Perjuangan RA Kartini untuk membebaskan belenggu yang melarang anak perempuan mencicipi pendidikan yang setara dengan anak lelaki telah membuahkan hasil. Pada abad ke 21 ini, sudah tidak terbilang yang menduduki jabatan penting bahkan jabatan tertinggi di suatu negara. Kesemuanya tentu bermula dari terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak lelaki, sehingga secara individu, perempuan dapat berkembang tanpa batas. Namun demikian, fase kehidupan manusia sebagai individu “ada batas waktunya” tatkala secara alamiah, seorang manusia “merasakan signal” kebutuhan untuk berpasangan. Persatuan antara lelaki dan perempuan dalam suatu ikatan pernikahan.
Pernikahan, mau tidak mau mempunyai dampak bagi masing-masing individu, baik lelaki maupun perempuan. Ditinjau dari aspek hukum, tradisi dan agama maka timbullah hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang seyogyanya dipahami, disepakati dan dihormati oleh kedua belah pihak. Namun ada bagian kehendak alam yang tidak dapat dikompromikan, yaitu kelahiran anak-anak dari rahim perempuan dengan berbagai ikutan yang secara alamiah tidak dapat dihindari seperti menyusui.
Pendidikan telah melahirkan perkembangan teknologi yang sangat pesat dan mengubah pola hidup manusia. Paradigma kehidupan sosial dan budaya manusia berubah dari masyarakat tradisional yang guyub menjadi masyarakat urbanis – materialistis yang individualis. Dari sinilah timbul berbagai perubahan paradigma ikatan pernikahan. Dari kehidupan tradisi suami sebagai kepala rumah tangga dan penanggungjawab tunggal kebutuhan keuangan keluarga, kemudian berbagi tanggungjawab tersebut dengan istri. Terutama manakala si istri juga telah mengecap pendidikan yang tinggi dan setara dengan suami.
Berbagi peran dengan suami. Mungkinkah?
“Keluarnya” perempuan dari sangkar bernama rumahtangga ke dunia kerja sebagai professional di berbagai bidang sebetulnya bukan hal yang baru. Tengoklah, di pedesaan dan pada lapisan sosial terbawah. Perempuan telah lama keluar dari rumah untuk membantu suami mencari nafkah. Kalau sesekali kita keluar rumah dinihari, akan dijumpai ibu-ibu berbalut kain meringkuk di atas mobil bak terbuka menuju pasar induk untuk berburu sayuran yang akan diperdagangkannya saat mentari sudah menerangi bumi. Begitu juga dengan perempuan-perempuan yang turun ke sawah dan perkebunan teh. Bahkan di Bali, perempuan berkain tak sungkan mengerjaan pekerjaan berat sebagai kuli bangunan. Namun sayangnya pekerjaan-pekerjaan tersebut belum cukup “bergengsi” dan masih terkesan pekerjaan domestik.
Berkat pendidikan, saat ini perempuan sudah memasuki pekerjaan yang lebih professional dan mampu bersaing dengan lelaki. Dalam pekerjaan, perempuan mempunyai kewajiban yang sama dengan lelaki. Mampu menunjukkan bahwa kemampuannya tidak kalah dengan lelaki. Walaupun demikian, dalam berbagai segi seperti gaji dan tunjangan masih terdapat perbedaan hak dengan kaum lelaki.
Bagi perempuan yang menikah, bekerja di luar rumah dengan jam kerja tetap yang relatif panjang memerlukan penyesuaian dalam pengaturan rumah tangga. Para perempuan kemudian kehilangan waktu untuk memasak, mengurus rumah tangga dan bahkan sekedar membelai anak-anaknya.
Keleluasaan keuangan memang kemudian membuat sebuah rumah tangga mampu membiayai sejumlah tenaga kerja untuk mengurus rumah dan anak-anak. Mampu membeli susu bagi bayi mungil, mampu menggaji seorang baby sitter untuk mengurus dan mengawasi anaknya yang baru belajar merangkak. Namun adakah disadari bahwa ada sesuatu yang berharga yang luput dari genggamannya?
Susu formula, secanggih apapun formulanya, tidak akan mampu menggantikan ASI. Dia tetap susu sapi yang seyogyanya hanya cocok untuk anak sapi. Ada momen berharga tatkala sang bayi mengucapkan kata pertama yang hilang, yang tak sempat dinikmati si ibu. Perempuan bekerja tidak akan menyaksikan betapa si bayi mungil tertatih-tatih melangkahkan kaki untuk pertama kalinya, menyongsong si ibu. Alih-alih si ibu yang dicari, maka baby sitter mendapat tempat utama dalam hati si anak.
Di lain pihak, secara tradisional, sebagian besar lelaki Indonesia masih berada dalam paradigma lama yang menempatkan dirinya sebagai focal point. Sebagai “pemimpin” di berbagai aspek kehidupan dan pekerjaan. Masih banyak lelaki yang belum dapat menerima kenyataan dengan lapang dada bahwa di luar rumah, istrinya juga seorang professional. Bahwa dengan adanya penghasilan pribadi, telah menyebabkan perempuan “melepaskan” sebagian ketergantungannya kepada lelaki. Bahkan bisa menjadi lebih parah lagi apabila penghasilan istri lebih besar.
Berbagi peran dengan suami, seringkali dianggap sebagai jalan keluar bagi perempuan bekerja. Dapat dikatakan, pilihan bekerja bagi perempuan menikah menuntut mereka harus berperan ganda. Professional dalam pekerjaan di luar rumah, professional juga sebagai ibu rumah tangga. Namun pada kenyataannya, bukanlah suatu hal yang mudah. Kita masih terjerat pada pandangan tradisional bahwa perempuan adalah konco wingking. Harus berjalan selangkah di belakang suami dan secara tidak sadar masyarakat masih mendidik anak-anak, baik lelaki maupun perempuan dengan paradigma ini.
Jalan keluar memenuhi tuntutan profesi dan keluarga.
Bekerja di luar rumah atau menjadi ibu rumah tangga seharusnya menjadi suatu pilihan yang sama bergengsi. Menjadi ibu rumah tangga harus dipandang sebagai suatu profesi yang sama tingginya dengan profesi apapun di luar rumah.
Seorang perempuan yang bekerja sepantasnya mendapat apresiasi dari suami dan karenanya ada beban kewajiban domestik yang dibebaskan darinya sebagaimana dia telah membebaskan suaminya dari sebagian tanggung jawab keuangan rumah tangga. Di lain pihak menjadi ibu rumah tangga harus mendapat hak dan penghargaan yang sama untuk tidak dilecehkan keberadaannya.
Memang tidak mudah memilih di antara keduanya terutama saat perempuan telah mendapatkan pendidikan tinggi. Mungkin harus ada suatu perjuangan panjang untuk memperluas hak perempuan untuk “memadukan kewajiban domestik dengan kewajiban professional” misalnya dengan adanya suatu undang-undang yang mewajibkan setiap gedung perkantoran atau kantor dengan sejumlah karyawati memiliki tempat penitipan anak. Memberikan tambahan hak cuti melahirkan hingga 6 hingga 12 bulan di luar tanggungan.
Tidak kalah penting adalah membangun komunikasi yang baik dan menempatkan diri sejajar dengan suami.
* artikel ini saya tulis atas permintaan ibu KPH untuk dibawakannya pada suatu seminar interaktif di Batam
Nurut Alkitab, wanita diciptakan Tuhan dari tulang rusuknya, jadi bukan untuk berjalan di belakang suaminya, juga bukan untuk berjalan di depan suaminya, tapi berjalan di sisinya, saling nuntun saling dukung
BalasHapusKenyataannya nggak begitu Jean... Perempuan masih dianggap warga kelas dua. Coba deh kamu baca buku tentang keadaan peempuan dinegara lain.
BalasHapusmemang benar Mme, ibuku sendiri slalu berpikiran begitu, & menanamkan pikiran bhw wanita itu warga kelas 2 ke kita anak2nya sejak kecil, jadilah saya pemberontak dlm rumah, sekarang ibuku baru tau, pemberontak ini baek juga, hehe
BalasHapussampai sekarang ibuku makan selalu terakhir, harus melayani ayahku mkn duluan, disendoki nasinya, weleh2 emang gak punya tgn sendiri? kacian..
Sebenarnya dalam setiap takdir atau kejadian Tuhan sedang menciptkan ladang amal bagi mereka yang mau menggarapnya. Wanita yang bekerja di luar akan mendapatkan amal yang lebih banyak jika ia tetap ikhlas melaksanakan pekerjaan-pekerjaan domestiknya. Sebaliknya lelaki yang dengan ikhlas mengambil alih sebagian pekerjaan domestik yang biasa dikerjakan istrinya juga akan mendapatkan amal yang banyak pula. Tinggal kemauan kita untuk menggarap ladang amal itu atau membiarkannya terlantar.
BalasHapus