Sabtu, 31 Desember 2011

Anugerah Allah Yang tak Ternilai

Tulisan 1/5

Awal ceritanya


Kalau mengetahui bahwa kedua anak kami memiliki jarak yang cukup jauh, yaitu 15 tahun, banyak orang yang mengernyitkan dahi karena tidak percaya, Bahkan, ada juga yang diam-diam bertanya kepada orang lain, apakah anak kedua kami itu benar-benar anak kandung atau anak angkat.

Yah ... bisa dimengerti, karena jarak anak yang sedemikian jauh itu memang mengundang tanya. Apalagi, banyak yang tidak mengetahui saat-saat kehamilan dan kelahiran anak ke dua itu, kecuali beberapa teman-teman terdekat. Padahal, bagi orang yang mengenal kami sekeluarga, sama sekali tidak ada keraguan bahwa anak kedua itu memang anak kandung kami. Wajah gadis kecil ini betul-betul mirip dengan kakaknya tatkala kecil. Hanya beda jenis kelamin saja. Bahkan si adik selalu bingung saatmelihat photo kakaknya memakai pakaian jawa lengkap (berbelangkon), tetapi memiliki wajah yang sangat mirip dengannya.

Kesibukan hidup dan kemacetan yang luar biasa di Jakarta memang membuat hubungan sosial menjadi agak renggang. Kecuali bagi orang-orang penggemar clubbing yang selalu beredar setiap hari di tempat umum. Sementara ”orang rumahan” tidak lagi memiliki waktu yang luang untuk berhandai-handai dengan keluarga atau relasi karena kelelahan sehari-hari. Bahkan sekedar bertegur sapa dengan tetangga saja, sudah merupakan suatu karunia. Bagaimana mungkin kita punya waktu bertegur sapa dengan tetangga, bila pada pukul 5.30 sudah tergesa-gesa memacu kendaraan untuk mengantar anak sekolah sekaligus berangkat kantor. Sementara, sore hari, minimal jam 19.00 baru menginjakkan kaki kembali ke rumah dengan penuh kelelahan. Metro – Bulot – Dodo ... itu istilah yang banyak digunakan oleh les Parisiens (penduduk Paris) yang menyiratkan arti ... berkendaraan menuju kantor (metro = subway) – Bulot menyatakan bekerja dan dodo atau tidur. Dengan kondisi seperti itu, bisa dimengerti bahwa hubungan kekerabatan menjadi agak renggang terutama bila ditinjau dari jumlah/frekuensi pertemuan.

Kesibukan bekerja, juga memberikan dampak kepada kesehatan organ reproduksi manusia. Seorang kawan yang bekerja di suatu group media terkemuka, secara bergurau berkata bahwa, dia belum memperoleh anak karena pekerjaan di kantornya sangat menyita waktu. Penerbit media cetak memang secara langsung beroperasi selama 24 jam nonstop. (group tempatnya bekerja adalah kelompok usaha media cetak dan televisi). ”Tidak punya waktu yang leluasa untuk bercinta...” ujarnya terus terang yang ditimpali oleh satu rekannya; ” Jangankan bercinta ... salah-salah, para lelaki malah mengidap DE (disfungsi ereksi) karena stress bekerja”.

Di pihak lain. Stress juga memicu timbulnya endometriosis bagi perempuan yang akhirnya dapat mempengaruhi tingkat kesuburan. Stress memang menjadi salah satu pemicu terjadinya berbagai problem bagi pasangan suami istri dalam memperoleh anak. Kesibukan dan kelelahan yang luar biasa memang melanda kita yang hidup di kota besar.

Apakah stress juga yang menyebabkan kami sulit memperoleh anak kedua? Entahlah ... Kalau dilihat dari suasana yang ada pada saat kami memutuskan untuk memiliki anak ke dua itu, yaitu sekitar tahun 1986, alasan stress bisa jadi tidak valid. Kehidupan di Jakarta belumlah seheboh saat ini. Masih sangat tenang, kalaupun ada kemacetan, relatif masih dalam jangkauan toleransi kesabaran manusia. Saat kami pindah ke Bekasi tahun 1989, jarak dari rumah di Kemang Pratama – Bekasi ke kantor di bilangan Tebet, masih dapat ditempuh dalam waktu hanya 30 menit saja.

Jalan bebas hambatan Jakarta – Cikampek baru diresmikan. Sebagian ruasnya, Cibitung – Cikampek, malah masih satu jalur saja. Jadi, kehidupan keluarga masih sesuai dengan citra keluarga idaman. Masih memiliki waktu yang cukup luang untuk bercengkerama dengan keluarga.

Bandingkan dengan saat ini, 16 tahun kemudian, jarak yang sama harus ditempuh dalam waktu 2 jam. Itupun sudah termasuk membayar 2 kali jalan bebas hambatan, yaitu Bekasi Barat ke Cawang dan jalan bebas hambatan dalam kota.

Masa-masa tahun 80an itu, hampir semua pekerja commuter masih bisa menyempatkan diri shalat maghrib di rumah. Jadi usai makan malam, menjelang tidur, kami masih bisa menyempatkan diri berkeliling komplek, berjalan kali santai, sambil ngobrol sekeluarga sekaligus sedikit mengeluarkan keringat. Jadi kalau ternyata ada pasangan yang sukar memperoleh anak, mungkin semua terjadi karena Allah SWT sudah mengaturnya demikian. Untuk kebaikan umat, yang kita sendiri tidak akan mengetahui alasannya kecuali, tatkala semuanya sudah terjadi.

Saat kami memutuskan untuk berusaha memperoleh anak kedua, Waktu itu, sekitar tahun 1986, anak pertama sudah berumur 3 tahun. Menurut perhitungan, sudah waktunya memiliki adik lagi. Pekerjaan saya di sebuah konsultan arsitektur, tidak terlalu sibuk, sehingga bisa disimpulkan bahwa itu adalah waktu yang tepat untuk mempersiapkan diri memiliki anak ke dua.

Persiapan awal adalah dengan menghentikan konsumsi pil kontrasepsi yang diminum sejak anak pertama berumur 3 bulan. Saya sangat yakin bahwa tidak akan ada masalah yang berarti. Dulu, tepat setelah menikah, saya juga mengkonsumsi pil untuk mencegah kehamilan selama sekitar 2 tahun. Kehamilan anak pertama terjadi 6 bulan setelah pil dihentikan. Jadi begitu pula bayangan yang ada di kepala, kala memutuskan ingin memperoleh anak kedua.

Sejak masa gadis, menstruasi saya selalu datang teratur, yaitu dengan siklus 28 hari. Tidak ada masalah yang berarti kecuali masalah dismenorhae (sakit yang amat sangat menjelang – pada hari pertama menstruasi). Dokter mengatakan, bahwa dismenorhae disebabkan oleh ketidakseimbangan hormonal yang terjadi dalam tubuh perempuan dan biasanya akan menghilang setelah menikah. Saat itu, tidak ada obat yang dapat menghilangkan rasa sakit itu, kecuali dengan mengkonsumsi pil kontrasepsi. Tentu saja, itu pemecahan yang yang sangat janggal. Bagaimana mungkin seorang perempuan belum menikah mengkonsumsi pil kontrasepsi? Jangan-jangan malah dituding yang bukan bukan. Atau bukan tidak mungkin terjadi penyalahgunaan untuk tujuan tak terpuji. Maklum .... mentalitas dan moralitas sebagian besar masyarakat jaman itu sangat berbeda. Tidak permisif seperti saat ini. Jangankan mengkonsumsinya, mendengarnya saja sudah jengah kita dibuatnya.

Begitulah, setelah menghentikan pil kontrasepsi, saya menjalani hidup sebagaimana biasanya dengan penuh rasa optimis. Insya Allah, sebagaimana proses kehamilan yang pertama, rasanya kehamilan yang keduapun mungkin terjadi dalam waktu enam bulan, dan tidak akan terkendala apapun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...