Nggak tahu mesti nulis apa, kali ini. Mau nulis komentar tentang carut marut hukum di Indonesia, sudah terlalu banyak yang ngomong. Sampai bosan dengar di TV, radio dan dimana saja kita ketemu teman. Kalau masih nekat juga nulis, nanti “dimarahi” Tintin…. hehehe….
Tumben dia ngomel!!! Biasanya orang seperti dia, akan mudah “tersentuh” hal-hal yang terasa tidak adil dan menyakiti rakyat kecil. Mungkin kali ini dia sudah muak dengan “kebebalan” para aparat penegak hukum yang sudah terbutakan mata hati nuraninya. Bagaimana tidak, kalau orang yang mencuri 3 buah coklat, makan 1 buah semangka dan hal-hal yang remeh temeh saja sudah kena bui 1–3 bulan. Sementara yang ngemplang duit negara milyaran bahkan trilyunan malah merasa aman melanglang buana di luar negeri dari hotel ke hotel atau bahkan bisa jadi sedang menikmati rumah dan apartemen mewah nya di daerah elite manca negara. Jadi… sekarang, kita nggosip aja ya… Kan perempuan suka gossip.
Bulan Desember ini rupanya jadi pilihan banyak orang untuk menikah. Bulan baik kalau buat muslim …., karena bertepatan dengan bulan pelaksanaan ibadah haji dan awal tahun baru, yaitu bulan Muharam yang dimulai pada tanggal 18 Desember yang akan datang.
Salah satu rekan kantor (boleh juga dibilang anak, kali ya… karena umurnya nggak jauh beda dengan anak sulungku) yang beragama Katholik akan menikah pada tanggal 18 Desember yang akan datang dan sementara keponakan suamiku (muslim) akan menikah pada tanggal 25 Desember (akad nikah) dan resepsinya diselenggarakan pada keesokan harinya. Lucu aja melihat koinsiden tersebut. Yang beragama katholik menikah pada saat umat Islam merayakan tahun baru hijrah sedangkan yang muslim menikah saat para kristiani merayakan Natal. Eh tapi, bukan hal itu yang jadi sorotanku.
Menikah sepertinya dan memang sudah seharusnya menjadi tujuan hubungan dua orang manusia yang berlainan jenis kelamin …., gimana enggak, wong yang berjenis kelamin sama aja berniat mengikatkan hubungan sejenisnya melalui lembaga pernikahan kok! Jadi…, pantas saja kalau suatu hubungan kasih sayang yang serius di antara dua orang manusia akan bermuara dalam sebuah lembaga pernikahan. Namun yang seringkali dilupakan adalah… bahwa pernikahan bukanlah sebuah akhir dan tujuan dari sebuah hubungan kasih sayang tetapi justru awal dari kehidupan yang sebenarnya.
Kalau mau diibaratkan seperti sekolah/kuliah… katakanlah saat pernikahan itu seperti saat wisuda. Senang sekali karena tujuan/akhir perjuangan panjang selama sekolah sudah tercapai. Begitu juga dengan pernikahan…, perjalanan panjang selama “pacaran” sudah mencapai garis finish, dengan menikah. Kenyataannya, setelah wisuda dan pernikahan, kita malah menghadapi realita kehidupan yang sebenarnya. Kalau selesai sekolah kita masuk ke dunia nyata untuk bekerja secara mandiri, menghidupi diri dari “kemampuan” diri sendiri, begitu juga dengan pernikahan.
Kita “melepaskan diri” dari “lindungan kenyamanan sebuah sarang” bernama keluarga dan membentuk sarang baru dengan anggota yang baru, yaitu istri untuk kemudian berkembang biak dengan anak-anak yang akan lahir.Menurut saya, ada persamaan dengan bekerja dengan perjalanan pernikahan. Bahwa perusahaan tempat kita bekerja dan para pekerjanya selalu berharap berkembang ke arah yang lebih baik, sehingga si pekerja bisa memperoleh posisi dan penghasilan yang lebih baik dari tahun ke tahun. Kalau salah satunya tidak terpenuhi, maka keduanya bisa jadi akan “berpisah jalan”.
Kalau jalannya perusahaan tidak baik, maka perusahaan mungkin akan mem PHK kan karyawannya. Begitu juga bila si karyawan lama-kelamaan merasa perusahaan tempatnya bekerja tidak lagi memenuhi harapannya, maka dia akan mulai “berselingkuh”, melirik kesempatan kerja di tempat lain untuk kemudian meninggalkan perusahaan tersebut untuk pindah ke perusahaan yang baru itu pada waktunya.
Ini untuk karyawan yang punya potensi baik dan “mampu” bersaing di dunia kerja. Kalau karyawan yang kemampuannya “terbatas” dengan lagak sebagai loyalis dia akan tetap bertahan. Tapi bukan tanpa protes. Protesnya justru lebih “berbahaya” karena makin membebani dan merugikan perusahaan. Dia tidak lagi bekerja dengan baik, malah mencuri-curi waktu untuk cari kerja sampingan dan lain-lain sementara perusahaan mungkin tidak sadar. Atau kalaupun sadar, tapi tidak “mampu” mem PHK karena kewajiban membayar pesangon.
Itu sebabnya perusahaan yang baik selalu me “refresh” karyawannya, memberi “makanan” rohani berupa fasilitas pelatihan, liburan, jabatan dan lain-lain, termasuk juga memberi makanan jasmani berupa fasilitas kendaraan, gaji besar, bonus dan lain sebagainya
Tidak berbeda dengan dunia kerja, sebetulnya kehidupan rumah tangga juga selalu dinamis. Kalau pada awal pernikahan, tinggal sekamar di rumah mertua sudah sangat indah, pulang kantor kehujanan naik motor, makan di warung pinggir jalan sepiring berdua begitu indahnya. Namun keindahan itu juga terus berevolusi.
Pasangan bisa jadi tidak lagi puas dengan kamar kecil di rumah orang tua dan ingin memiliki rumah, walau (relatif) kecil . Motor tidak lagi cukup bergengsi sebagai kendaraan sehari-hari dan mulai membutuhkan mobil, dan kemudian membelinya walau mobil bekas. Makan tidak lagi cukup di warung, tetapi harus sudah mulai beralih ke café atau resto bergengsi, untuk menyesuaikan posisi di kantor yang mulai meningkat dengan alasan memperluas network.
Itulah “tanda-tanda” perubahan dan peningkatan kebutuhan jiwa dan raga manusia yang kemudian salah kaprah menjadi life style pasangan muda terutama yang hidup di kota-kota besar dan berpendidikan tinggi lulusan luar negeri.
Sama seperti di perusahaan, pasangan mungkin perlu me “refresh” kembali perasaan, tujuan hidup dan mengevaluasi dan menyamakan kembali persepsi terhadap esensi ikatan perkawinannya. Seiring perjalanan waktu, “greget” perasaan terhadap pasangan hidup mungkin sudah berubah. Bukan karena tidak ada perasaan cinta/kasih sayang, tetapi “sebuah kebiasaan merasa sudah memiliki, seatap dan seranjang” selama bertahun–tahun membuat pasangan suami istri “meremehkan” perasaan satu sama lainnya.
Kita tidak tahu lagi kemana perasaan pasangan hidup kita mengembara, karena memang perasaan dan pikiran bisa mengembara tanpa batas dan tanpa bisa dikekang oleh siapapun kecuali atas kesadaran dan kendali diri yang bersangkutan.Ketidaksamaan visi dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, pola pengasuhan anak maupun hubungan kekeluargaan dengan keluarga besar pasangan kerap kali memicu pertengkaran kecil yang bila tidak dikelola dan dikendalikan secara bijak akan menjadi gunung es yang mampu mengkaramkan bahtera rumah tangga setiap saat kita lengah.
Kalau ketidakpuasan dalam pekerjaan mudah diselesaikan dengan cara mencari tempat kerja baru, maka apakah akan kita perlakukan bahtera rumah tangga seperti kita meninggalkan perusahaan tempat kita bekerja, “berselingkuh” untuk kemudian melabuhkan bahtera di sandaran dermaga baru?Jawabnya tentu TIDAK.
Menyelesaikan masalah dalam sebuah ikatan pernikahan tentu tidak semudah seperti kita pindah kerja. Stake holder dalam sebuah pernikahan bukan hanya pasangan tetapi juga ada anak–anak yang terlahir. Itu kalau kita mengenyampingkan keluarga besar dari ke dua belah pihak.
Anak merupakan tanggung jawab orangtua bukan hanya secara materi tetapi juga dalah hal pendidikan jasmani dan rohani. Adalah tanggung jawab orangtua juga untuk “mendidik” mereka dalam memecahkan berbagai masalah sepanjang hidup karena anak sebetulnya merupakan “imitator” sempurna dari perilaku orangtua.
Orangtua yang “menggampangkan” segala sesuatu secara tidak sadar telah mengajarkan perilaku tersebut kepada anak–anaknya. Tetapi mempersulit hal yang mudah atau menunda–nunda penyelesaian masalah juga bukanlah contoh yang baik bagi anak.
Week end yang baru lalu, saya membaca artikel di suatu majalah bahwa anak–anak yang lahir dari keluarga kecil dan telah terbiasa hidup dalam kecukupan dan segala kemauannya terpenuhi dengan mudah, cenderung memutuskan segala sesuatu tanpa pertimbangan yang dalam. Karena mereka terbiasa hidup senang, sehingga kadar tenggang rasa terhadap oranglain cenderung tipis Ini tentu berbeda dengan anak yang terlahir dari keluarga besar yang selalu berbagi dengan kakak atau adik. Mereka telah terlatih sejak dini untuk berbagi dan bertenggang rasa. Tapi hal ini hanya merupakan salah satu faktor saja. Komunikasi yang terus menerus harus tetap dijaga.
Bagi saya, hal yang terpenting untuk diingat setiap pasangan adalah … melihat kelebihan pasangan kita dan melupakan kekurangannya, karena kita sendiri juga penuh dengan kekurangan yang harus “ditelan dan diterima” oleh pasangan.
Tumben dia ngomel!!! Biasanya orang seperti dia, akan mudah “tersentuh” hal-hal yang terasa tidak adil dan menyakiti rakyat kecil. Mungkin kali ini dia sudah muak dengan “kebebalan” para aparat penegak hukum yang sudah terbutakan mata hati nuraninya. Bagaimana tidak, kalau orang yang mencuri 3 buah coklat, makan 1 buah semangka dan hal-hal yang remeh temeh saja sudah kena bui 1–3 bulan. Sementara yang ngemplang duit negara milyaran bahkan trilyunan malah merasa aman melanglang buana di luar negeri dari hotel ke hotel atau bahkan bisa jadi sedang menikmati rumah dan apartemen mewah nya di daerah elite manca negara. Jadi… sekarang, kita nggosip aja ya… Kan perempuan suka gossip.
Bulan Desember ini rupanya jadi pilihan banyak orang untuk menikah. Bulan baik kalau buat muslim …., karena bertepatan dengan bulan pelaksanaan ibadah haji dan awal tahun baru, yaitu bulan Muharam yang dimulai pada tanggal 18 Desember yang akan datang.
Salah satu rekan kantor (boleh juga dibilang anak, kali ya… karena umurnya nggak jauh beda dengan anak sulungku) yang beragama Katholik akan menikah pada tanggal 18 Desember yang akan datang dan sementara keponakan suamiku (muslim) akan menikah pada tanggal 25 Desember (akad nikah) dan resepsinya diselenggarakan pada keesokan harinya. Lucu aja melihat koinsiden tersebut. Yang beragama katholik menikah pada saat umat Islam merayakan tahun baru hijrah sedangkan yang muslim menikah saat para kristiani merayakan Natal. Eh tapi, bukan hal itu yang jadi sorotanku.
Menikah sepertinya dan memang sudah seharusnya menjadi tujuan hubungan dua orang manusia yang berlainan jenis kelamin …., gimana enggak, wong yang berjenis kelamin sama aja berniat mengikatkan hubungan sejenisnya melalui lembaga pernikahan kok! Jadi…, pantas saja kalau suatu hubungan kasih sayang yang serius di antara dua orang manusia akan bermuara dalam sebuah lembaga pernikahan. Namun yang seringkali dilupakan adalah… bahwa pernikahan bukanlah sebuah akhir dan tujuan dari sebuah hubungan kasih sayang tetapi justru awal dari kehidupan yang sebenarnya.
Kalau mau diibaratkan seperti sekolah/kuliah… katakanlah saat pernikahan itu seperti saat wisuda. Senang sekali karena tujuan/akhir perjuangan panjang selama sekolah sudah tercapai. Begitu juga dengan pernikahan…, perjalanan panjang selama “pacaran” sudah mencapai garis finish, dengan menikah. Kenyataannya, setelah wisuda dan pernikahan, kita malah menghadapi realita kehidupan yang sebenarnya. Kalau selesai sekolah kita masuk ke dunia nyata untuk bekerja secara mandiri, menghidupi diri dari “kemampuan” diri sendiri, begitu juga dengan pernikahan.
Kita “melepaskan diri” dari “lindungan kenyamanan sebuah sarang” bernama keluarga dan membentuk sarang baru dengan anggota yang baru, yaitu istri untuk kemudian berkembang biak dengan anak-anak yang akan lahir.Menurut saya, ada persamaan dengan bekerja dengan perjalanan pernikahan. Bahwa perusahaan tempat kita bekerja dan para pekerjanya selalu berharap berkembang ke arah yang lebih baik, sehingga si pekerja bisa memperoleh posisi dan penghasilan yang lebih baik dari tahun ke tahun. Kalau salah satunya tidak terpenuhi, maka keduanya bisa jadi akan “berpisah jalan”.
Kalau jalannya perusahaan tidak baik, maka perusahaan mungkin akan mem PHK kan karyawannya. Begitu juga bila si karyawan lama-kelamaan merasa perusahaan tempatnya bekerja tidak lagi memenuhi harapannya, maka dia akan mulai “berselingkuh”, melirik kesempatan kerja di tempat lain untuk kemudian meninggalkan perusahaan tersebut untuk pindah ke perusahaan yang baru itu pada waktunya.
Ini untuk karyawan yang punya potensi baik dan “mampu” bersaing di dunia kerja. Kalau karyawan yang kemampuannya “terbatas” dengan lagak sebagai loyalis dia akan tetap bertahan. Tapi bukan tanpa protes. Protesnya justru lebih “berbahaya” karena makin membebani dan merugikan perusahaan. Dia tidak lagi bekerja dengan baik, malah mencuri-curi waktu untuk cari kerja sampingan dan lain-lain sementara perusahaan mungkin tidak sadar. Atau kalaupun sadar, tapi tidak “mampu” mem PHK karena kewajiban membayar pesangon.
Itu sebabnya perusahaan yang baik selalu me “refresh” karyawannya, memberi “makanan” rohani berupa fasilitas pelatihan, liburan, jabatan dan lain-lain, termasuk juga memberi makanan jasmani berupa fasilitas kendaraan, gaji besar, bonus dan lain sebagainya
Tidak berbeda dengan dunia kerja, sebetulnya kehidupan rumah tangga juga selalu dinamis. Kalau pada awal pernikahan, tinggal sekamar di rumah mertua sudah sangat indah, pulang kantor kehujanan naik motor, makan di warung pinggir jalan sepiring berdua begitu indahnya. Namun keindahan itu juga terus berevolusi.
Pasangan bisa jadi tidak lagi puas dengan kamar kecil di rumah orang tua dan ingin memiliki rumah, walau (relatif) kecil . Motor tidak lagi cukup bergengsi sebagai kendaraan sehari-hari dan mulai membutuhkan mobil, dan kemudian membelinya walau mobil bekas. Makan tidak lagi cukup di warung, tetapi harus sudah mulai beralih ke café atau resto bergengsi, untuk menyesuaikan posisi di kantor yang mulai meningkat dengan alasan memperluas network.
Itulah “tanda-tanda” perubahan dan peningkatan kebutuhan jiwa dan raga manusia yang kemudian salah kaprah menjadi life style pasangan muda terutama yang hidup di kota-kota besar dan berpendidikan tinggi lulusan luar negeri.
Sama seperti di perusahaan, pasangan mungkin perlu me “refresh” kembali perasaan, tujuan hidup dan mengevaluasi dan menyamakan kembali persepsi terhadap esensi ikatan perkawinannya. Seiring perjalanan waktu, “greget” perasaan terhadap pasangan hidup mungkin sudah berubah. Bukan karena tidak ada perasaan cinta/kasih sayang, tetapi “sebuah kebiasaan merasa sudah memiliki, seatap dan seranjang” selama bertahun–tahun membuat pasangan suami istri “meremehkan” perasaan satu sama lainnya.
Kita tidak tahu lagi kemana perasaan pasangan hidup kita mengembara, karena memang perasaan dan pikiran bisa mengembara tanpa batas dan tanpa bisa dikekang oleh siapapun kecuali atas kesadaran dan kendali diri yang bersangkutan.Ketidaksamaan visi dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, pola pengasuhan anak maupun hubungan kekeluargaan dengan keluarga besar pasangan kerap kali memicu pertengkaran kecil yang bila tidak dikelola dan dikendalikan secara bijak akan menjadi gunung es yang mampu mengkaramkan bahtera rumah tangga setiap saat kita lengah.
Kalau ketidakpuasan dalam pekerjaan mudah diselesaikan dengan cara mencari tempat kerja baru, maka apakah akan kita perlakukan bahtera rumah tangga seperti kita meninggalkan perusahaan tempat kita bekerja, “berselingkuh” untuk kemudian melabuhkan bahtera di sandaran dermaga baru?Jawabnya tentu TIDAK.
Menyelesaikan masalah dalam sebuah ikatan pernikahan tentu tidak semudah seperti kita pindah kerja. Stake holder dalam sebuah pernikahan bukan hanya pasangan tetapi juga ada anak–anak yang terlahir. Itu kalau kita mengenyampingkan keluarga besar dari ke dua belah pihak.
Anak merupakan tanggung jawab orangtua bukan hanya secara materi tetapi juga dalah hal pendidikan jasmani dan rohani. Adalah tanggung jawab orangtua juga untuk “mendidik” mereka dalam memecahkan berbagai masalah sepanjang hidup karena anak sebetulnya merupakan “imitator” sempurna dari perilaku orangtua.
Orangtua yang “menggampangkan” segala sesuatu secara tidak sadar telah mengajarkan perilaku tersebut kepada anak–anaknya. Tetapi mempersulit hal yang mudah atau menunda–nunda penyelesaian masalah juga bukanlah contoh yang baik bagi anak.
Week end yang baru lalu, saya membaca artikel di suatu majalah bahwa anak–anak yang lahir dari keluarga kecil dan telah terbiasa hidup dalam kecukupan dan segala kemauannya terpenuhi dengan mudah, cenderung memutuskan segala sesuatu tanpa pertimbangan yang dalam. Karena mereka terbiasa hidup senang, sehingga kadar tenggang rasa terhadap oranglain cenderung tipis Ini tentu berbeda dengan anak yang terlahir dari keluarga besar yang selalu berbagi dengan kakak atau adik. Mereka telah terlatih sejak dini untuk berbagi dan bertenggang rasa. Tapi hal ini hanya merupakan salah satu faktor saja. Komunikasi yang terus menerus harus tetap dijaga.
Bagi saya, hal yang terpenting untuk diingat setiap pasangan adalah … melihat kelebihan pasangan kita dan melupakan kekurangannya, karena kita sendiri juga penuh dengan kekurangan yang harus “ditelan dan diterima” oleh pasangan.
Ah mb lina, sy selalu suka tulisan mb. Tp nampaknya yg ini yg paling dalem deh. Sy baru se panjang galah jalannya. Soal artikel yg mb baca sy setuju sekali. Ibaratnya berlian kan tdk serta merta jd. Anak yg kuat jg bukan anak yg tdk pernah dpt tempaan. Dan anak yg trbiasa memperoleh begitu sy apa yg dimau tanpa perjuangan tentu tdk mndapat makna apapun dr tiap apa yg dia dptkan. Ah smg sj anak sy kelak kuat dgn tempaan2 dlm hidupnya.
BalasHapus