuk para pendidik. Tidak ada yang berubah”


”Kalau memang isinya/kurikulumnya tidak berubah, kenapa ”packaging”nya diganti? Itu kan sama saja dengan mengaburkan sesuatu ... bahasa terangnya menipu masyarakat. Mestinya ... alumni IKIP itu, ya menjadi pendidik.... Bukan jadi diplomat atau pegawai di departemen lainnya”


”Idealnya begitu ... tapi pada kenyataannya, tidak semua mahasiswa IKIP ingin menjadi guru. Alasannya sederhana sekali ... profesi guru sangat tidak bergengsi, apalagi, guru sekolah negeri. Tugasnya yang berat, mendidik anak, tidak diimabngi dengan ”gengsi dan imbalan” yang memadai untuk hidup dengan layak”.


”Kalau begitu, kenapa harus mengubah nama? Demi gengsi semata? IKIP adalah institusi pendidikan untuk para pendidik bukan untuk para diplomat atau berbagai jabatan mentereng lainnya. Mahasiswa yang masuk ke IKIP harus tahu bahwa profesinya kelak adalah guru, bukan yang lainnya. Kalau masalahnya berkaitan dengan gengsi atau penghasilan, maka bukan institusinya yang diganti menjadi universitas umum, tetapi gengsi dari profesi sebagai guru itu yang harus ditingkatkan agar orang mau secara sukarela menjadi guru sebagaimana profesi lainnya yang dikejar dan dipilih masyarakat.”.


”Tidak semudah itu ...”
”Memang tidak mudah ... tapi tidak ada suatu hal hal tidak mungkin kalau ada kemauan untuk melakukannya. Sebut saja ... apa yang menjadikan profesi guru tidak menarik? Karena gaji dan fasilitasnya tidak memadai? Kenapa tidak ditingkatkan  gajinya, fasilitasnya dan lain sebagainya. Kalau pemerintah mampu memberikan gaji yang relatif tinggi bagi pns yang bekerja di departemen keuangan (direktorat jenderal  Pajak, Bea dan Cukai dll), tentu hal yang sama juga bisa dilakukan untuk pns di departemen lainnya khususnya untuk guru. Kan anggaran bidang pendidikan sudah disetujui secara bertahap menjadi 20%. Jadi secara teoritis, kalau pemerintah mau dan tahu betapa pentingnya pendidikan anak-anak, maka semuanya bisa dilakukan secara bertahap. Malu deh sama Malaysia! Tahun 60 – 70 an, guru dan dosen dari Indonesia diundang mengajar di sana. Mahasiswa dari Malaysia banyak yang belajar ke Indonesia. Sekarang keadaan terbalik 1800, kita yang belajar ke Malaysia .


”Semoga semakin banyak orang yang berpikir seperti itu.... Pendidikan di Indonesia memang masih terus-terusan mencari bentuk, sampai akhirnya semakin terpuruk dan tidak jelas arah tujuannya”


Obrolan itu terputus begitu saja, tidak ada kesimpulan ... Ini kelas ”Conversation”  bahasa Perancis, Pesertanya tentu tidak diharuskan untuk berdebat mengenai sistem pendidikan di Indonesia, tetapi diharapkan untuk berbicara dalam bahasa Perancis sekaligus memberikan opini. Kalau mau......


Tapi, sungguh deh, sejak lama, saya merasa prihatin dengan masalah ini. Kira-kira 15 tahun yang lalu, saya punya teman kantor yang istrinya lulusan IKIP – Pendidikan Teknik Sipil. Alih-alih menjadi guru di sekolah kejuruan (STM), dia malah bekerja di kantor konsultan struktur. Alasannya tentu saja mudah diduga .... gaji yang kecil dan menjadi guru tidak memberikan prospek masa depan yang cerah.


Sedih ya......Memang, nggak semua mahasiswa IKIP mempunyai motivasi seperti itu. Saya percaya masih banyak mahasiswa IKIP, terutama untuk IKIP yang di daerah (terutama dari Jogya) yang betul-betul memiliki niat tulus menjadi guru. Seperti hampir seluruh guru SMA saya dulu di Xaverius Jambi. Mereka, sebagian besar lulusan IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, adalah guru-guru yang sederhana dan penuh dedikasi. Mungkin mahasiswa IKIP yang materialistis adalah mereka yang kuliah di IKIP Jakarta/UNJ. Maklumlah.... penduduk metropolitan ini memang sangat materialistis.


Semoga pemerintah mau mengerti masalah ini agar gengsi dan penghasilan dari orang-orang yang berprofesi sebagai GURU bisa setara dengan profesi-profesi lainnya. Sehingga profesi ini menjadi pilihan sepenuh hati dari anak-anak pintar Indonesia yang sama gengsinya dengan pilihan menjadi sarjana teknik atau kedokteran atau fakultas lainnya.


Reedit on saturday, 16th december 2006, at 05.45 pm

[1] IKIP sekarang sudah berganti menjadi Universitas Negeri sehingga IKIP Jakarta menjadi UNJ – Universitas Negeri Jakarta, IKIP Bandung menjadi UPI – Universitas Pendidikan Indonesia dll.
[2] Di dalam tulisan ini, saya tetap menulis istilah IKIP untuk membedakan antara universitas pendidikan (ex IKIP) dengan universitas umum.

10 komentar:

  1. mba,mo komplen..ko unpad di bilang second class..nih..ga terima......hehe
    kayanya biar di sini pun,profesi guru kalah gengsi ama misalnya IT apalagi dokter...karena career opportunitynya ga gitu banyak...apalagi di indo......

    BalasHapus
  2. Waduh sorry .... ini kebiasaan karena dari jaman2 saya dulu, selalu cuma 5 univ yang masuk di jalur utama untuk spmb dan dari Bandung cuma ITB. Jadi terbawa terus. Mestinya memang direvisi ya... Cuma saya nggak tahu sekarang peringkat spmbnya gimana. MAAF banget buat para alumnus UnPad

    BalasHapus
  3. iyya mba,,,
    Banyak banget realita pendidikan kita di lapangan yang membuat kita mengurut dada.
    Terlebih ketika masalah pendidikan selalu saja bersentuhan dengan masalah ekonomi yang
    tak juga menunjukan sinyal-sinyal perbaikan.

    Di tambah lagi mental hidup masyarakat kita secara umum sudah berada
    di zona kehidupan materialis, baik di kota maupun desa. Sehingga standar
    kesejahteraan hidup selalu saja diukur lewat kacamata materi.

    Padahal pendidikan adalah sebuah idealisme yg seharusnya jauh
    dari motivasi materi yg pragmatis. Konsekwensinya, kesejahteraan guru
    bahkan murid haruslah terjamin.

    Semestinya ada upaya sistemik yang
    mengamankan Pendidikan dari kemugkinan perubahan statusnya menjadi
    sumber duit, di mana orang (perangkat pendidikan) memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan
    ekonominya secara total dari sana.

    ini sekedar share,, ^_^
    smoga smua segera membaik
    apalagi udah memasuki tahun baru,
    semoga ada perkembangan baru. amin

    BalasHapus
  4. Mau protes juga ah Mbak Lina, saya lulusan UNJ juga loh. Tiga kali ikut tes pegawai negeri enggak lulus. Terpaksa ngajar di swasta (jadi bukan karena gengsi dan matre), juga ngajar dinegeri sebagai honorer yang cuma dikasih ongkos naek ojek meski ngajar 20 jam. Untuk hidup sehari-hari dan membiayai gaya hidup metropolis ya dari ngajar di swasta, LIA, STBA, private dll dst. Meski demikian tetep aja nekat ikut tes PNS terus, dan enggak lulus terus. kasian deh saya, padahal dua kali ikut tes kompetensi guru di DKI katanya saya selalu peringkat satu loh (ini juga hasil bisik-bisik), soalnya sebagai guru honorer dedikasi dan kualifikasi maupun kredibilitas saya (Tidak diakui?????)...:)

    BalasHapus
  5. betul mbak lina...gimana anak2 akan pintar kalo gurunya ngajar tidak dgn setulus hati mau jadi pendidik, tapi alhamdulillah saya mengajar dgn senang hati kok mbak, mana tau ilmu yg saya berikan akan jadi amal sholeh buat saya nanti. walaupun kampus saya nggak masuk nominasi univ bergengsi saya nggak apa2 kok, apalah artinya punya urutan ni 1 kalo kitanya tidak bermanfaat tuk orang banyak.

    BalasHapus
  6. Nah... disinilah letak permasalahannya.
    Guru di Indonesia selalu dininabobokan dengan slogan "PAHLAWAN TANPA TANDA JASA".
    Apakah kita lupa, bahwa guru juga manusia yang memerlukan kecukupan hidup yang layak, untuk menghidupi keluarganya secara layak juga, mengaktualisasikan diri dengan ilmu-ilmu (punya akses yang cukup untuk bacaan, peralatan komputer/internet dll). Punya kebanggaan atas profesinya seperti orang2 lain yang bekerja di sektor lainnya.

    BalasHapus
  7. Nah... ini sebetulnya juga yang jadi keprihatinan saya. Mestinya ... jadi ngajar di swasta atau PNS mesti punya kebanggaan yang sama dalam arti kepastian masa depan, penghasilan dan lain2 yang memungkinkan guru hidup layak.

    BalasHapus
  8. Alhamdulillah, saya memang percaya, masih banyak orang-orang yang mengajar dengan setulus hati. Yang saya sesalkan hanya... kenapa ketulusan hati itu cuma diganjar dengan sebutan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Guru kan juga punya kebutuhan hidup seperti yang lainnya. Akibatnya... ada banyak orang yang mengganggap profesi tersebut bukan profesi yang bergengsi.

    BalasHapus
  9. Madam, en ayant fait mes études, j'étais enseignante à une école primaire pour gagner la vie ^_^
    Je trouvais beacoup de choses intéressante là. J'y en garde un très bon souvenir. Je suis toujours fier de cette profession. Tout à fait je l'étais tombée laisser à chercher un meilleur revenu. Mais je reve toujours de rentrerai, un jour, j'y crois

    BalasHapus
  10. pourquoi pas? j'y serais moi aussi

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...