Seperti biasanya, dalam melakukan perjalanan wisata, turis dari Indonesia umumnya menunggu acara bebas atau acara belanja. Kalau di Paris, tempat belanja favorit yang dituju biasanya Gallery Lafayette di Boulevard Hausmann, nggak jauh dari l’opera de Paris. Di situ, selain ada Gallery Lafayette, ada Mark & Spencer, Tati dan le Printemps. Konon kata orang, rasanya bangga gitu loh, kalo pulang Tour nenteng tas plastik berlabel Gallery Lafayette.
Sebetulnya, belanja nggak masuk dalam acara dan budget kepergian kami ke Beijing. Niat awal perjalanan ini cuma ingin melihat Forbidden City dan Great Wall. Keinginan itu disebabkan oleh film The Last Emperor beberapa tahun yang lalu dan semakin menguat setelah baca bukunya Anchee Min berjudul Empress Orchid dan The Last Empress). Tapi kemudian teringat, ada teman-teman kantor, anggota keluarga yang pasti akan senang sekali mendapat oleh-oleh dari China, walaupun saya tahu barang-barang souvenir China banyak dijual di Pecinan Indonesia.
Sejak tiba di Beijing, Farah Wang selalu mengingatkan kami akan 2 hal; yang pertama, jangan sekali-kali belanja pada pedagang di pinggir jalan (marchand ambulance) karena mereka tidak jujur. Mereka secara cepat akan menukar barang yang sudah kita pilih dengan barang rusak, yang sudah dipak di dalam keranjang/kereta dorong, saat kita lengah, membuka tas dan menghitung uang untuk membayar.
Yang kedua, uang kembalian seringkali diberikan uang palsu. Pedagang gerobak dorong itu terkenal sebagai distributor uang palsu. Jadi sebaiknya belanja ditoko-toko yang jelas asal usulnya. Apalagi toko-toko yang medium/besar umumnya milik pemerintah. Tapi harganya nggak bisa ditawar. Nah inilah yang ada di Wang Fu Jing Street.
Dalam mendampingi turis, dia seringkali mendapati turis-turis yang kurang sabar menawar, akhirnya menyesal, karena barang yang sama bentuk, kualitas dan ukurannya, antara satu orang dengan yang lainnya bisa berbeda harga hingga 1 : 5. Berdasarkan dengan pengalaman itu, dia membekali kiat kepada kami…. Tawar hingga 15% dari harga awal. Jangan beranjak. Kalau terpaksa, maka dealing price yang wajar, maksimum hanya 20% dari harga awal.
Perutku langsung mules denger kiat belanja dan menawar a la Cina. Rasanya nggak tega, nawar barang se”kejam” itu. Nawar sih boleh, tapi paling juga hanya 10% atau 20% dari harga awal. Tapi, saya juga nggak rela kalau tertipu oleh kiat dagang orang Cina/Beijing. Apalagi sudah ada benchmark harga. Saat di Badaling (great wall entry point), saya beli kaus seharga Y20. Ini harga di toko pemerintah yang nggak bisa ditawar.
Puaskah belanja dan tawar-menawar barang a la China? Sejujurnya saya merasa sangat tidak puas. Saya merasa sudah menjadi orang yang menganiaya pedagang. Memang, saya tidak bisa mengukur seberapa besar margin keuntungan mereka. Mestinya kalau mereka mau melepas dengan harga serendah itu. Tentu sudah ada keuntungan yang diperoleh. Tapi kalau harga barang yang dijual memang semurah itu, kenapa harus memasang harga awal yang berlebihan? Kenapa tidak memberikan harga yang sewajarnya untuk ditawar. Jadi tidak perlu ada salah satu pihak yang merasa dirugikan baik secara riel ataupun psikologis
Duh China…. Selalu saja sukar ditebak…..!!!!
waaw. mataabb nawar-nya ya! sekaligus ngga tega. untung aku dkk ngga ngeliat perjuangan utk menawar harga! habis ngga tega ngeliatnya!!!!
BalasHapusWuah...nawarnya kudu muka tembok ya mbak.... Perlu pake trik 'pura-pura ggak jadi' gak? Belaga jalan ke lapak sebelah sambil nunggu si penjual teriak2 manggil kita dan dia setuju lepasin barang sesuai dengan harga yang kita mau...hehehehehhe...
BalasHapusya begitu deh. Yang repot kan mereka jarang yang english speaking, jadi cuma modal kalkulator aja.... Seru tapi miris
BalasHapusHe...he..tapi saya juga seneng kalo dapet nawar dengan harga yang murah.....
BalasHapusCape nawarnya.... Rasanya buang2 waktu. Apalagi kalo kita sudah tahu harga barangnya sebetulnya murah.
BalasHapus