Senin, 05 April 2010

balada malam hari

Malam minggu di awal April, kebetulan long week end untuk merayakan Paskah. Jum'at pagi jam 08.00, tanpa terduga, bel rumah berdenting. Keponakanku seperti biasa datang. Hal ini sudah menjadi rutinitas kegiatan liburannya bila kami tidak berkunjung ke Bandung, tempatnya tinggal. Tidak heran ... saudara-saudaranya selalu berkomentar "anak kost" pulang kampung ... Padahal, dia tinggal dengan orangtuanya di Bandung.

Seperti biasa juga dia akan meminta kami mengajaknya jalan-jalan, walau tanpa tujuan. Jum'at malam, kami berempat menghabiskan waktu di Grand Indonesia. Ini kali pertama kali berkunjung ke Mall yang berlokasi di bunderan Hotel Indonesia. Mall besar super mewah yang lebih banyak dikunjungi golongan atas.

Tentu bukan karena kami termasuk golongan atas, sehingga Mall tersebut menjadi tujuan tempat makan malam, tapi karena tempat itu memang belum pernah didatangi dan pilihan tempat lainnya ditolak anak dan keponakanku. Mereka memang sudah lama ingin berkunjung ke Grand Indonesia.

Maka.... makanlah keluarga kecil dengan dua anak ini, di... entah lantai berapa. Tapi food areanya memang sangat nyaman dengan suasana pedestrian. Pilihannya nggak jauh-jauh dari mie/pasta dan kali ini pasta/mie campuran a la Jepun & Italiano. Nama restonya beraroma Jepun, namun sajian makanannya lebih mengarah ke selera Italiano. Jangan tanya berapa biayanya... tapi pasti lebih murah dari hidangan makan malam saat pernikahan Ardie Bakrie dan Nia Ramadhani yang digelar di Hotel Mulia - Jakarta. Usai makan, kami masih sempai masuk toko buku Gramedia baru pulang menjelang jam 22.00.

Bukan anak remaja tentunya kalau sudah puas dengan terpenuhinya hajat selera makan malam. Hari Sabtu, setelah sepanjang hari mereka menghabiskan waktu di rumah, sibuk dengan facebook dan twitternya, belum lagi turun isi makanan ke lambung... usai makan malam, mereka sudah ribut mengajak jalan keliling kota.

Setelah istirahat beberapa saat dan meminta mereka shalat Isya terlebih dahulu, maka pergilah kami berempat keluar rumah tanpa tujuan yang jelas.
"Sate Padang yang enak dimana ya?" tanya anak gadisku.
"Hmmm.... katanya sih, ada di Jalan Radio Dalam. Sate Mak Syukur. Konon sangat terkenal. Baru selesai makan malam kok sudah mau makan lagi?"
"Kan sudah disisakan ruang buat sate padang...!", begitu jawab mereka. Huh..... itu perut kok nggak meledak diisi terus ya? Ampun deh.... anak remaja jaman sekarang...!

"Ayolah....! Jadi kita belok ke Radio dalam?", tanyaku. Kebetulan posisi mobil masih di depan Blok M Plasa. Jadi masih bisa dibelokkan arah ke jalan Radio Dalam melalui jalan Kyai Maja.
"Nggak ah.... cari tempat yang lain...!"
Wah .... dimana ada penjual sate padang lagi?
"OK, kalau begitu kita jalan ke arah istana ... lalu masuk ke memutar arah ke patung pak tani. Nanti masuk ke jalan Kramat Raya. Nah di situ banyak warung masakan Padang a la Kapau. Semoga ada sate Padang. Kalau nggak ada, itu namanya bukan rejeki.

Maka ... ditemani dengan keributan-keributan kecil antara anak - keponakan dalam mencari pemancar radio, kami menyusuri jalan Sudirman -  MH Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - Juanda - Veteran - Merdeka Utara - Merdeka Timur - Patung pak tani - Kwitang..... Suami, entah karena menikmati perjalanan, atau malah agak mengantuk, mengendarai mobil perlahan sekali hingga akhirnya kami tiba di  jalan Kramat Raya.

Mobil dijalankan perlahan sambil melihat adakah penjual nasi Kapau yang juga menjual sate. oups...... untung ada satu warung ... dan ke sanalah kami turun dari kendaraan dan pergi memesan sate Padang dan juice alpukat.

Seperti biasa.... kalau sudah memutuskan untuk makan di warung pinggir jalan, jangan berharap akan menemukan kebersihan dan kenyamanan. Pikirkan saja rasa makanannya. Dan yang satu ini, .... dijamin hampir selalu enak. Kenapa....?

Warung pinggir jalan dimasak oleh tangan-tangan trampil "asli dari sononye" kata orang Betawi. Takaran bumbu-bumbunya diracik sesuai petuah dan ajaran orang tua2. Kalau suatu masakan harus mempunyai rasa pedas .... maka begitulah dia dimasak dengan banyak bumbu dan cabai giling.

Ini tentu berbeda dengan masakan tradisional a la resto terkenal, dimana bumbunya sudah dimodifikasi sesuai dengan "target market" nya. Maka masakan Padang bisa saja hanya "berani" warnanya ... tapi rasanya sudah "manis", supaya masyarakat non Sumatera Barat bisa turut menikmatinya. Persis seperti masakan di rumah. Kalau adik ibuku berkunjung dan makan di rumah, wajahnya selalu memberengut dan langsung pergi ke dapur mencari cabe sambil menggerutu....
"Masakan padang gaya mana lagi nih? Manis semua...". Begitu selalu komentarnya. Memang, cabe yang digunakan untuk masakan Padang di rumah sudah banyak dikurangi, supaya suamiku yang bukan berasal dari Sumbar bisa ikut menikmatinya.

Berbeda dengan sate mak Syukur yang berwarna kuning kunyit dan pedas nylekit atau sate Sederhana Lintau di Cinere yang kuahnya juga berwarna kuning tapi ada cacahan kacang, sate padang a la Kapau ini kuahnya agak kemerahan dan so pasti ... pedas. Apa boleh buatlah ..... Sudah kadung pesan...!

Ada persamaan makan di warung dengan resto/cafe yang nyaman. Di kedua tempat, kita bersantap ditemani musik. Bedanya.... musik di cafe/resto bunyinya lembut dengan ketukan irama yang teratur .... Penyanyinya anggun dan wangi. Sementara di warung pemusik silih berganti bernyanyi, dengan suara serak-serak tak sampai lebih sering fals dengan irama asal jadi yang keluar juga dari alat musik asal comot. Lagupun terkadang hanya satu atau dua bait. Tergantung kebaikan hati tamu yang sedang bersantap. Kalau si tamu bermurah hati mengulurkan selembar kertas, maka lagu bisa berhenti seketika atau bersambung.

Soal apakah lagu berhenti seketika atau bersambung itupun tergantung baik dari si tamu atau penyanyi. Kalau penyanyi bersuara nyaring menyakitkan kuping apalagi nyanyiannya fals, maka si tamu cepat-cepat mengeluarkan uang agar penyanyi segera menyingkir. Dengan demikian, selera makan tak patah karenanya. Tetapi kalau suara penyanyinya bagus dan iramanyapun benar... bisa jadi, si penyanyi diminta menyanyikan lagu lainnya dengan bayaran tentunya bertambah. Cuma sayang .... belum pernah terlihat penyanyi yang cantik/ganteng, bersih dan wangi

Berapa sih mereka dibayar....? Jangan bandingkan dengan Siti Nurhaliza atau KD yang bintangnya mulai meredup. Tapi tentu jauh kalah dengan bayaran Aris ... Indonesian's idol yang keblinger usai dia memenangkan kontes penyanyi a ala Amrik itu.

Begitulah.... mungkin karena merasa suamiku memberi "di atas tarif normal" .... (tapi ngomong-ngomong berapa sih tarif normal untuk pengamen?), maka pengamen silih berganti mengunjungi warung tempat kami makan... Walhasil.... makan menjadi tidak nikmat lagi karena...... di samping para pengamen, muncullah bocah-bocah dekil berumur kita-kira antara 3 sampai 8 tahun mengerubungi meja makan kami meminta uang....

Astaghfirullah ...... Hilang sudah selera makan ... Bagaimana mungkin kami menikmati makan malam dengan nyaman di hadapan muka-muka dekil itu. Bukan hanya satu orang, tetapi lebih dari 5 orang sehingga pemilik warung yang merasa "tidak enak" terhadap tamunya, lalu mengusir mereka. Beruntung, sate di piring sudah tandas dan kami memang sudah bersiap untuk beranjak meninggalkan warung.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Anak-anak usia sekolah berumur 3 sampai 10 tahun seringkali masih berkeliaran di jalan raya hingga larut malam. Meminta-minta uang dari pengendara mobil/motor di perempatan jalan atau di warung-warung kaki lima.

Anak-anak itu seharusnya sudah menikmati makan malamnya dan sedang lelap bermimpi. Namun mereka masih saja berkeliaran di jalan. Entah mengapa orangtua mereka membiarkan anak-anak itu berada di jalanan terpapar oleh kekerasan kehidupan malam. Atau justru anak-anak itu menjadi "alat" bagi orangtuanya untuk memperoleh nafkah keluarga?

Kemiskinan dan ketidakmampuan orangtua memang membuat anak-anak tidak mendapatkan haknya secara memadai. Hak mendapat perlindungan, sandang-pangan, pendidikan dan lain-lain. Sekolah gratis masih menjadi sebatas wacana, karena konon walaupun uang sekolah SPP sudah dihapuskan, tetapi tetap ada pungutan-pungutan untuk kegiatan sekolah lainnya serta baju seragam.

Betapa ironisnya... kala penyiar cantik di tv memberitakan kasus-kasus korupsi miliaran rupiah yang dilakukan oleh PNS - politisi - penguasa negara/daerah gede-termasuk juga para penegak hukum, hanya dalam radius 5km dari istana tempat presiden bermukim dan hanya sepelmparan batu dari komplek gedung megah Departemen Keuangan, belasan anak berumur 3 - 10 tahun mencari uang, menadahkan tangan-tangan lusuhnya pada pengunjung warung di sepanjang Kramat Raya.

Andai mereka suatu kali mau mengunjungi warung makan semacam ini secara incognito .... tanpa harus melakukan sterilisasi lokasi, tanpa pengawalan .... menjadi orang biasa ... Tentu para penguasa negeri serta para ahli yang jago analisa ekonomi tidak akan berani lagi menyatakan ...... Kemiskinan di Indonesia telah berkurang..... pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapai sekian persen, di atas rata-rata pertumbuhan di negara Asean ....

2 komentar:

  1. di kandang harimau mengaum, di kandang kambing mengembek, di kadang kuda nyengir aje :D
    dimana bumi di pijak di situ langit di junjung.

    BalasHapus
  2. udah mikir pasti mbak nulis ironi juga.. baca awal2 happy banget, ke grand indonesia gitu loh mbak, kog ya ga nonton air menari sih? eh baca lebih bawah lagi, buntut sate padang ke pengamen ke anak2 juga kekemiskinan.. :D tetep gayanya mbaklina..

    rata2 kasih pengamen tuh gopek saja mbak, paling banyak juga seribu rupiah deh..

    eh maksyukur di radal masih ada ya? jadi kangen pengen kesana..

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...