Selasa, 01 Mei 2007

Benarkah Indonesia negeri kaya sumber daya energy dan mineral?

Minggu terakhir bulan April yang lalu, selama 4 hari saya mengikuti in house training yang berjudul “Petroleum Engineer for non Petroleum Engineer”. Jangan ditanya apa hubungan antara arsitektur dengan minyak. Pasti sama sekali nggak ada hubungannya. Tapi begitulah nyatanya … saat perusahaan ingin melebarkan bidang usaha, walaupun nyata-nyata nggak berhubungan dengan traditional main business (real estate), semua staff terpaksa harus siap sedia. Tapi, nggak apalah… tambah pengetahuan, apalagi kalo gratis, kan lumayan.

Dunia perminyakan sama sekali tidak pernah jadi perhatian saya, kecuali sejak ramai dibicarakan orang, di media massa, mengenai perebutan Blok Cepu antara Pertamina dengan Exxon Mobile Oil Indonesia (EMOI). Sejak itu pula, mungkin, berbagai istilah yang berkaitan dengan pengelolaan minyak bumi seperti PSC (Production Sharing Contract), TAC (Technical Assistant Contact), WPnB (Work Program and Budget), POD (Plan of Development), AFE (Authorization For Expenditure) dan banyak lagi istilah lainnya mulai masuk dalam ruang perhatian. Ini baru istilah “luar” yang biasa dikonsumsi publik. Masih banyak istilah teknis perminyakan yang pasti tidak dimengerti oleh orang yang tidak berkecimpung di dalamnya.

Konon katanya, Indonesia memiliki 60 mangkuk (basin) sumber minyak bumi dan gas alam (migas) yang terbentang di sepanjang pantai barat Sumatera termasuk di Laut Cina Selatan, pantai utara Jawa dan berbelok ke selat Makasar, yaitu di sepanjang pantai barat Kalimantan. Sedangkan potensi migas di Indonesia timur masih belum terdeteksi kecuali di sekitar pantai utara Irian. Dari 60 mangkok tersebut, baru 22 buah mangkuk saja yang sudah dikembangkan dan menghasilkan devisa Negara dari migas. Sisanya masih terpendam di dalam perut bumi. Berapa besar cadangan migas Indonesia yang berada dalam 38 mangkuk tersebut? Nobody knows…… Aneh ya Mengapa begitu?

Mestinya…. data-data itu ada di Pertamina yang dulu bertindak sebagai pemegang tunggal Hak Pengelolaan sumber daya energi (migas) di Indonesia. Atau di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Yup .... saya melihat peta potensi Migas Indonesia saat training itu. Cuma…… (lagi-lagi ada “negation” nya), data itu berasal dari data explorasi sebelum tahun 1960 yang diperoleh Pertamina dari pemerintah Belanda saat nasionalisasi ladang minyak Belanda (Shell) oleh Pertamina. Di situ disebutkan bahwa Indonesia memiliki 60 mangkuk yang mengandung minyak bumi dan gas. Berapa besarnya.....? Saya lupa mencermatinya. Tetapi ... sekali lagi, itu data +/- 50 tahun yang lalu. Yang diperoleh saat alat pendeteksi (seismic) masih sangat sederhana.  

Sayangnya, hingga saat ini…. hampir 50 tahun kemudian, pemerintah dan para operator industri migas masih berkutat mengembangkan 22 wilayah kerja tersebut. Sisa potensi migas di 38 mangkuk masih belum tersentuh. Bagaimana mungkin investor tertarik untuk melakukan investasi di bidang yang high risk dan high/low value ini? Pada abad ke 21 ini, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih (3D dan bahkan 4D) seharusnya kita memiliki data yang mutahir yang memungkinkan pemerintah mampu menghitung seberapa besar potensi migas tersebut. Pemerintah tidak punya alat dan data akurat atas kandungan migas.  Semuanya masih dalam bentuk leads. Masih diperlukan berbagai bentuk study dan penelitian untuk mencapai tahap potensi à possible à proven. Kesemuanya masih memerlukan biaya yang sangat besar. Untuk menyerahkan pekerjaan tersebut kepada konsultan, juga diperlukan biaya yang sangat besar. Diperlukan juga semangat bertualang dan menjelajah alam yang masih liar untuk menggali semua potensi migas di Indonesia baik sumber existing (yang di data oleh Belanda sebelum 1960), apalagi untuk menggali potensi yang masih terkubur di wilayah timur. Sayangnya, jangankan untuk menggali potensi baru terutama di wilayah timur Indonesia. Untuk mengembangkan mangkuk yang sudah ada saja, Indonesia belum mampu, terutama dari segi pendanaan.

Memang, ada calon investor yang mau "mengorbankan" dana untuk melakukan "Joint Study". Ini akan memberikan hak prioritas (first right of refusal) kepada calon investor tersebut dan "melemahkan" posisi tawar pemerintah. Namun ... joint study inipun hanya dilakukan pada mangkuk existing saja dan pemerintahpun meng"amin"i alasannya... Masih ada 38 mangkuk yang belum di eksplorasi.

Untuk menarik investor, pemerintah Indonesia harus meng up-date data. Sekarang sudah abad ke 21…. Bagaimana mungkin kita menarik investor baik dari dalam negeri maupun asing, bila pemerintah sebagai fasilitator tidak melakukan explorasi yang cukup untuk memutahirkan data. Dengan demikian ada dasar yang memadai dalam menghitung kelayakan/keekonomian investasi di bidang migas baik bagi pemerintah sendiri maupun calon investor. Ada dasar perhitungan yang sama agar pemerintah tidak "kebobolan" dalam menghitung potensi sumber daya alamnya.

Jadi …. benarkah Indonesia kaya akan sumber daya energy/alam? Tidak ada yang bisa menyangkalnya. Coba jelajahi tanah di Kalimantan! Sungai-sungai yang maha lebar … dengan air yang masih kebiruan menyiratkan kekayaan alam. Kepulan asap di musim kemarau, banyak disebabkan oleh pergesekan  benda/dedaunan yang sangat kering yang tertiup angin. Ditambah lagi, adanya kandungan batubara yang menyembul di permukaan tanah yang telah gersang karena penggundulan tak terkendali hutan tropis oleh para pengelola HPH.

Lihat pula bongkahan dan danau-danau yang ditimbulkan oleh penambangan timah di Bangka atau sebentar lagi di lahan olahan Newmont di Sumbawa. Coba, tengok pula, betapa Freeport Indonesia telah mengeruk potensi mineral di puncak Grasberg – Irian sehingga puncak gunung tersebut telah menjadi kerucut terbalik sedalam 3.500m. Konon …..tambang tembaga di Irian itu merupakan tambang terbesar ke 3 di dunia. Namun tambang sampingannya yang berupa emas merupakan hasil sampingan emas yang terbesar di dunia. Bayangkan.... dari 20 unit "super trailler" berdaya angkut 200 ton, yang dibuat oleh Caterpillar, konon 12 unit di antaranya beroperasi di Irian, di lahan garapan Freeport Indonesia. Dengan hasil yang fantastis tersebut .... penduduk Irian masih tetap miskin. Irian masih merupakan wilayah tertinggal dan kalaupun “katanya” hasil tambang Freeport banyak ditarik ke “pusat”, nyatanya tidak ada hasil yang terlihat bagi kemakmuran rakyat dan Indonesia masih tetap terbelit hutang.

Indonesia... sekali lagi, konon katanya, kaya raya. Hanya saja, jangankan rakyatnya. Pemerintahpun tidak memiliki data mutahir akan kekayaan alam ini. Akibatnya, saat berhadapan dengan investor asing yang kaya raya, kita tidak mampu berhitung dengan cerdas dan lugas. Lagi-lagi….. karena data yang dimiliki hanyalah data peninggalan Belanda yang dibuat sebelum tahun 1960. Mungkin…. para investor memilik data yang jauh lebih baik daripada pemerintah Indonesia. Mungkin pula, itu sebabnya, betapa Exxon Mobil begitu “ngotot” menguasai Blok Cepu hingga konon George W Bush ikut “nimbrung” memuluskan niat Exxon. Bukan tidak mungkin, data yang dimiliki oleh Exxon lebih akurat dan mutahir dibandingkan dengan data yang dimiliki oleh Indonesia. Rakyat dan pemerintah Indonesia hanya berbicara dengan data yang bersumber dari "katanya" yang tidak dapat diakui secara legal, bukan data ilmiah. 

Jadi ..... benarkah Indonesia kaya akan sumber daya alam (energi)?????
Wallahu’ alam

16 komentar:

  1. Yang jadi masalah adalah mana-mana yang menjadi biaya Cost Recovery mbak. Lha expat kalo ditempatkan di Indonesia, rumah, telp, listrik, mobil akhirnya dijadikan cost recovery (jaman saya masih di bagian keuangan). Entahlah sekarang masih begitu apa engga. Coba orang Indonesia yang "ijolan" kerja di tempat investor, katakan di Amerika. Paling ngga dapat fasilitas seperti itu. Katanya kalo ditempatkan disana kan udah gaji dollar!!. Lha apa bedanya expat yang di Indonesia kan juga gaji dollar keluar rupiah?? Walaupun aku kerja di oil company kadang suka sewot lho soal cost recovery ini.

    BalasHapus
  2. Dana utk explorasi mendingan utk jalan2 ke luar negeri dg nama study banding trus beli barang bermerk terkenal...he...he....
    Dg berfikir begitu bagaimana bisa maju, ya bu.... yg ada kita malah diperalat aja, walau katanya kaya tapi nyatanya miskin.....oh Indonesia.....

    BalasHapus
  3. possible-->probable-->prove.. ini baru 3P reserves...
    total semua ada 6... *hihihi sok tau deh gue*

    BalasHapus
  4. setau saya, kalau sebuah blok sudah dibeli/diakuisisi oleh sebuah PSC, biaya explorasi yang menanggung adalah PSC tersebut... padahal, justru ditahap itulah perlu biaya besar. Kalau sudah development, baru dibayar oleh negara...

    BalasHapus
  5. Cost recovery memang bisa jadi masalah kalau dilihat dari kepentingan orang "awam". Tapi... namanya investor, saat eksplorasi, mereka kan sudah mengeluarkan uang cukup besar yang baru bisa di recover saat sudah berproduksi. Padahal... kalau ternyata lapangan yang di explore itu kosong... ya rugilah dia. Nah apalagi, saat cost recovered, pemerintah Indonesia tidak akan mau dikenakan "bunga" atas perbedaan waktu antara pengeluaran biaya dan saat pencairan cost recovery. Di samping itu... kelemahan birokrat Indonesia saat "menghitung cost recovery". Entah apakah karena kemampuan negosiasi (dalam bahasa Inggris) yang lemah, KKN atau apalah... Ini memang masalah. Tapi... sungguh mati deh... membaca dokumen PSC/JOA nggak gampang. Jangankan dalam bahasa Inggris, .. dlm bahasa Indonesia aja setengah mati untuk ngertinya. Apakah Pemerintah menggunakan Legal Advisor untuk mencermati pasal demi pasal agar kepentingan rakyat terjaga? Wallahu alam...

    BalasHapus
  6. teorinya sih, PSC term itu menguntungkan negara... tapi kenyataannya? wallahu alam...

    BalasHapus
  7. Dana eksplorasi Blok yang sudah ada PSC nya... sudah dijawab sama Nining....

    Nah, untuk eksplorasi blok yang masih dimiliki pemerintah, pemerintah mestinya memutahirkan data agar Blok baru nya "layak jual dan memperkuat posisi tawar kepada investor", karena datanya masih berbasis data sebelum 1960. Nah untuk memutahirkan data ini, konon pemerintah nggak menjadikan hal ini prioritas. Apakah karena dananya dipakai untuk study banding seperti kata kamu? wallahu alam

    BalasHapus
  8. Untuk PSC yang baru... kelihatannya investor mesti berhitung cermat. Kalaupun ada cost recovery, keuntungan investor nggak sefantastis saat masih jamannya Konsesi (Caltex dll), TAC dan lain-lain yang terbit jamannya pak Harto. Semoga BP MIgas mampu mengemban amanah.

    Tentu saja jangan dibandingkan dengan Chevron ..... Itu sih HIBAH dari negara miskin ke negara kaya.... (dan kamu termasuk di dalamnya Ning..... hehehe) Dan sialnya ... yang dihibahkan itu sejak 50 tahun yang lalu, merupakan 50% dari hasil migas nya Indonesia.

    BalasHapus
  9. itu kategori cadangan dalam guideline SEC (auditor cadangan minyak dunia).
    3P lainya (yang belakangan) cuma masalah commerciality... ekonomis atau tidak untuk didevelop..

    BalasHapus
  10. hahahahah iyah, klo Rokan/Siak/MFK/CPP blok itu hadiah mbak...
    sekarang kami perlu lebih banyak usaha, terutama untuk blok-blok baru...

    BalasHapus
  11. Wakakak.... ngaku, kan.......??!! Chevron Texaco dh Caltec PAcific itu PENERIMA HIBAH 50% hasil migas dari pemerintah Indonesia.
    Ning .... to be honest, kalaupun saat ini Chevron harus meng explore ladang baru, maka biaya yang harus dikeluarkan, tidak ada seujung kuku dari keuntungan yang sudah dicicipi selama +/- 50 tahun kan? hehehe....
    Ayo jawab yang jujur Ning ...

    BalasHapus
  12. nih jujur ya... bener itu mbak! Buktinya, kami masih minta2 insentif alias pengurangan pajak ama pemerintah...supaya proyek2 barunya gak marginal...

    BalasHapus
  13. bukannya supaya indonesia (ngak) jadi makmur ? ntar kalo makmur bisa explore sendiri, ndak ada lagi yang namanya chevron, mobil, caltex, vico and the gank. paling-paling ada BP migas, perta dan mina.
    rasanya apa yang disampaikan diatas sudah jadi cerita lama dan tetap aja ampe sekarang dan mungkin selamanya akan terus begitu..... istilah kerennya, sudah terjebak rentenir :(

    BalasHapus
  14. Irvan .... Ini soal nurani. Apakah para pembuat/pengambil keputusan di negara ini, bekerja atas dasar nurani, integritas dan amanah?. Rasanya jauh dari itu...
    Saat sesi tanya jawab di training, atas satu pertanyaan saya, si trainer menjawab bahwa.... Setiap kebijakan kelihatannya dibuat agar si pembuat kebijakan (termasuk golongan/partai atau apalah....) mendapat credit point. Itu membuatnya akan langgeng di jabatan/posisinya atau kalau mungkin dapat promosi. Tidak ada satu kebijakanpun yang dibuat untuk kepentingan bangsa dan negara dalam jangka panjang. Jadi... Jangan salahkan investor (lokal/asing) bila mereka memanfaatkan situasi ini karena mentalitas sebagian pejabat kita masih merujuk kepada kepentingan sesaat pribadi dan kelompoknya

    BalasHapus
  15. setuju banget saya sama sekali tidak menyalahkan investor. yang saya salahkan kenapa cuman ada satu uni lina. hanya ada satu ningnong, dan satu irvan. coba bisa di clon masing-masing 300 orang, lumayan buat ngisi gedung mpr sehingga kebijakannya lain. bandingin dengan jiran, kita jauh-jauh banget kayanya. tapi di banding jiran juga kita jauh-jauh banget bobroknya. boleh di bilang andai tidak di habisin oleh koruptor, kemakmuran akan merata dan tidak terpusat di tanah jawa aja. pembuat kebijakan tidak akan pernah berubah kalo tidak ada yang merubah.

    ......memang ketulian itu datang perlahan, dan semakin lama akan menulikan hati.....

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...