Rabu, 22 Juli 2009

Andai INDONESIA di EMBARGO

Tanggal 17 Juli 2009, hari Jum'at yang dianggap suci oleh umat Islam, penduduk Jakarta dan bahkan hingga berbagai penjuru dunia dikejutkan oleh ledakan bom.

Jum'at pagi, saat biasanya umat Islam mempersiapkan diri untuk membersihkan hati dan pikiran karena sebentar siang akan menunaikan shalat berjamaah dan ketika para eksekutif tertinggi berbagai perusahaan multinasional khususnya bidang pertambangan, berkumpul memperbincangkan, mungkin, situasi politik dan proyeksi bisnis dan ekonomi mereka di Indonesia pasca pilpres yang walau penuh dengan "kecurangan" konon berlangsung dengan aman dan tenteram.

Mengapa harus petinggi perusahaan bidang pertambangan..? Konon, karena umumnya pucuk pimpinan perusahaan bidang pertambangan umumnya masih dijabat oleh orang asing. IAdi bayangkan, kalau mereka menjadi target pengeboman, maka gaungnya akan keras terdengar di seluruh pelosok dunia. Tujuan pengeboman untuk menarik perhatian dunia kepada tuntutan dan atau tujuan dari pengeboman itu berhasil dengan baik.

Bidang Pertambangan, walaupun beresiko tinggi dan padat modal, tetapi juga disukai karena memberikan keuntungan yang luar biasa besarnya bagi pemainnya yang pada umumnya perusahaan-perusahaan multinasional. Sebut saja misalnya Freeport, yang
menjadi kaya raya dan kemudian menggurita setelah berkecimpung di bidang pertambangan. Resiko-resiko yang dihadapi para pemain bidang pertambangan bukan saja dari segi bisnisnya, yang tentunya sudah "sangat terukur" tetapi juga sangat rentan menghadapi resiko di nasionalisasi oleh negara tempat perusahaan tersebut melakukan eksploitasi. Kalau terjadi hal demikian, maka sudah terbayanglah berapa besar kerugian yang harus ditanggung. Jadi... memang tidak mengejutkan bilamana perusahaan-perusahaan multinasional akan mencermati kondisi politik dan keamanan dalam negeri. Kita jangan lupa bahwa country risk index negara kita dimana pebisnis asing sangat tinggi.

Ledakan bom di pagi hari yang suci itu, bukan hanya satu tetapi dua kali ledakan di dua tempat berbeda tetapi seolah ditujukan pada target yang sama. Simbol "dominasi kekuasaan bisnis (Yahudi) Amerika". Dua buah hotel yang letaknya hanya sepelemparan batu, yang dimiliki oleh pengusaha Indonesia etnis Cina dan memiliki merek dagang Amerika. Bukan hanya sekedar merek dagang Amerika, tetapi lebih jauh lagi... merek dagang Amerika yang menunjukkan KELAS yang sangat EXCLUSSIVE. JW Marriot dan Ritz Carlton.

Ada banyak paduan "pembenaran" tindakan pengeboman yang  membuat para ekstrimis, pejuang melawan kemiskinan dan lingkungan melampiaskan "kemarahannya" dan menjadikan kedua merek dagang tersebut sebagai target. Ini bukan masalah lagi sekedar masalah keamanan semata... sudah terlalu kompleks untuk dimengerti dan dicerna oleh masyarakat awam.

Namun yang tidak bisa dimengerti adalah, mengapa "Barat" langsung menerbitkan "travel warning" ke Indonesia? Sepertinya Indonesia hanya seluas Jakarta. Padahal... Indonesia jauh lebih luas dari hampir seluruh negara Eropa dan Amerika Selatan. Jadi, jangankan berdampak kepada keamanan propinsi lain, bahkan untuk propinsi yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta saja, tidak akan terpengaruh.

Entah apa yang ada dibalik travel warning kepada Indonesia tersebut. Tekanan Ekonomikah atau tekanan politik? Bukankan presiden terpilih Indonesia  adalah presiden "yang direstui" oleh negara-negara kapitalis? Bukankah jajaran menterinya juga memilik paham kapitalis yang dalam berbagai kebijakan ekonomi/politik maupun keamanan, terbukti lebih memperhatikan dampaknya pada sektor keuangan non riel (pasar modal, perbankan dll), ketimbang sektor riel? 

Atau bisa jadi karena Indonesia dianggap sebagai "negara kecil" yaitu negara yang dalam percaturan politik dunia "tidak dianggap" sehingga "tidak dibutuhkan" untuk didengarkan suaranya. Indonesia hanya dibutuhkan sebagai sumber untuk "menggelembungkan pundi-pundi" negara Barat, melalui cengkeraman perusahaan multinasional.

Mind set para cerdik cendekia Indonesia yang pro rakyat dan mandiri a la Soekarno dengan slogan Vivere Peri Coloso sudah di cuci bersih dan diganti oleh paradigma pertumbuhan-pertumbuhan semu berdasarkan statistik ala Amerika berupa PDB, tingkat pertumbuhan dan lain-lain yang dirancang oleh para Economic Hit Man pada era Suharto dan tentu saja.... pengaruhnya masih terasa hingga kini.

Mengapa?
Berbeda dengan Suharto yang membabat habis pengaruh Sukarno dengan cara menghabisi para Sukarnois secara langsung maupun tak langsung, maka pasca Suharto, justru para pengikut Suharto masih bercokol dan malah makin mencengkeram. Tidak itu saja... generasi penerus yang lahir pada dekade pasca 66 pun belum bisa melepaskan diri dari perilaku dan jeratan EHM. Maka... sudah bisa diduga, Indonesia masih akan "terjajah", minimal segala kebijakan dalam negeri masih akan "didikte" oleh kemauan dan kepentingan investor asing

Andai saja dampak terburuk dari pengeboman di JW Marriots dan Ritz Carlton membuat Indonesia terkucilkan dr pergaulan internasional, mungkin inilah momentum yang sangat baik agar INDONESIA kembali menjadi BERDIKARI.

Selama ini potensi sumber daya alam & manusia/intelektual kita tidak dimanfaatkan dengan baik. Kita lebih suka menjual raw material daripada berpayah-payah membangun industri agar sumber alam/mineral Indonesia memiliki value added yg tinggi ....

Sebagian besar rakyat Indonesia sudah terbiasa hidup prihatin jadi negara dikenakan embargo atau tidak, kehidupan mereka relatif stabil ... tidak akan menjadi bertambah miskin secara drastis karena mereka memang sudah tidak memiliki apa-apa sejak awal. Yang menjadi problem justru kelas menengah dan atas yang jumlahnya "tidak seberapa" besar tetapi sangat lantang "berkoar-koar" dan tentu saja mereka tidak bisa menerima saat "kehilangan kenyamanan".

Yang sangat kaya raya, bukan tidak mungkin akan mencari suaka politik... mengungsi keluar negeri dan hal ini pasti akan sangat mudah dilakukan karena saat inipun mereka sudah memiliki property (apartemen atau rumah) di luar negeri, minimal di Singapura. Tapi... andaikan hal itu terjadi, TERJADIlah.... Mungkin itu akan menjadi seperti Iran ditinggalkan para cerdik cendekia dan para konglomeratnya saat Shah dilengserkan oleh para mullah.

Atau seperti boat people, saat Vietcong memenangkan perang gerilyanya melawan USA atau bahkan seperti para pengusaha kaya raya dari Phillipines pasca jatuhnya Marcos. Bisa jadi, ketiadaan mereka malah akan membangkitkan kembali gairah masyarakat untuk bangkit, karena jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin telah lengap. Hanya ada persamaan nasib yang mungkin bisa melahirkan sinergi untuk bangkit dan rasa guyub dan kebersamaan akan timbul kembali.

Eh... eh... kok jadi terlalu jauh mikirnya...?

2 komentar:

  1. mbak, ya gak mungkin dong mbak kalau indonesia berdikari hidup mandiri, bagaimanapun pasti ada hubungan interdepensi antar negara, kalau gak ya mbak lina gak bisa dolan jalan-jalan menikmati eropa. Karena gak boleh pakai kapal terbang asing...hueh hueh hueh...

    BalasHapus
  2. mbak Julia betul bahwa ada interdependensi antar negara, tapi idealnya hubungan ini harus berlangsung sederajat. Selama ini pemerintah Indonesia selalu berada "di bawah tekanan", tidak "berani" atau mungkin tidak mampu berdiri "sejajar".

    Harusnya sumber daya alam/mineral kita yg melimpah ruah ini bisa jadi "senjata" memperkuat posisi tawar kita saat terjadi negosiasi, namun kenyataannya tidak begitu. Ada banyak alasan yg menyebabkan saya "sebal" dengan kondisi ini yang tidak bs ditulis pada domain publik dan setiap perjalanan "keluar" selalu menambah keprihatinan.

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...