Jumat, 25 April 2008

UAN pembawa petaka.

Ujian Nasional masih berlangsung sejak hari Senin 21 April 2008. Beberapa kenalan mengirim sms, mohon doa untuk anak mereka yang sedang menjalani UAN. Kemarin sore, saya menelpon salah satu keluarga yang anaknya sedang menjalani UAN, menanyakan rencana perjalanan menghadiri pernikahan salah satu keponakan di Surabaya. Harus dipersiapkan jauh hari karena pernikahan itu dilangsungkan bertepatan dengan liburan panjang pada pertengahan bulan Mei 08. Kalau tidak, kita harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar tiket pesawat. Itupun kalau masih kebagian.

Rupanya, saya kurang bisa membaca situasi. Alih-alih mendapat sambutan untuk mengatur jadwal, malah terdengar jawaban yang kurang bersahabat. Semua karena anak-anaknya (kembar) sedang menjalani UAN. UAN sudah melibatkan emosi semua orang. Murid dan orang tua mereka.

Siang tadi, saat tiba di kantor, di ruang makan 2 orang rekan kerjaku sedang sibuk berbagi pengalaman dan saling menasehati. Anak mereka juga sedang menjalani UAN. Satu UAN tingkat SMA dan satu lagi UAN tingkat SMP.

Temanku yang anaknya sedang menjalani UAN tingkat SMA bercerita. Hari pertama, UAN mata pelajaran Matematika sudah diawalai dengan kejadian yang kurang menyenangkan. Usai UAN, si anak menelpon ibunya di kantor, sambil menangis karena tidak bisa mengerjakan UAN. Padahal prestasi anak itu, tidaklah jelek. Selalu masuk 10 besar sejak kelas 1. Dia menyesalkan bahwa saat ditawari seseorang “kunci jawaban UAN”, dia sudah menolak. Sedangkan sebagian besar teman-teman sekelas menerima jawaban kunci tersebut.

Hari kedua UAN, si ibu ditelpon oleh teman-teman anaknya. Si anak muntah dan demam. Stress berat menghadapi UAN. Hari ke 3 UAN dia sakit kepala dan mual. Ditawari paramex, tidak bisa karena dia sama sekali tidak mau makan. Mual dan karenanya kehilangan nafsu makan.

Dia, anak pertama dari 2 bersaudara. Bapaknya sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.Konon menurut ibunya, semalam si ibu mengajak bicara si anak. Menghibur agar tidak “mendewakan” kelulusan. Kalau tidak lulus UAN, masih bisa mengulang lagi atau menempuh ujian paket C. Alih-alih terhibur si anak malah marah besar. Merasa terhina kalau hanya mendapat predikat kelulusan Paket C.

“Tidak….. aku nggak mau paket C. Aku nyesel mi, kenapa aku nggak terima kunci jawaban itu…?”
“Keputusanmu nggak salah kok. Untuk apa lulus kalau didapat dari jalan yang nggak bener?”, hibur si ibu.
“Tapi …., bayangin mi, kalau anak-anak yang prestasinya di bawah aku, lulus semua sementara aku nggak lulus?”
“Ya sudah…. Hidup dan keberhasilan kita tidak ditentukan oleh sebuah UAN. Masih ada cara lain.”
“Nggak mi,… aku malu kalo nggak lulus… aku mending mati aja kalo nggak lulus. Mau ditaruh dimana mukaku, mi….?”

Si ibu bingung menhadapi anaknya, sementara aku hanya mampu tercenung mendengar cerita temanku. UN belakangan ini menjadi momok yang menakutkan bagi semua. Murid, guru dan orangtua. Sekolah bukan lagi menjadi tempat yang menyenangkan untuk menimba ilmu, tetapi berubah menjadi tempat pembantaian.

Roh pendidikan sudah bergeser. Pendidikan adalah mengajarkan/mendidik anak bukan hanya materi akademis tetapi juga sebuah proses. Proses yang berlangsung terus menerus untuk membawa seorang anak dari tidak tahu menjadi tahu dan mengerti. Untuk menanamkan integritas kejujuran. Dan ini pasti tidak bisa diperoleh seketika.

Entah dimana salahnya …., saat komunikasi semakin terbuka lebar. Saat ilmu dapat diperoleh dari berbagai sumber secara luas, anak-anak kita malah terjerembab. Stress dan ketakutan menghadapi UN
Oh UAN ….

4 komentar:

  1. Mbak bisa bayangkan soal-soal UAN yang dikerjakan anak sekolah didaerah terpencil sana. Ngga usah di Kalimantan/Sulawesilah. Yang di P. Jawa katakanlah sekolah di Gombong.Sementara soal UAN standarnya ketinggian. Maksudnya sih bagus, untuk menyamakan kwalitas pendidikan, tapi soal yang dibikin untuk UAN ada yang model soal Olympiade Matematika/Fisika. Udah gitu soal yang sulit ada pada nomer-nomer awal, belum-belum anak udah stress baca soal. Ya jelas anak-anak pada nangis!!!

    BalasHapus
  2. Iya, pendidikan di Indonesia memang sudah nggak jelas apa maunya. Pemerintah nggak mau peduli bahwa mereka belum mampu menyamakan fasilitas/kemampuan guru dan kondisi lapangan anyara kota besar dengan kota kecil, antara satu pulau dengan yg lainnya. Suami sy pernah diajak mengevaluasi naskah pelajaran fisika di SMA. Dia cuma bisa geleng2 kepala karena materi yg diajarkan terlalu jauh. Gurunya aja belum tentu mampu menyerap isi naskah itu. Nah kalo gurunya aja nggak ngerti, gimana dia bisa ngajarin muridnya? Pantas aja UAN jadi runyam.

    BalasHapus
  3. Mbak,
    Kalo jaman gue sekolah dulu, udah diterapin sistem seperti sekarang, gue yakin, 10 kali ikut ujian, gue bakal kagak pernah lulus..Mengingat gue adalah murid biasa2 aja (rada-rada bolot dan mualessss heheheh), pasti bengong deh ngadepin soal ujian....dan stress udah pasti mengingat kelulusan hanya ditentukan oleh hasil UAN murni (bener kan?). Pasti beban mental banget deh...
    Sepertinya, proses belajar mengajar selama tiga tahun itu, gak ada artinya ya...

    BalasHapus
  4. nggak usah di tingkat SMA, gue aja kadang pusing baca PR anak gue yg di kls V. Bingung mesti ngajarin, bagaimana jawab dgn logika berpikir anak SD, karena struktur soalnya seperti struktur soal jaman gue di SMA dulu, pake persamaan dan permisalan.

    Kasihan, anak2 yang nggak punya akses untuk dapat tambahan pelajaran yang baik, karena bimbel nggak ngajarin pengertian tp trick,

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...