Jumat, 11 Juli 2008

Lika-liku masuk UI

Teman sekantorku yang posisinya sebagai sekretaris, selama satu bulan terakhir ini, merasa enggak enak sama boss. Dia terpaksa beberapa kali mengambil cuti karena harus mengurus sekolah dua anak gadisnya. Yang besar diterima di Fakultas Ilmu Budaya alias FIB–UI.sedangkan yang kecil baru lulus SD dan harus mendaftar ke SMP.

Beruntung dia diterima di SMP Negeri, jadi tidak terlalu “menguras biaya”, walaupun tetap saja nggak ada yang gratis. Ada urusan uang seragam, uang kegiatan sekolah yang harus dibayar. Akan hal, anaknya yang mau masuk ke FIB–UI, harus didampingi dan dipersyaratkan kehadiran orang tua. Ini dikarenakan temanku ingin mendapat keringanan biaya masuk maupun uang kuliah.

Masyarakat hanya dapat informasi bahwa biaya masuk UI adalah 25 juta dan uang kuliah sebesar 5 – 10 juta per semester. Suamiku bilang bahwa ada kebijakan UI/fakultas untuk memberikan keringanan dalam program yang mereka namakan bea siswa. Keringanan ini bermacam, dari jenis teringan berupa pembayaran yang diangsur sampai dengan 6 bulan alias 6 kali, pengurangan jumlah kewajiban hingga yang terbesar penghapusan biaya masuk universitas.

Konon kabarnya patokan uang masuk UI adalah dari 100 ribu hingga 25 juta untuk program regular. Tapi jangan bicara biaya masuk untuk program Internasional atau KSDI alias Kerjasama Daerah dan Industri. Yang dua ini program khusus yang uang masuk dan uang kuliahnya tidak bisa tawar menawar. Yang Internasional memakai acuan USD sedangkan KSDI, kalau tidak salah harus dibayar sekaligus dimuka. 

Namanya saja PEMBERIAN KERINGANAN…. Untuk dan atas nama keadilan dan supaya tepat sasaran, UI tentu tidak mau kebobolan memberikan keringanan pada mahasiswa yang kurang tepat. Maka dipasanglah berbagai rambu-rambu, sehingga hanya orang-orang yang betul-betul tidak mampulah yang akan terus berjuang untuk terus menerus memenuhi persyaratan yang diminta.

Orang boleh bilang bahwa persyaratan yang diminta, terlalu mengada-ada. Tapi setelah ngobrol-ngobrol informal saat di Ujung Genteng dengan pak Herr Suryantono PhD yang ketua panitia penerimaan mahasiswa program KSDI dan juga suami, aku bisa memahaminya.

Aku juga ingat cerita iparku. Di sekolah katolik favorit seperti Tarakanika, pada saat pendaftaran siswa baru, banyak ibu-ibu yang berpenampilan sangat sederhana bahkan hingga bersandal jepit mendaftarkan anaknya dan berharap agar uang masuk dan uang sekolahnya tidak terlalu tinggi. Padahal setelah si anak sekolah, maka keluarlah kondisi aslinya. Si anak di antar/jemput dengan mobil mewah. Nah sejak itu pula mereka menerapkan kiat lain untuk menjerat “para penipu” biaya pendidikan sekolah swasta itu.

Nah… darimana UI menilai orangtua si calon mahasiswa betul-betul tidak mampu. Yang pertama, formulir isian standar dengan berbagai macam lampiran. Nah lampiran ini yang bisa membuka kondisi riel orangtua si anak. Orangtua yang mampu akan merasa jengah memenuhi segala macam persyaratan yang diminta.

Lampirannya konon berupa foto rumah dari luar dan dalam yang dilengkapi dengan konfirmasi berupa tandatangan 3 tetangga terdekat. Si  tetangga juga “dipaksa” menuliskan data pribadi untuk konfirmasi. Lalu rekening listrik dan telpon, Kartu keluarga, Keterangan gaji dan keterangan domisili yang disahkan dari RT – RW – Lurah hingga camat. Pada akhirnya ada pernyataan yang ditandatangani anak dan orangtua bahwa "apabila keterangan yang diberikan ternyata palsu dan tidak benar, maka mahasiswa yang bersangkutan akan dikeluarkan dari Universitas"

Njlimet …..? Merendahkan martabat orang tua…? Tentu saja…. Apa boleh buat, ini harga yang harus dibayar supaya subsidi tidak salah sasaran. Orang yang mampu dan atau setengah mampu tidak akan sudi bersusah payah melakukan prosedur tersebut dan memenuhi semua persayaratan. Orang yang setengah mampu, jatuh-jatuhnya akan tetap membayar sesuai dengan biaya dasar yang 25 juta, tetapi dengan cara mengangsur selama 6 bulan. Tetapi mereka yang  betul-betul tidak mampu akan berjuang sampai titik darah penghabisan, sampai putus urat malu agar anaknya bisa masuk UI dengan hanya membayar 100 ribu rupiah saja atau bahkan gratis.

Cukup adil bukan?

15 komentar:

  1. dua puluh lima juta...? buat masuk fakultas yang dulu disebut Fakultas Sastra...
    astaghfirullah..? jaman anakku kuliah udah berapa ya...? Biayanya...???

    BalasHapus
  2. dooooh... gimana jaman anak gue sekolah nanti ya?

    BalasHapus
  3. Eits, salah...
    Ada yang kurang pas. KAlo gak salah FIB itu, uang masuknya 10 juta. Yang 25 juta FT.
    Kenapa harus khawatir.... kan bisa minta dispensasi pengurangan biaya kalo memang betul2 nggak mampu.

    BalasHapus
  4. Gimana nanti aja Ning.
    Pasti ada rejeki yang diberikan Allah SWT. Let it flow

    BalasHapus
  5. kalo fisip? beneran masuknya 50 juta...??
    itu jalur umptn kan ya....
    btw, itu duit semua...? gak boleh campur daun...???
    *pusing baca juta-juta*

    BalasHapus
  6. Setahu saya, ada 4 jalur masuk. UMB, SMPTN, KSDI dan yang satunya saya lupa. Di samping itu ada proram internasional. Persayaratan dan biaya masing-masing jalur masuk itu berbeda-beda. Saya nggak begitu tahu detail. Coba aja tanya sama teman-teman yang ngajar di UI. Info itupun terbatas di fakultas masing-masing karena setiap fakultas juga punya kebijakan sendiri.

    Sekedar info, masuk SD Islam (swasta) di Jakarta rata2 minimal 10juta dan uang sekolah 400ribu/bulan. Bahkan ada yang mematok uang masuk hingga 30juta dan uang sekolah 1juta/bulan. Jadi kalau dibandingkan seperti itu, UI yang BHMN jatuhnya masih murah karena ada dispensasi bagi yg kurang mampu, karena sekolah dr SD s/d SMP swasta jarang yang memberikan dispensasi

    BalasHapus
  7. Perlu dipertimbangkan cuti atau ijin khusus pengurusan sekolah. karena kenyataan, untuk mengurus sekolah, orang tua harus datang sendiri. Mengharapkan kebijaksanaan kantor tentu menimbulkan beban tersendiri. Jika di jadikan ketetapan pemerintah tentu akan menjadi hal yang sudah seharusnya dinikmati oleh semua pekerja.

    BalasHapus
  8. Kalo menurut saya, bukan kebijakan "memberikan cuti khusus bagi orangtua" tetapi mekanisme pendaftaran murid yang harus diubah agar tidak ada kongkalikong atau merepotkan orangtua. Masa sudah dikasi anggaran 20% dari APBN, sektor pendidikan tidak menjadi lebih baik?

    BalasHapus
  9. kongkritnya piye ? secara sekolah tidak mencukupi dan jumlahpendaftar melebih kapasitas, maka hukum alam pasti berlaku. kngkalikong pasti akan tetap jalan.
    Walau udah ada ketentuan radisu tmpat tinggal. saya baru dikasih tau, kalo banyak orang tua murid yang membeli surat keterang domisili, agar anaknya dianggap tinggal disekitar SDN Unggulan. pantesan aja anak saya kagak kebagian. Secara mereka sanggup membeli surat domisili, pasti juga sanggup membeli guru maupun kepseknya.......

    BalasHapus
  10. WAH... jadi salah satu korban ya?

    Menurutku, jumlah sekolah (negeri+swasta) mestinya mencukupi. Cuma kualitasnya berbeda. Ada sekolah unggulan/favorit dan sekolah marginal. Ini jadi kewajiban pemerintah untuk membenahi agar kualitas sekolah merata.

    Buatku sebetulnya simple aja. Yang pertama tentunya ada kemauan politik dari pemerintah bahwa aturan harus ditegakkan dengan benar. Siapa yang melanggar, dikenakan sanksi tanpa pandang bulu.

    Harus juga ada kesadaran dari orangtua. Jangan mentang-mentang mampu, segala macam di"beli" Ini, secara ltidak langsung, jadi contoh buruk bagi anak-anak kita. Secara tidak sadar orangtua mengajarkan :"Nak... segalanya bisa dibeli, asal kita punya uang! Segalanya, termasuk guru2mu".

    Aduh..... Mau jadi apa negara dan anak2 kita nantinya. Kalau hal-hal seperti itu terus dipelihara? Memang nggak gampang menyelesaikannya kalau masing2 hanya berpikir untuk kepentingan sesaat untuk dirinya sendiri

    Aku sih, mulai dari diri sendiri saja... Tidak melakukan sogok menyogok untuk kepentingan sekolah anakku. Kalau anakku nggak bisa masuk sekolah negeri atau nggak mampu masuk sekolah swasta bagus dekat rumah karena uang masuknya mahal, ya cari sekolah swasta yang terjangkau saja. Aku nggak mau yang muluk2 lah. Toh sekolah hanya sebagian kecil dari kunci keberhasilan anak kelak.

    BalasHapus
  11. wah...geleng2x nih baca biaya di UI skrg mahal...berarti kesejehteraan dosen meningkat dong ya bu Lina...he...he..soalnya bnyk juga jmn dulu temen suami sesama dosen untuk punya rumah aja susah...

    BalasHapus
  12. Relatif... Kalau kamu membandingkan dengan gaji dosen 5 PTN - BHMN (UI, ITB, UGM, yang dua saya lupa) dengan PTN lainnya terutama yang di luar Jawa, jelas gaji dosen UI jauh lebih baik. Tapi kalau kamu menempatkan dosen pada strata sosial menengah/menengah atas, maka gaji yang diterima dosen 5 PTN - BHMN, belum memadai untuk memenuhi standard hidup layak pada strata sosial tersebut.

    BalasHapus
  13. pendidikan gratis di indonesia tidak ada yah..... ini hanya impian dari keluarga masyarakat miskin, padahal anggaran pendidikan sudah mencapai 20% .

    BalasHapus
  14. di negara maju juga nggak ada pendidikan tinggi yang gratis. Tapi disubsidi, terutama untuk universitas negeri. Di UI juga bisa gratis (dapat beasiswa atau potongan biaya), tapi mekanismenya berat supaya tepat sasaran. Cuma orang yang sangat butuh yang akan sabar menempuh prosesnya.

    BalasHapus
  15. sekedar info mbak.....
    sewaktu saya tinggal di Wollonggong Australi (termasuk negara maju) pendidikan dari tingkat tk sampai univ gratis untuk warganya (yup di subsidi oleh pemerintah nya) tapi maknanya siswa dan mahasiswa sekolah gratis....gak keluar duid....
    disana jarang ada sekolah swasta, or univ swasta (gak banyak)
    kalau pun ada sekolah swasta itu sekolah yang berbasis agama (kristen)...
    waktu itu suami melanjutkan S2 mendapat beasiswa dari kantornya....
    anak2sy turut serta dan sekolah di primary school (setingkat SD) gratis dari pemerintah sana...
    biasanya untuk warga asing dari tingkat SD-SMA gratis...untuk Univ warga asing harus bayar, warga negara mereka gratis, dan saratnya gak berat deh...
    saya juga sempat kuliah di TAFE (seperti diploma disini)....saya harus bayar kalau dirupiahin sekitar 15jt persemester (waktu itu), sedangkan warga nya, kebetulan waktu itu banyak teman yang PR (permanent resident dari berbagai neg...seperti iran, cina, taiwan dll) belum warga negara hanya bayar sekitar gak sampe sejuta rupih deh....

    Sekarang saya tinggal di Melaka Malaysia...
    negara yang mencanangkan akan menjadi negara maju di th 2020 (jadi sekarang belum bisa dibilang negara maju)
    dari TK hingga Mahasiswa warga negara malaysia sekolah gratis....
    kalaupun ada bayar2...cuma administrasi ajah, kecil sekali nilainya...(kalau dirupiahin gak nyampe 300ribu rupiah)
    anak saya karena wna pernah sekolah setingkat sma disini dan bayar gak sampe 1jt rupiah setahun....

    tetapi saat univ WNA di Malay harus bayar full emang mahal dan tergantung univ nya tergantung fakultas apa...
    temen2 nya yang warga malay gratis pokoknya ortu nya gak keluar duid deh.....
    ada macam2 mahasiswa bisa dapet beasiswa dari negara....dari perusahaan dan dari pinjaman....
    tentunya ini akan diberikan berdasarkan nilai hasil ujian akhir dan tidak melihat kemampuan orang tua....
    biasanya kalau anak yang memang kurang dalam nilai saat ujian masuk college yang tak terlalu mahal dan biaya ortu (atau bisa juga pinjaman yang nantinya jika si mahasiswa sudah bekerja mengembalikan nya)....atau juga lulus SPM (setingkat sma) mereka sudah langsung bekerja, karena disini memang pekerjaan cukup memadai....
    artinya ortu disini benar2 tak keluar uang....


    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...