Rabu, 01 Agustus 2007

Super woman kah, anda?

Sudah hampir dua bulan, saya nggak sempat up date multiply. Itu berarti saya tidak sempat lagi menulis pengalaman atau apapun saja yang terjadi selama kurun waktu hampir dua bulan itu. Bisa jadi karena pikiran saya tidak lagi sempat mengembara atau bisa juga karena kejadian-kejadian menarik yang berlangsung selama ini tidak lagi sempat dicerna lebih mendalam. Tapi yang pasti …. ini menandakan bahwa otak, jiwa dan terutama fisik saya sedang lelah. Kalau fisik tidak lelah, tentu saya masih mampu meluangkan sedikit waktu menjelang tidur, seusai mandi dan shalat isya untuk membuka notebook. Menuliskan opini atau hanya sekedar catatan atas kejadian yang saya alami setiap hari.

Suami walaupun terlihat memaklumi kesibukan kerja istrinya, tetap saja masih terpancar rasa “kurang suka” di wajahnya berbalut rasa prihatin, melihat istri berangkat terburu-buru di pagi hari untuk pulang ke rumah dengan wajah lelah menjelang tengah malam.

Anak, sama saja. Walau saat berbicara di telpon terdengar “mau mengerti” bahwa ibunya tidak dapat menemani makan malam, tetap saja memprotes di keesokan paginya, atas ketidakhadiran ibunya pada saat makan malam.

Ini memang dilema pengaturan waktu bagi istri atau ibu rumah tangga yang bekerja. Khususnya mereka yang bekerja sebagai “kuli” …., bukan sebagai majikan bagi dirinya sendiri. Bagi perempuan yang masih bekerja pada jam kerja yang teratur yaitu 08.00 to 17.00, pengaturan waktu antara kewajiban professional dan kewajibannya sebagai istri dan ibu rumah tangga, mungkin tidak terlalu bermasalah. Namun tidak begitu dengan pekerja perempuan yang karena tugas dan tanggung jawab pekerjaan “memaksanya” untuk selalu siap bekerja atau dihubungi untuk masalah pekerjaan selama 24 hours dan 7 days a week. Apalagi manakala sang suami masih berpaham tradisional yang menuntut istri untuk siap “melayani” keperluan keluarga.

Kala sepasang manusia berjenis kelamin lelaki dan perempuan memadu janji untuk sehidup semati dan membentuk rumah tangga, pembagian porsi tugas sebagai pencari nafkah, mengurusi rumah tangga termasuk manajemen keuangan, mengurus anak termasuk juga pendidikannya seringkali tidak menjadi topik pembicaraan yang serius. Calon pasangan itu seolah-olah sudah mengerti bahwa kesemuanya akan berjalan secara alamiah. Masing-masing seakan-akan sudah mengerti akan hak, kewajiban dan tanggungjawabnya. Belum lagi bila menyangkut pada hak dan kewajiban pasangan suami istri di mata hukum. Hampir semua pasangan merasa bahwa kesemuanya akan berjalan aman-aman saja. Jarang ada calon pasangan suami istri yang berani menandatangani perjanjian pra nikah.

Hampir dua tahun yang lalu, saat kami berdiskusi dengan seorang teman perempuan dan akhirnya sepakat bahwa perjanjian pranikah layak ditandatangani menjelang pernikahannya, ternyata tidak mampu meyakinkan calon suaminya saat itu. Teman itu sekarang sedikit menyalahkan dirinya atas ketidakberdayaannya “memaksa” suaminya menandatangani perjanjian tersebut, manakala masalah rumahtangga terutama yang berkaitan dengan keuangan dan kewajiban "membantu mengurus bayi" mulai menjadi persoalan terutama dengan adanya intervensi dari mertua perempuan.

Problem mungkin masih bisa terhindari bila istri tidak bekerja, istri bekerja di rumah atau berwiraswasta. Mereka tentu bisa mengatur waktu kerjanya sekaligus mendedikasikan waktunya sama baik antara pekerjaan dan kewajiban rumah tangga.

Bagi istri tidak bekerja, ketergantungan keuangan kepada suami, akan membuatnya “relatif” lebih bisa menerima “tekanan” persepsi tradisi yang masih kental di masyarakat bahwa seorang istri dan ibu “wajib” mengabdi kepada suami, anak-anak dan kehidupan rumahtangganya. Menjaga dan mendukung agar karir suaminya terus berkembang dengan baik. Anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak baik yang membanggakan kedua orangtuanya. Itu sebabnya, bila tanpa terduga terjadi suatu masalah dalam rumahtangganya, masyarakat, tanpa mengetahui latar belakangnya, langsung menuduh bahwa masalah tersebut terjadi karena kesalahan istri atau ibu yang tidak mampu “mengendalikan” suami, anak dan roda kehidupan rumah tangganya.

Perempuan bekerja dan kemudian sekaligus menjadi istri dan ibu, bukanlah hal yang aneh pada jaman sekarang. Kesempatan memperoleh pendidikan yang setara dengan lelaki, penemuan alat kontrasepsi yang memungkinkan perempuan menikah untuk “memiliki” hak menentukan kapan dia berfungsi sebagai “pabrik anak” (walaupun tidak selamanya dapat dilakukan). Kesemuanya kemudian mengubah paradigma dan persepsi perempuan atas hak-hak dan kewajibannya baik sebagai istri, ibu maupun individu.

Sebelum akhir tahun 50an, paradigma pendidikan bagi anak perempuan dicekoki dengan ucapan “untuk apa sekolah tinggi, nantinya toh akan masuk dapur juga”. Dengan demikian perempuan yang menempuh jenjang pendidkan universitas masih dapat dihitung dengan jari. Namun kemudian mulai terjadi perubahan akses kepada pendidikan tinggi, Orangtua mulai dapat menerima bahwa perempuan tidak melulu disiapkan sebagai ibu rumah tangga saja, tetapi juga mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan anak lelaki, walaupun masih banyak di antara mereka yang kemudian tidak meneruskan kuliahnya atau tidak bekerja, setelah menikah baik karena alasan suaminya berkeberatan ataupun karena pilihannya sendiri. Tetapi, perempuan mulai melihat kesempatan pengembangan diri. Menjadi “seseorang” yang dipandang dan dihargai atas kemampuan dirinya. Bukan lagi hanya sebagai subordinate dari suaminya.

Masalah mungkin akan mulai timbul manakala salah satu pihak semakin larut pada haknya sebagai individu dan kemudian sedikit demi sedikit secara tidak sadar, karena kesibukannya mulai mengabaikan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam rumah tangga. Seorang lelaki yang tenggelam pada kehidupan individunya dan sibuk mengejar karir sangat diuntungkan oleh persepsi dan paradigma yang melekat di masyarakat sehingga jarang terdengar seorang istri memprotes kesibukan suami bekerja. Apalagi kalau karir suami kemudian melesat cepat dan membawa keberuntungan financial keluarga. Namun lain halnya apabila istri bekerja yang mengalaminya.

Seorang mantan menteri (perempuan) di jaman Suharto, pernah berkata pada saya, saat kami ngobrol dan saya menyatakaan kekaguman terhadap salah satu tokoh nasional perempuan.

“Jangan iri dengan keberhasilan mereka (para tokoh perempuan). Sebagian besar dari para tokoh itu memiliki kehidupan rumahtangga yang dingin. Sebagian besar lelaki Indonesia belum mampu menerima kenyataan bahwa secara professional istrinya memiliki kemampuan yang melebihi kemampuannya. Manakala dia mendapati diri “terkalahkan” oleh kemampuan istrinya, maka akan ada berbagai cara untuk “membalas” kekalahannya. Dari yang sangat halus hingga yang vulgar dan barbar. Itulah harga yang harus dibayar oleh perempuan yang ingin eksis untuk dirinya sendiri. Tentu tidak semuanya begitu. Tetapi lelaki generasimu (generasi saya, maksudnya) belum siap untuk menerima kenyataan itu. Mungkin generasi selanjutnya. Jadi …. Pandai-pandailah membawakan diri dalam mengelola rumahtangga dan mengatur keseimbangan hidup.”

Saya juga teringat obrolan dengan salah satu kakak ipar, sekitar 2 tahun yang lalu. Saat itu dia bercerita bahwa keluarga dekat besannya berkeinginan untuk menjodohkan anak perempuannya dengan keponakan lelaki kakak ipar saya. Sebetulnya mereka bisa jadi pasangan intelektual yang pas. Si gadis lulusan PTN terkenal di Indonesia dan menyandang 2 gelar master dari manca Negara sedangkan si lelaki adalah lulusan sarjana dan master di Amerika Serikat. Namun saat kakak ipar menjajaki niat tersebut kepada keponakan lelakinya, ternyata sang keponakan menolak ide perjodohan tersebut. Alasannya sangat sederhana …. :

“Perempuan itu terlalu pandai. Saya hanya ingin memiliki istri yang mampu dan pandai mengatur rumahtangga serta mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anak saya kelak. Saya tidak ingin memiliki istri yang darinya saya hanya mendapatkan “ceramah akademis” dan adu argumentasi yang menyala-nyala.”

Begitulah dilematika kehidupan perempuan. Akan kemana pendidikan dan intelektualitas manakala dia memasuki kehidupan rumahtangga. Pekerjaan memberikan akses independensi keuangan bagi perempuan. Manakala  perempuan memiliki pekerjaan, karir dan tentunya kondisi keuangan yang baik yang membuatnya merasa sangat independent, maka tentu tidak dapat disalahkan bila perempuan menuntut hak dan kewajiban yang sama dengan suaminya.  tidak lagi tergantung kepada suami. Tentu tidak dapat dihindari, akan terjadi konflik berkepanjangan di dalam rumah tangga yang dapat berbuah perceraian bila tuntutan perempuan tidak dapat dipenuhi suami. Mungkin itu pula yang menyebabkan usia pernikahan lelaki maupun perempuan menjadi semakin tinggi dari tahun ke tahun, sebagaimana tingkat perceraian.

Lebak bulus 2 – 29 juli 2007 jam 23.55

10 komentar:

  1. Wanita pekerja memang harus jadi super woman, karena baik suami maupun anak-anaknya akan tetap menuntut perannya yang utuh sebagai ibu. Dari dulu sampai jaman yang sudah super modern ini masih begitu saja.
    Apalagi bila wanita karir itu kemudian ternyata mempunyai penghasilan yang jauh lebih tinggi dari suaminya, maka bila ia ingin mempertahankan keluarganya tetap utuh dan harmonis, maka ia harus benar-benar kuat lahir dan batin. Ia harus punya mental baja. Contoh banyak menunjukkan bahwa wanita yang sukses karirnya tapi tidak super dan bermental baja sangat sulit baginya mempertahankan keharmonisan keluarganya. Kedengarannya memang tidak adil. Tapi kenyetaannya masih demikian, trutama sampai saat ini. Ke depan mungkin sudah berubah. Pada saat ini sudah banyak pula pria yang berfungsi sebagai bapak rumah tangga. Dalam hal ini semua fungsi dan peran suami dan istri menurut paradigma lama sudah berbalik. Istri yang bekerja mencari uang, suami yang di dapur dan mengurus anak. Cuma fungsi hamil yang belum bisa digantikannya. Tapi ketika istrinya hamil si istri hanya sebagai mesin pencetak anak saja, karena semua kebutuhan dan kegiatannya semasa hamil diurus seratus persen oleh suaminya.

    BalasHapus
  2. so dilematic ya Mbk................
    jaman sekarang bukan jamannya siti nurbaya lagi,
    sebenernya kita kaun cewek gak nuntut macem macem
    cuma kalau di awal sudah sepakat pencari nafkah ada 2 orang
    seharusnya pekerjaan rumah tangga juga bisa dikerjakan bersama sama
    sudah ada pembagian tugas yang jelas
    gak ada lagi alasan wanita yang jadi tumpuan
    hmm.........sebenernya sita juga gak bisa membayangkan kalau sudah menikah nanti kayak gimana, demi melihat jam kerja sekarang yang Naudzubillah...hahahaha...
    bisa kaco balo kalo dapat misua yang sangat tradisionalis......

    BalasHapus
  3. Saya tidak terlalu yakin dengan hal ini....
    Kalau kita ambil contoh para TKW dimana suami tetap di Indonesia dan mengurus anak-anaknya, yang saya dengar uang yang dikirim oleh sitri untuk biaya rumah tangga seringkali dihabiskan oleh suami untuk memenuhi hasrat biologisnya dan bahkan ada yang sampai menikah lagi dan hidup dengan istri baru atas biaya istri pertama yang menjadi TKW. (ini saya dengar dari kakak pembantu saya yang bekerja di saudi).

    BalasHapus
  4. MAunya sih gitu...
    Cuma nggak kebayang aja, kalo sudah kejadian... istri kerja terus suami di rumah ngurusin anak, masak di dapur... eh mertua (ibunya suami) datang... Gimana ya dia...?
    Jangan-jangan pingsan deh si ibu....

    BalasHapus
  5. Mbak Lina....sepertinya semua orang sekarang semakin pragmatis dalam menghadapi hidup. Di satu sisi perempuan ingin lepas dari dominasi pria di segala segi, tapi apa kita siap melihat lebih banyak pria memilih menjadi full time bapak rumah tangga?

    BalasHapus
  6. itulah pilihan, tinggal dipikirkan baik buruknya lagi oleh pasangan........................siap tidak mendengarkan omongan orang lain setelah keputusan.....................................emang susah sih.......

    BalasHapus
  7. Kalo saya sih.... lebih enak jadi ibu rumahtangga aja, tapi segala kebutuhan dicukupi sesuai dengan standar yang amat sangat layak untuk hidup nyaman....
    Kalaupun kerja... cari kerja yang enak2an, yang nggak mesti 8.00 to 17.00, masih bisa meluangkan waktu untuk clubbing, antar jemput anak...
    Hahaha... nggak ada, kali ya, kecuali jadi ibu rumah tangga.

    BalasHapus
  8. Setuju banget, cuma kadang2 ... waktu dijalani, enggak seindah waktu kita memilih. PAsti ada aja yang tidak berjalan sesaui rencana

    BalasHapus
  9. Ya itu kalau contohnya TKW. Dalam hal ini kebutuhan biologis sang suami juga terlantar, dan godaan serta kesempatan (waktu dan uang) mendatangi. Ya kalau tidak kuat iman jadilah. Analognya sama saja dengan keluarga yang suaminya berlayar berbulan-bulan baru kembali, si istri hanya dicukupi hartanya saja. Sudah banyak kan cerita tentang para istri kesunyian yang memelihara gigolo.
    Kalau kasus Bapak rumah tangga kebutuhan jasmani dan rohaninya dicukupi si istri mungkin lain ceritanya.

    BalasHapus
  10. saya punya kenalan, suaminya kerja di bisnis keluarga istrinya, sementara istrinya banyak gaul kesana kemari untuk urusan politik dan mungkin juga bisnis. Di luaran, nama si istri lebih berkibar. Kelihatannya mereka baik-baik saja, apalagi mereka tingga di kompleks keluarga, hingga suatu saat si istri dikejutkan karena ada perempuan yang menuntut suaminya karena ingkar janji untuk urusan aborsi hasil hubungan gelap. Konon suami berselingkuh karena dia merasa "kalah bersaing" dengan potensi istrinya dan perempuan selingkuhannya sangat "memuja" si suami yang memang cukup ganteng.
    Apa penjelasan dari kasus ini ?

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...