Jakarta dan mungkin juga seluruh kota hingga pelosok desa di Indonesia belakangan ini jadi kumuh. Bukan sekedar kumuh karena semakin banyak kakilima lengkap dengan sampah-sampahnya, tapi juga karena tebaran spanduk, umbul-umbu, bendera dan baliho dari berbagai partai politik yang sedang mengkampanyekan diri menjelang pemilu 2009.
Coba bayangkan, kalau ada 34 partai peserta pemilu dengan ribuan caleg tingkat nasional (DPR) plus DPD. Belum lagi caleg tingkat daerah (DPRD). Ada yang menghitung (kalo nggak salah di Kompas Minggu), konon, panjang bendera/spanduk kampanye tersebut kalau dijejerkan sambung-menyambung akan mencapai panjang 223.000 km. Kalau jarak dari Sabang di ujung pulang Sumatera sampai Merauke di ujung bawah Irian hanya sejauh 5.000km. Maka bendera/spanduk kampanye pemilu setara dengan 44,6 kali jarak Sabang Merauke.
Repotnya, itu bendera, spanduk, umbul-umbul dipasang tanpa "rasa". Sembarangan, tumpang tindih dan sama sekali tidak ada estetikanya. Sudahlah desainnya standar... ada foto, lambang partai, no urut partai dan nama. Pesannya juga juga standar, nggak kreatif banget. Yang mencolok dan ini paling "digemari" adalah tulisan... MOHON DOA RESTU". Seperti undangan kawin.
Tapi bukan itu yang jadi masalah.... Mau ditulis apapun, saya sih nggak peduli. Lha nggak kenal... apalagi semua calon yang menggelar kampanye itu nggak pernah kedengeran kiprahnya di masyarakat. Saya sering baca baca kiprah Toto Sugito dengan B2W nya. Baru-baru ini Toto Sugito mendapat penghargaan melalui kiprahnya mengkampanyekan penggunaan sepeda untuk mengurangi polusi udara. Atau Ahmad Rizali dengan klub guru, sepeda untuk sekolah dan CFBE nya baik di milis maupun di koran-koran.
Coba bayangkan, kalau ada 34 partai peserta pemilu dengan ribuan caleg tingkat nasional (DPR) plus DPD. Belum lagi caleg tingkat daerah (DPRD). Ada yang menghitung (kalo nggak salah di Kompas Minggu), konon, panjang bendera/spanduk kampanye tersebut kalau dijejerkan sambung-menyambung akan mencapai panjang 223.000 km. Kalau jarak dari Sabang di ujung pulang Sumatera sampai Merauke di ujung bawah Irian hanya sejauh 5.000km. Maka bendera/spanduk kampanye pemilu setara dengan 44,6 kali jarak Sabang Merauke.
Repotnya, itu bendera, spanduk, umbul-umbul dipasang tanpa "rasa". Sembarangan, tumpang tindih dan sama sekali tidak ada estetikanya. Sudahlah desainnya standar... ada foto, lambang partai, no urut partai dan nama. Pesannya juga juga standar, nggak kreatif banget. Yang mencolok dan ini paling "digemari" adalah tulisan... MOHON DOA RESTU". Seperti undangan kawin.
Tapi bukan itu yang jadi masalah.... Mau ditulis apapun, saya sih nggak peduli. Lha nggak kenal... apalagi semua calon yang menggelar kampanye itu nggak pernah kedengeran kiprahnya di masyarakat. Saya sering baca baca kiprah Toto Sugito dengan B2W nya. Baru-baru ini Toto Sugito mendapat penghargaan melalui kiprahnya mengkampanyekan penggunaan sepeda untuk mengurangi polusi udara. Atau Ahmad Rizali dengan klub guru, sepeda untuk sekolah dan CFBE nya baik di milis maupun di koran-koran.
Bahkan nama Butet Manurung, Baby Jim Aditya, Ade Sitompul rasanya lebih pantas mewakili Jakarta di DPD, karena saya memang nggak pernah tahu apa yang dilakukan oleh seorang Vivi Effendi atau kontribusinya di masyarakat khususnya di Jakarta. Padahal dia ingin mewakili masyarakat Jakarta melalui DPD. Atau juga kiprah salah satu anaknya bang Ali Sadikin, seorang tokoh, mantan gubernur DKI yang sangat saya kagumi. Kontribusi dan kiprah bang Ali, di Jakarta tidak ada satu orangpun yang bisa mengabaikannya. Tapi anaknya?
Sungguh mati.... saya belum pernah mendengar kiprah dan kontribusinya bagi masyarakat. Andaikan dia tidak mencantumkan nama Sadikin di belakang namanya, mungkin tidak ada orang yang tahu siapa dia. Tetap anonim seperti rakyat jelata biasa. Bahkan pencantuman nama Ali Sadikinpun belum tentu membuat orang melirik. Ali Sadikin adalah masa lalu Jakarta. Generasi muda yang berusia kurang dari 31 tahun tidak hidup pada era selama Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta yang sangat dicintai rakyatnya.
Itu mungkin sebabnya, para calon yang "gamang" dengan rasa percaya diri atas kemampuannya merasa perlu mencari "DUKUNGAN" tambahan. Maka, muncullah foto bang ALI melatar belakangi foto anaknya. Saya tidak bisa membayangkan apakah bang ALI "suka" dengan hal itu, karena sepanjang yang saya tahu, bang ALI adalah orang yang sangat percaya diri dan berani menentang apapun yang tidak disetujuinya. Bukan orang yang senang mencari dukungan kiri-kanan dan saya yakin begitulah juga beliau mendidik anak-anaknya
Di samping spanduk anaknya bang Ali yang saya temui di sampin PIM I, ada juga foto buya Hamka. Baik buya Hamka maupun bang Ali adalah tokoh-tokoh langka yang sangat independen.
Agaknya si calon legislatif lupa, bahwa jaman sudah berubah. Tidak banyak generasi muda jaman sekarang yang "kenal" dengan Bang Ali dan buya Hamka. Bagaimana kedua tokoh tersebut mewarnai jagat politik Indonesia di masa kekuasaan Suharto bertahun-tahun yang silam. Menampilkan ke dua tokoh tersebut pada materi kampanye hanya menyiratkan ketidakpercayaan sang calon pada dirinya sendiri.
Dan.... sayangnya, kenapa MEGAWATI SUKARNOPUTRI yang pernah menjadi presiden RI masih memerlukan "dukungan" sang bapak. Padahal tanpa memasang foto bung Karnopun, menilik namanya, orang sudah tahu bahwa ibu satu ini adalah anak biologis bung Karno.
Kalau dibilang bahwa si ibu tidak percaya diri, saya yakin barisan PDIP di seluruh Indonesia akan marah dan tersinggung habis-habisan. Tapi please deh ah ...... jangan bawa-bawa lagi gambar bung Karno apalagi gambar sang suami seperti yang terpampang di pojok TMP Kalibata. Seorang MEGAWATI SUKARNOPUTRI harus mampu mengkampanyekan diri sendiri tanpa "endorsement" dari siapapun.... Jangan jadi politisi yang nggak PEDE .... Kalo nggak pede, itu artinya memang dia belum banyak "berbuat" untuk rakyat atau dia juga tahu bahwa kiprahnya belum "diakui" rakyat. Kalau begitu adanya, ya jangan maju-lah...!!!
Atau, berkiprah dulu dalam kegiatan masyarakat, melalui LSM, lembagai sosial kemasyarakatan atau kegiatan lainnya, supaya dikenal orang. Baru kemudian mencalonkan diri. Jadi nggak perlu lagi bawa-bawa tokoh lain, apalagi yang sudah almarhum untuk "men-endorse" diri, di materi-materi kampanye..
Dan.... sayangnya, kenapa MEGAWATI SUKARNOPUTRI yang pernah menjadi presiden RI masih memerlukan "dukungan" sang bapak. Padahal tanpa memasang foto bung Karnopun, menilik namanya, orang sudah tahu bahwa ibu satu ini adalah anak biologis bung Karno.
Kalau dibilang bahwa si ibu tidak percaya diri, saya yakin barisan PDIP di seluruh Indonesia akan marah dan tersinggung habis-habisan. Tapi please deh ah ...... jangan bawa-bawa lagi gambar bung Karno apalagi gambar sang suami seperti yang terpampang di pojok TMP Kalibata. Seorang MEGAWATI SUKARNOPUTRI harus mampu mengkampanyekan diri sendiri tanpa "endorsement" dari siapapun.... Jangan jadi politisi yang nggak PEDE .... Kalo nggak pede, itu artinya memang dia belum banyak "berbuat" untuk rakyat atau dia juga tahu bahwa kiprahnya belum "diakui" rakyat. Kalau begitu adanya, ya jangan maju-lah...!!!
Atau, berkiprah dulu dalam kegiatan masyarakat, melalui LSM, lembagai sosial kemasyarakatan atau kegiatan lainnya, supaya dikenal orang. Baru kemudian mencalonkan diri. Jadi nggak perlu lagi bawa-bawa tokoh lain, apalagi yang sudah almarhum untuk "men-endorse" diri, di materi-materi kampanye..
pengen nulis sesuatu soal kampanye ini juga... tapi gak tau kapan...
BalasHapusntar aje kalo udah menang ya bu...:D
tapi emang pusing juga sih bu.. liat spanduk yang nyebutin, bapak...ibu... keluarga... trahnya... aduuhh... kalo kata pepatah arab:
"bukanlah pemuda yang berkata, ini bapakku. tapi pemuda adalah yang mengatakan, inilah aku"
Nulis aja sekarang ... kenapa harus menunggu? Kalau kalah, gimana? (Eh... siapa yang kalah atau menang ya.....???)
BalasHapussalah satu spanduk yang saya lewati malah lucu banget, ada foto sang calon sedang menunjuk ke atas ala Bung Karno, dengan kata-kata "Hidupku untuk rakyatku." Saya tidak bisa menahan geli melihatnya.
BalasHapusBeberapa hari kemudian spanduk itu diganti, foto orang itu tidak lagi menunjuk ala bung karno tetapi mengepalkan tangan. Ada-ada saja memang
Dipikir2, masyarakat Indonesia, baik politisinya maupun rakyatnya, mayoritas mungkin memang belum siap untuk berpolitik dan berdemokrasi "yang benar" dan banyak hal2 yang aneh dan lucu.... Biasalah, kalo mateng dikarbit ....
BalasHapus