Jumat, 27 Maret 2009

Selamatkan bumi kita

Week end yang lalu, saya pergi ke Bandung. Adik saya mengajak untuk melihat bidang-bidang tanah yang akan dijual. Memang, saya berencana mencari sebidang tanah untuk tempat tinggal setelah pensiun kelak. Kami memutuskan untuk 'menjauh' dari Jakarta yang pengap dan sesak. Selain itu, harga tanah di Jakarta sudah sangat tidak masuk akal dan jujur saja tabungan kami sangat jauh dari mencukupi untuk membeli rumah yang nyaman di Jakarta.

Pilihan pertama jatuh ke Bandung. Di kota ini ada dua adik saya yang tinggal di salah satu komplek perumahan yang sama. Semula terbersit keinginan membeli rumah di komplek yang sama pula, tapi ternyata harga tanahnya sudah di atas dua juta rupiah per meter persegi. Jadi niat tersebut mesti dikubur dalam-dalam.

Berburu tanah untuk perumahan di wilayah perkotaan memang gampang-gampang susah. Bahkan hingga di pelosok dan di ujung dunia sekalipun (maksudnya di puncak bukit). Orang kota yang kaya sudah merambah sampai ke ujung dunia tadi.Itu sebabnya, saat adik saya menawarkan untuk melihat bidang tanah yang harganya relatif masih terjangkau (padahal sudah 600 ribu/sqm), saya menyanggupi untuk datang ke Bandung.

"Tanahnya bagus.... sudah ada jalan tanah. Kami sudah mengeceknya di BPN. Lokasi ini adalah wilayah pengembangan kota Bandung ke arah timur, yaitu Arcamanik. Harganya juga relatif murah karena harga tanah di sekitarnya sudah mencapai 700 s/d 1 juta" begitu promosi gencar adik saya.
"Banjir, nggak?"
"Nggak.... udah ditanyain"
"Lingkungannya bagaimana?" tanya saya lagi. Jujur, saya betul-betul nggak kenal Bandung. Bandung yang saya kenal cuma sebatas dari toll gate ke rumah adik saya. Itu sebabnya pada ke dua adik saya, wanti-wanti saya pesankan untuk cari rumah dekat exit toll, kalau mau dikunjungi keluarga besar kami yang sebagian besar tinggal di Jakarta.
"Tanahnya masih berbentuk sawah, tapi disekitarnya sudah banyak dibangun rumah-rumah mewah. Lokasi rencana jalan-jalannya sudah terpetakan dengan jelas. Di lapangan, tanah-tanah sudah dibagi menjadi petak-petak kavling. Ada patok-patok yang sangat jelas. Seperti itu juga yang terpetakan pada RUTK Bandung". Begitulah asal muasal mengapa saya ke Bandung minggu lalu.

Singkat kata, setelah menempuh perjalanan di bawah guyuran hujan deras, kami tiba dengan selamat di Bandung. Agak kurang menyenangkan juga tiba di rumahnya, karena ternyata ipar saya dan anak lelakinya sedang kena serangan DB. Untung si ibu merangkap jabatan sebagai dokter spesialis anak. Jadi tahu apa yang harus dilakukan dan batas-batasnya.

Kunjungan melihat tanah baru dilakukan pada minggu pagi setelah pulang dari pasar. Kami menyusuri jalan kecil menuju arah arcamanik dari jalan Sukarno Hatta. Di sepanjang jalan banyak dibangun komplek perumahan kecil di atas tanah seluas kurang dari 1ha yang kesemuanya terlihat dibangun di atas lahan bekas persawahan yang ditimbun. Setelah melewati beberapa perumahan tersebut akhirnya kami berbelok masuk ke sebuah jalan beraspal yang makin ke dalam berubah menjadi jalan tanah yang sudah diperkeras.

Akhirnya adik saya menunjuk tiga bidang tanah berdampingan, masing-masing seluas 250 m2. yang diapit oleh dua buah rumah cukup mewah. Di sekitar lokasi sudah berdiri beberapa rumah mewah di atas tanah rata-rata seluas 500 m2 yang bertebaran di areal ....... persawahan. Ini betul-betul persawahan, karena di atas tanah kosong tersebut masih tumbuh bulir-bulir padi. Ada yang masih hijau tetapi banyak juga yang mulai menguning. Jujur saja.... keinginan saya untuk memiliki sebidang tanah di Bandung langsung menguap begitu saja.

Bagaimana mungkin saya memenangkan ego untuk memiliki sebidang tanah untuk dibangun rumah sementara karenanya sebidang sawah yang subur menghilang. Kalau seluruh petak persawahan subur di bumi Parahyangan menjelma menjadi lahan perumahan, darimana anak-cucu kita kelak mendapat beras untuk ditanak....? (sayup-sayup terdengar jawaban...... impor dari Vietnam.....!!!).

Duh.... andaikan konversi lahan subur pertanian menjadi pemukiman, di Jawa dan Sumatera, terus berlangsung sementara pencetakan sawah baru selalu terkendala baik teknis maupun biaya. Belum lagi kalau dananya masih digerogoti tikus......???

Pusing ......!!!!

9 komentar:

  1. Ini yang sering ada dipikiranku mbak. Manusia tambah banyak di Indonesia, tapi sawah malah makin ciut...Sementara rumah makin mahal dan gaji fresh graduate ngga seimbang dengan jumlah cicilan KPR....Hik...generasi anakku gimana nanti ya?

    BalasHapus
  2. apalagi saya mbak. nggak mampu deh beli tanah di jakarta. nyicil tipe 21 aja ngeri, harganya 150-400 juta. sementara status pekerja lepas. mau pindah ke daerah, apa ada kerjaan di daerah? liat tanah di gunung di bogor, jadi merasa bersalah menrusak alam....

    BalasHapus
  3. wah sawah juga dijual.. beli saja mbak.. ntar jadi petani sekalian.. biar ada yang piara sawah.. toh kalu emang dijual yang beli mo bangun gedung gimana? apalagi hotel? mending kalu yang beli sadar bisa pensiun sambil nyangkul.. asik kan..

    BalasHapus
  4. Memiliki tanah dan rumah sendiri... sepertinya memang menjadi cita2 yang mewah... sementara yang di HK dan Macau sini.. mulai berpikir bagaimana hidup dalam tumpukan apartmemen tapi tetap nyaman... lingkungan diperbaiki mutunya... mutu air, tanah dan udara... mereka menuju ke arah ini karena tahu kalo semua orang berpikir untuk punya tanah dan rumah sendiri akibatnya bumi makin penuh sama rumah2.... beruntunglah di Indonesia masih memungkinkan punya tanah dan rumah... tapi kalo tidak terkendali... akan amat gawat.... Bali dan Lombok... kalo nggak hati2 juga bakal penuh sesak sama rumah2 yang menghabiskan hijaunya sawah di sana.... duh... ikutan pusing...

    BalasHapus
  5. andaikan kita mau melepaskan keinginan untuk memiliki rumah, cukup sewa seperlunya aja, toh hidup juga cuma sementara lewat dan mati nggak perlu bawa rumah, mungkin kita gak perlu pusing

    BalasHapus
  6. gak perlu beli... sewa aja... Jadi nggak pusing

    BalasHapus
  7. maunya begitu Tin.. Tapi harganya terlalu mahal untuk ukuran kantong saya dan lagipula, ini sawah lokasinya sdh jadi di perkotaan dan peruntukkannya sudah berubah jadi perumahan. Ini yang bikin saya sedih banget. Memang sih, walaupun saya nggak jadi beli, nggak akan merubah nasib tu sawah.

    BalasHapus
  8. kelihatannya ini yang terjadi, apalagi karena pembangunan di Indonesia sangat tidak merata.

    BalasHapus
  9. lama2 kita tak punya sawah deh.. sawah eyang di jepara masih ada tuh mbak.. anak2nya eyang sudah disumpah tuh tak boleh menjual tanah.. harus tanam padi.. hebat patuh semua.. yang mau pindah dari jepara tak boleh jual tanah, kasih ke sodara buat dipiara..
    kog sekarang orang lebih suka bikin rumah ya daripada nanam padi..

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...