Senin, 19 Mei 2008

Problematika Rumah Tangga : Kasus 4 - Istri yang dominan

Kejadian yang menimpa kenalanku ini  memang sudah sangat lama, namun masalahnya tetap aktual sepanjang masa. Mungkin, itu juga sebabnya para orangtua selalu mewanti-wanti anaknya untuk menikah dengan pasangan yang sesuku atau yang paling longgar, seagama. Ini diharapkan dapat mengurangi berbagai macam "konflik" yang timbul selama perkawinan.

Seorang kenalanku, perempuan berasal dari suku Minang. Dibesarkan dalam keluarga yang (seharusnya) berkecukupan. Orangtuanya bekerja di Stanvac yang kemudian bersalin rupa menjadi Caltex Pacific. Jadoel banget. Ibunya kenalanku anak tunggal yang sangat dominan, karena beliau juga lahir dari keluarga bangsawan Minang yang memiliki tanah pusako yang sangat luas. Sementara bapaknya, lahir dari keluarga Minang yang bersahaja. Beliau sangat lembut hati dan pemurah.

Suami kenalanku berasal dari Jawa. Dari Malang tepatnya dan dari keluarga terpelajar. Dia juga bekerja di perusahaan minyak BPM/Shell. Setelah BPM/Shel dinasionalisasi, kemudian dia bekerja di Pertamina hingga pensiun. Orangnya relatif ganteng, pendiam dan sangat santun. Jauh berbeda dengan istrinya yang "cowawakan....", pintar cari muka dan mengambil hati atasan atau kalau bahasa jelasnya sih pintar "menjilat"

Pernikahan mereka dianugerahi dua orang anak. Yang tertua, perempuan yang sangat mirip dengan ibunya, walaupun berkulit hitam manis seperti bapaknya. Sementara wajah si bungsu merupakan duplikat bapaknya. Mereka hidup berkecukupan di komplek perumahan pekerja perminyakan yang serba ada dan lengkap.

Semua orang yang mengenal mereka, dengan sangat mudah melihat bahwa peran istri dalam berbagai hal sangat dominan. Dalam pergaulan sosial dan bahkan di lingkungan pekerjaan. Sukar ditepis dugaan bahwa si istri sangat berperan untuk kasak-kusuk mencarikan posisi yang baik dan basah bagi suami. Mungkin si suami memang cukup ahli dalam bidangnya, tapi semua orang juga tahu bahwa dalam meraih posisi penting, networking dan lobbying turut berperan. Nah peran ini yang tampaknya diambil sang istri sehingga si suami memperoleh berbagai posisi yang mustahil bila diperoleh melalui jalur umum.

Hingga suatu hari, terjadi kehebohan. Kenalanku menyuruh adiknya membuntuti sang suami. Konon, sejak mengikuti satu seminar perminyakan di sebuah kota di pulau Jawa, sang suami seringkali pergi ke Jakarta. Sebetulnya, mengingat posisinya saat itu, tugas ke Jakarta bukanlah hal yang aneh. Tetapi si istri mendengar berita bahwa sang suami yang biasanya selalu menginap di rumah kakaknya bila tugas ke Jakarta, saat itu selalu menginap di mess perusahaan.
Demi rasa sayang kepada si kakak, adiknyapun membuntuti kegiatan kakak ipar. Ternyata, si suami mengunjungi dan berkencan dengan rekan kerja yang tinggal tidak jauh dari mess perusahaan. Yang mengejutkan si adik ..... wajah teman kencan si kakak ipar sangat mirip dengan kakaknya. Perbedaannya hanya pada rambut dan perilakunya. Bila kenalanku (istri) selalu berambut pendek, maka rekan pujaan berambut panjang dan ikal. Bila istri "cowawakan" maka sang pujaan lembut dan santun.

Usai melakukan investigasi, si adik menunggu kakak ipar pulang berkencan di mess. Panjang lebar mereka berdialog, antar sesama lelaki..... Dari situ, terungkap bahwa suami kenalanku merasa lelah "dipacu" oleh ambisi istrinya. Dia ingin hidup tenang sebagaimana dia dididik oleh orangtuanya dalam kultur Jawa. Dia merasa menemukan apa yang tidak diperoleh dari istrinya pada sang gadis pujaan. Seluruh impiannya tentang penampilan, perilaku dan sifat istri bahkan hingga penampilan fisik.

Perempuan yang berasal dari Minang memang sangat dominan. Mungkin karena dalam kultur Minang, perempuan memang memiliki tempat yang tinggi dibandingkan dengan kultur Jawa yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking. Hanya sebagai penyokong. Perbedaan kultur dari kedua orang itu, ditambah dengan sifat dasar yang sangat bertolak belakang itulah yang menyebabkan sang suami mencari pelarian dari segala pemberontakan hatinya. Padahal, sesungguhnya dia sangat cinta pada si istri.

Si adik hanya bisa terdiam dan memakluminya. Dia sama sekali tidak melaporkan hasil kerja dan pembicaraan dengan kakak iparnya kepada sang kakak yang meminta laporan investigatifnya

9 komentar:

  1. waduh..kasian ya...seharusnya memang saling terbuka untuk komunikasi.Memang perbedaan kultur bisa terasakan sgt berat stlh pernikahan berjalan.Jgnkan berbeda suku,sesama suku saja juga msh bnyk kok perbedaannya,didikan msng2x kluarga berpengaruh dlm hidup masing2x dan sgt sukar untuk diubah.Kalau saya sih,kalau mrk mmg msh ingin pernikahan bertahan,msg2x intropeksi dan meminimalkan perbedaan.

    BalasHapus
  2. teorynya begitu, tetapi berbicara terbuka apalagi kalau masalahnya sensitif, apa adanya ternyata bukan hal yang mudah. Jadi, biasanya pasangan berusaha memendam perasaan/unek2 yang lama kelamaan kalau tidak tertahankan, akan mencari jalan keluar sendiri.

    BalasHapus
  3. bahagianya selingkuh ... :p geleng geleng kepala ...

    BalasHapus
  4. lho.... selingkuh itu bahagia ya...?

    BalasHapus
  5. kalo mo selingkuh berbagai alasan bisa terciptakan. semua kebaikan tak tampak, yg tampak hanya semua kekurangan psgn. ibarat gajah di pelupuk mata...
    udah susah payah diperjuangkan posisi empuk, gak tau terimakasih rupanya si suami ini. kalo kere wil juga gak mo ngelirik dia

    BalasHapus
  6. Iya lah... Mana ada yang mau menyalahkan diri sendiri?

    BalasHapus
  7. alasan APAPUN tdk membenarkan utk melalkukan perselingkuhan...kok gak dibicarakan/diselesaikan dgn sang istri, malah ketahuan/melibatkan org lain (untung adiknya)...

    Kenapa sich wanita selalu disalahkan dalam apapun?klo gak punya anak, tdk sedikit wanita dipertanyakan..klo suami selingkuh, ada aja dalih bhw wanita pasti ada yg salah (kurang lembutlah, kurang wangi lah, kurang servis lah, dsb..)
    klo seorang wanita dominan manknya knP?ada asap pasti ada api kan?wanita skg tdk spt wanita dulu, wanita skg adalah wanita yg beradaptasi utk survive,tdk spt dulu, wanita yg hanya mau bergantung total pd laki2...
    yg membuat laki2 merasa direndahkan krn alasan apapun(termasuk dominasi istri)adalah dirinya sendiri..berarti dia mengijinkan dirinya sendiri utk tdk diperlakukan pantas...
    jika pria ingin dihormati istrinya...pria hrs belajar menghormati dirinya dulu..Jika pria ingin mmendpt wanita yang apa2 'nggee.."nikahi lah wanita cantik nan tulalit..tp jika ingin mendpt istri berkualitas bagus..yach ngaca dulu dech..layak gak bersanding dgn wanita idaman.
    Jadi para pria, ngaca dulu yach, klo merasa di dominasi, berarti ada yg something wrong..sebab "ada asap pasti ada api"jgn merasa terzolimi dulu...
    dan para wanita, jgn mudah menikahi pria yg tdk berkualitas..sebab tdk layak mereka merusak masa dpn kita dgn dalih atas nama cinta..sebab cinta itu tdk cukup..cinta tdk membayar tagihan listrik/biaya hidup...Jadikan dirimu wanita elegan yg layak disandingkan dgn laki2 yg "benar2 laki2"

    BalasHapus
  8. Sarah Pali ...
    Menilai pria berkualitas itu bagaimana sih ...? Pernikahan itu seperti "penjara" seumur hidup ... dimana pasangan "terikat" seumur hidup dalam lembaga perkawinan sementara dunia terus berputar, bukan saja secara fisik, lingkungan, pekerjaan/pergaulan dll ... Begitu perasaan. Ada banyak faktor yang bisa membuat orang yang "lemah hati/pribadi" untuk melakukan perselingkuhan, sebanyak orang yang mampu menahan diri, walau godaan "di luar" begitu banyak.

    Nah ... mencari orang yang "berkualitas/mampu menahan diri" sejak awal/sebelum pernikahan itu bagaimana caranya? Pasti tidak gampang ... Sekali lagi karena segalanya berputar, berubah selama masa pernikahan ..

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...