Jumat, 25 Mei 2007

Pendidikan untuk Bertanggung jawab

Bulan Mei adalah bulan dimana kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Sayangnya peringatan Hari Pendidikan Nasional didahului dengan kejadian-kejadian yang mencederai makna Pendidkan.

Cedera Pendidikan secara nasional bermula dengan terungkapnya kematian Clift Muntu, praja/Mahasiswa IPDN akibat kekerasan kronis yang mewarnai pendidikan para pamong yang nota bene calon birokrat nasional. Kemudian ada kecurangan-kecurangan yang mewarnai Ujian Akhir Nasional yang bukan saja dilakukan oleh para peserta ujian, tetapi sudah merupakan kecurangan institusional yang melibatkan para pendidik sejak tingkat sekolah yaitu guru dan pejabat Dinas Pendidikan demi mengejar sebuah “prestasi” semu berupa tingginya tingkat kelulusan baik di tingkat sekolah maupun kabupaten/kota ataupun propinsi.

Belum cukup juga kecurangan memoles wajah dunia Pendidikan, kemudian ada kasus tewasnya seorang siswa kelas II SD Belarminus di Jakarta Timur akibat kekerasan teman sekelasnya. Entah sampai kapan kejadian-kejadian buruk ini akan terus berlangsung.

Ternyata, mencari pelaku tindak kekerasan dari berbagai kasus tersebut sangat tidak mudah. Entah karena aparat berwenang kesulitan menemukan jejak pelaku ataukah karena pelaku begitu pandai menyembunyikan perilakunya.

Beranjak lebih jauh dari pengungkapan pelaku tindak kekerasan di bidang pendidikan tersebut, rasanya hampir tidak pernah aparat hukum di Indonesia berhasil mengungkapkan para pelaku tindak kejahatan/pelanggaran di segala bidang. Kalaupun ada kasus-kasus yang terungkap, masyarakatpun terlanjur apatis dan menganggap bahwa pelaku yang dikenai hukuman adalah para kambing hitam semata.
*****

Bruk …. “wa….” Suara adik kecil terjatuh, langsung disambung dengan tangis kesakitan. Bayi berumur 7 – 10 bulan yang mulai belajar berdiri dan berjalan semakin sering terjatuh dan terantuk. Orangtua/pengasuh tak bisa melepaskan pandangan darinya.

Fungsi orang tua/pengasuh anak tidak semata menjaganya tetapi secara tidak sadar kita, orangtua dan pengasuhnya juga memasukkan unsur pendidikan yaitu melalui tindakan, perilaku maupun ucapan. Termasuk juga bagaimana kita bereaksi saat menghadapi seorang anak yang mengalami “musibah” berupa jatuh/terantuk.

Pada umumnya, reaksi pertama orangtua/pengasuh kala melihat anak/bayi menangis kesakitan adalah meraihnya, menggendong dan membujuknya agar berhenti menangis. Dalam upaya menghentikan tangis anak/bayi seringkali orangtua/pengasuh berkata:
“Cup…cup… jangan menangis lagi ya….! Ini kursinya nakal …., kita pukul ya…!” Kira-kira begitulah yang sering terjadi, bila ada anak/bayi menangis karena terantuk kursi.

Secara logika … mana mungkin sebuah kursi bersalah atas musibah itu? Anak/bayi bersalah …? Tentu juga tidak. Ini suatu proses belajar berdiri – jatuh – berdiri kembali untuk kemudian melangkah satu, dua, tiga untuk kemudian mulai berjalan tertatih-tatih. Mengapa harus menyalahkan kursi, meja, pintu atau benda-benda lain di sekitar anak/bayi saat mereka terjatuh. Seolah kita mencari kambing atas “kesalahan” anak/bayi dalam proses belajar. Mengapa tidak kita katakan pada mereka :
“Ayo sayang…. Jangan menangis… Kita coba lagi ya…” 

Berbuat salah dalam suatu proses belajar adalah hal biasa yang akan menambah pengalaman hidup. Yang membuat kita bersemangat untuk belajar dan belajar lagi untuk kemudian tidak mengulangi kesalahan yang sama. Melemparkan penyebab “musibah” – dalam hal anak/bayi yang sedang belajar berjalan kepada benda mati (meja, kursi, pintu dan sebagainya), secara tidak sadar memupuk “rasa” untuk tidak mau mengakui kekurangan/kesalahan diri atau merasakan bahwa semua proses belajar melaui “jatuh dan bangun” merupakan suatu kekayaan pengalaman yang sangat berharga.

Apakah kebiasaan kita untuk enggan mengakui kesalahan dan cenderung mencari kambing hitam dalam segala masalah/musibah yang kita hadapi disebabkan karena sejak dini, kita sudah “terdidik” untuk mencari kambing hitam dari masalah/musibah yang dihadapi? Wallahu alam.

Lebak bulus – Jakarta Selatan 18 mei 2007

1 komentar:

  1. Aku setuju, mba. Ini sebuah pelajaran bagi para orang tua agar lebih tepat mendidik anaknya...

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...