Sabtu, 31 Desember 2011

Anugerah Allah Yang tak Ternilai

2/5 Masalah itu datang


Hidup ini memang misteri. Kita tidak mengetahui kapan dimulai dan kapan diakhiri. Berdasarkan teori Ilmu Kedokteran, awal terciptanya manusia adalah ketika sel telur bertemu dengan sperma lalu terjadi pembuahan. Sel telur dipercaya hanya matang satu buah saja setiap masa subur. Sementara, pada saat ejakulasi, tersembur berjuta-juta sel sperma ke dalam rahim perempuan, yang kesemuanya berlomba-lomba untuk membuahi sel telur. Lalu, mengapa Allah menciptakan berjuta-juta sel telur bila hanya satu sel saja yang diperlukan untuk membuahi sel telur. Lalu, bagaimana Allah menentukan sel telur yang berhak membuahi di antara berjuta-juta sel sperma itu. Padahal, kita tahu bahwa dalam sel sperma terdapat 22 pasang chromosom yang menentukan jenis kelamin, bentuk tubuh, warna kulit/rambut dan bahkan sifat-sifat dasar manusia. Bahkan dalam proses pembuahan in vitro pun, manusia tak kuasa untuk hanya memilih satu sel sperma yang diperlukan. Tetap saja jutaan sel yang harus dipertemukan dengan satu buah sel telur yang telah matang. Bahkan untuk dapat dikategorikan subur dan mampu membuahi sel telur, dalam 1 cc cairan sperma seorang lelaki harus mengandung minimal 20 juta sperma. Kurang dari jumlah tersebut, bisa jadi lelaki dikategorikan sebagai ”steril” Mengapa .......? Hingga saat ini, mungkin manusia belum mampu menguak rahasia Illahi berkenaan dengan penciptaan manusia. Subhanallah ... ini adalah kebesaranNya yang tidak mampu ditandingi oleh ilmu secanggih apapun juga.

Demikianlah, setelah tiga bulan menghentikan konsumsi pil kontrasepsi, saya mendapati tanda-tanda awal kehamilan pada tubuh. Tentu saja kondisi ini disambut dengan sukacita sehingga dengan penuh percaya diri, ditemani suami, kami berangkat ke dokter spesialis kandungan yang berpraktek tidak jauh dari kantor, agar lebih praktis. Dokter meng-amini praduga kehamilan tersebut, namun meminta kami bersabar dulu dan kembali satu bulan lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tanpa perasaan negatif, kami pulang yang sebagaimana kehamilan pertama, kami berharap segalanya akan berjalan lancar.

Keesokan harinya, saya berangkat kantor dan bekerja seperti biasa, tanpa ada tanda-tanda yang luar biasa. Siang hari, kala buang air kecil, saya terkejut karena keluar darah segar agak banyak dengan gumpalan-gumpalan darah sebesar jempol. Kejadian ini sangat mengejutkan, karena baru semalam keluar dari ruang praktek dokter dan sama sekali tidak ada gejala apapun sebelumnya.Tapi saya masih berpikir positif saja. Mungkin tanda-tanda kehamilan yang saya alami itu hanya tanda semu, karena pengharapan yang terlalu besar.

Baru dua hari kemudian saya kembali ke dokter. Dokter memang agak terkejut mendengar laporan saya, tapi karena sebelumnya, dia baru mendiagnosa melalui rabaan luar dan belum melakukan ”periksa dalam”, maka dia sependapat dengan saya. Dokter, kemudian memberikan pil yang mempunyai effek mampu ”menggelontorkan” sisa dinding rahim yang diperkirakan sudah menebal.

Dengan mengkonsumsi pil tersebut, ”menstruasi” kali itu memang luar biasa derasnya. Bayangkan dalam waktu 12 jam, saya dapat menghabiskan 1 pak sanitary napkins isi 12 buah. Itu belum termasuk cucuran darah segar dan gumpalan yang keluar berbarengan dengan buang air kecil. Kondisi ini berlangsung selama satu minggu walaupun belum membuat saya ”terkapar” di rumah. Sayapun masih merasa sehat-sehat saja, tidak kurang suatu apapun. Jadi masih bekerja seperti biasa.

Lepas dari perdarahan tersebut, menstruasi saya terhenti selama tiga bulan. Naif atau memang tidak terlalu peduli dengan kondisi tubuh, saya menganggap bahwa mungkin pendarahan tersebut merupakan abortus spontan. Sehingga, seperti seringkali saya dengar, katanya, sehabis abortus perempuan umumnya tidak mendapat menstruasi selama beberapa bulan seperti masa nifas. Entah benar atau hanya mitos, saya memang tidak yakin dengan kondisi ini. Malah cenderung sok tahu Yang pasti, saya berusaha untuk tidak terlalu mengkhawatirkan kondisi ini.

Bisa juga karena kemalasan saya berurusan dengan dokter kandungan yang pada umumnya berjenis kelamin lelaki. Risi untuk masuk kamar prakteknya ... apalagi kalau sudah disuruh ”periksa dalam”. Saya jadi stress dan tegang, tidak suka bagian ”intim” dilihat-lihat oleh lelaki lain, walaupun untuk alasan medis sekalipun. Akibatnya, berhari-hari saya mengalami kejang perut. Ini tentu sangat menyiksa. Tetapi mungkin juga karena ketakutan saya untuk menerima hal-hal negatif yang terjadi pada tubuh saya, bila dokter melakukan pemeriksaan lebih menyeluruh dan dalam.

Di Jakarta, saat itu memang masih sukar mencari dokter kandungan yang perempuan. Ada satu orang perempuan yang berpraktek sebagai dokter kandungan di bilangan Menteng, tapi banyak orang bilang, dokternya galak sekali. Sialnya, keponakan sang dokter yang kebetulan teman sekantor, membenarkan ”cerita miring” tersebut. Jadi apa boleh buat, dari pada di ”galakin” sama perempuan lain, saya selalu menunda-nunda kunjungan pada dokter kandungan. Lagi pula secara fisik, saya merasa aman-aman saja. Masih bisa berolah raga, jogging atau tennis.

Lepas tiga bulan, sang tamu bulanan absen berkunjung, pada bulan ke empat setelah ”penggelontoran” itu, menstruasi datang kembali. Kalau selama menggunakan kontrasepsi, darah menstruasi keluar daram kuantitas yang normal, maka kali ini keluar secara abnormal. Persis sebanyak kala diduga abortus spontan empat bulan sebelumnya. Bukan itu saja ... lewat satu minggu, yaitu waktu normal perempuan mengalami menstruasi, darah tidak kunjung berkurang jumlahnya, apalagi berhenti. Mau tidak mau, saya harus kembali mengunjungi dokter kandungan yang biasa.

Setelah memeriksa, dia berkata bahwa ada penebalan dinding rahim, yang terjadi selama tiga bulan tidak menstruasi. Hal ini mengakibatkan darah dan gumpalan keluar luar biasa banyaknya dan sukar berhenti. Dia memberikan obat untuk menghentikan menstruasi. Saya lupa apa namanya. Alhamdulillah setelah 15 hari, menstruasi berhenti dan saya menjalani kehidupan seperti biasa.

Dua minggu kemudian (atau 28 hari setelah hari pertama menstruasi sebelumnya), saya mendapat menstruasi kembali. Ternyata, pengalaman menstruasi sebelumnya terulang kembali..... Darah dan gumpalan mengalir tanpa henti dan terjadi hingga lebih dari 15 hari. Itupun berhenti setelah ada intervensi obat-obatan dari dokter. Ini adalah bulan ke dua saya mengalami perdarahan hebat, namun masih bisa berhenti dengan mengkonsumsi jenis obat yang sama dengan bulan sebelumnya.

Bulan ke tiga (atau tepatnya minggu ke 9 – saya mempunyai siklus menstruasi 28 hari), menstruasi keluar sebagaimana sebelumnya. Kali ini luar biasa hebatnya. Obat sejenis yang diberikan dokter sudah tidak mempan lagi. Minggu ke 12, saya kembali ke dokter untuk mengeluhkan keadaan ini. Dokter kemudian mengganti jenis obat dengan dosis yang lebih tinggi. Akhirnya setelah selama satu bulan mengalami perdarahan yang luar biasa, reda juga. Sehingga ”bendera merah” bisa diturunkan kembali.

Kejadian ini berulang kembali, yaitu setelah menggunakan jenis obat yang sama, maka pada siklus ke 3, maka obat tersebut tidak mampu lagi meredam si ”jago merah” itu. Dokter merasa agak putus asa dengan kondisi ini. Diam-diam dia menghubungi ipar saya, yang juga dokter dan teman seangkatannya, untuk mendiskusikan kondisi saya.

Dia mengatakan bahwa secara teori kedokteran, maka apabila telah 3 siklus pengobatan dijalankan, namun perdarahan tidak dapat juga berhenti, maka mau tidak mau harus diambil tindakan ”pembersihan” rahim dengan curetage. Kuret inipun juga tidak dapat berlangsung terus menerus. Apabila setelah tindakan kuret dilaksanakan dan tidak membawa perubahan apapun, maka terpaksa dilakukan pengangkatan rahim. Alternatif pengangkatan rahim ini yang dikhawatirkan dokter, karena saat itu usia saya masih dalam batas usia subur, apalagi baru memiliki satu anak. Entah apa sebenarnya penyakit yang saya derita. Dokter tidak memberikan keterangan secara mendetail. Sayapun, masih bego, tidak mengejar jawaban yang memuaskan hati agar mendapatkan penjelasan yang gamblang mengenai penyakit yang diderita.

Demikianlah, enam bulan setelah mengalami perdarahan tiap bulan, saya terpaksa naik ”ke meja operasi” untuk menjalani proses kuret. Selama proses tersebut, dalam keadaan setengah sadar karena pembiusan, lamat-lamat terdengar suara dokter mengatakan bahwa penebalan dinding rahinm saya terjadi dengan luar biasa. Entah apa yang menyebabkannya. Dokter memprediksi bahwa kejadian ini sebagai akibat ketidak seimbangan hormonal setelah selama hampir 3 tahun mengkonsumsi pil kontrasepsi, lalu dihentikan seketika. Biasanya, dinding rahim yang tidak digunakan oleh sel telur yang telah dibuahi, akan rontok dalam bentuk menstruasi. Namun dalam kasus saya, proses penebalan dinding rahim itu tetap berlangsung dan tidak dapat terhenti secara alamiah. Ini menyebabkan juga menstruasi terjadi tanpa henti.

Usai menjalani kuret, saya dianjurkan untuk menginap di rumah sakit dan baru kembali ke rumah keesokan harinya. Saya menjalani hari-hari dan bekerja seperti biasa. Saya beranggapan, masalah perdarahan itu sudah selesai, apalagi setelah menjalani kuret, perdarahan langsung berhenti selama 3 bulan.

Tepat satu tahun sejak saya mengalami perdarahan atau tiga bulan setelah menjalani kuret, menstruasi datang kembali. Saya menjalaninya dengan biasa saja karena memang sejak sebelum menikah, menstruasi saya memang keluar agak berlebihan, namun masih dalam batas waktu normal, yaitu satu minggu. Namun .... rupanya, penderitaan ini belum selesai dan ini adalah awal dari penderitaan yang tak kunjung selesai selama bertahun-tahun kemudian

1 komentar:

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...