Sabtu, 31 Desember 2011

Tanda - tanda Akhir Jaman


Anakku yang ke dua ini baru berumur 7,5 tahun dan sekolah di kelas 3 SD Islam Al Adzkaar - Jakarta Selatan. Hobbynya membaca, menulis dan menggambar. Jadi sepulang sekolah, rumah selalu berantakan dengan lembaran buku bacaan, buku tulis, buku gambar dan alat-alat tulis/gambarnya. Pokoknya tidak ada hari tanpa menulis/membaca dan menggambar. Tapi walaupun demikian, jangan berharap bisa menyuruhnya untuk membuat tugas sekolah yang umumnya pekerjaan rumah dari sekolah. Rupanya, walaupun dia sangat suka menulis/membaca, tapi dengan tegas dia membedakan mana tulisan/bacaan "penyejuk hati yang dikerjakan dengan sukacita" dan mana yang "dengan sangat terpaksa harus dikerjakan". Walhasil, urusan pekerjaan rumah dari sekolah, selalu diselesaikannya dengan wajah masam dan sangat terpaksa.

Sudah dua hari ini, ada 2 topik pertanyaan yang selalu diulang, yaitu :

Apakah benar, jumlah perempuan saat ini sudah lebih banyak dari jumlah lelaki?
Apakah saat ini banyak lelaki yang berperilaku seperti perempuan dan begitu sebaliknya?
Agak bingung dengan pertanyaan tersebut, saya berusaha menjelaskan dengan hati-hati dalam bahasa yang mudah diterima anak seusianya. Berdasarkan hasil pendataan dari Biro Pusat Statistik (ini juga harus dijelaskan - apa kerjanya), di Indonesia, jumlah perempuan memang sudah lebih banyak dari jumlah lelaki. Begitu juga dengan fenomena lelaki yang berperilaku seperti perempuan, sebagaimana perempuan yang berperilaku seperti lelaki. Ini bisa disaksikan setiap hari dalam berbagai tayangan televisi. Lelaki sudah tidak malu-malu lagi berpakaian dan berperilaku sebagai perempuan. Apalagi sekarang kecenderungan perempuan sebagai pencari nafkah utama dalam suatu keluarga sudah semakin meningkat. Atau bahkan, sudah semakin banyak saja perempuan yang memtuskan untuk sama sekali tidak menikah, walaupun masih ingin menyalurkan kodratnya, memiliki anak.

Jawaban yang sudah sedemikian rupa dikemas dalam bahasa yang ringan untuk dicerna anak seumurnya dan dijelaskan secara hati-hati, ternyata menjadi boomerang. Dia menjadi semakin cemas, sambil mengatakan bahwa bila tanda-tanda kiamat itu memang benar sudah terlihat, maka dia takut kiamat segera terjadi. Agak terhenyak mendengarnya, saya berusaha menenangkannya.

Walaupun tanda kiamat sebagaimana yang dia ketahui itu sudah mulai terlihat, namun tidak ada seorang manusiapun yang tahu, kapan kiamat sesungguhnya akan terjadi, dan bagaimana rupa kiamat itu. Semuanya itu menjadi rahasia Illahi. Ruang waktu Illahi sama sekali tidak terjangkau oleh ruang waktu manusiawi. Dunia ini sudah sedemikian tua, jutaan tahun sudah berlangsung ...dan entah akan berlangsung sampai berapa ratus, ribu dan bahkan jutaan tahun lagi, tidak seorangpun tahu. Atau bahkan mungkin hanya tinggal beberapa satuan, puluhan tahun lagi... kiamat akan terjadi. Siapa yang bisa mengetahuinya, kecuali Sang Pencipta.

Rupanya, dalam pelajaran di sekolah, guru Agama baru menjelaskan "tanda-tanda akhir jaman/kiamat" pada anak didik. Bagaimana cara dan metodenya hingga si anak menangkapnya dari persepsi yang berbeda, saya yakin, tidak ada orang tua yang tahu. Bahkan mungkin, si gurupun sama sekali tidak menyadarinya, bahwa cara penyampaian bahan ajar agama Islam terkadang membuat anak trauma. Bukan gambaran tentang Allah yang Maha Pengasih yang diterima oleh anak didik, malah gambaran Allah yang Maha Pemarah, yang gemar menghukum manusia di neraka yang terkadang masuk di kepala anak. Masya Allah ... ada sesuatu yang salah dalam metode pengajaran agama terutama untuk usia anak sekolah dasar!

Bukan itu saja, gempa yang beruntun disertai dengan aktifnya beberapa gunung berapi di Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara termasuk anak Krakatau, pasca tsunami beberapa bulan yang lalu, juga membawa masalah besar bagi anak-anak. Ternyata pemberitaan tsunami nonstop selama beberapa minggu di media elektronik menyisakan trauma bagi anak-anak yang melihatnya. Kalau anak-anak yang hanya melihat dan mendengar saja sudah sedemikian traumanya, bagaimana dengan mereka yang mengalaminya langsung.

Memang tidak semua anak mengalami hal yang sama. Anak saya, mungkin, agak atau terlalu sensitif. Pengetahuan tentang letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 (eh bener gak ya....) yang konon katanya, suaranya terdengar sampai ke Brisbane - kota tempat kakaknya sekarang tinggal, yang diperolehnya dari ensiklopedi anak, menjadikannya tercekam kala mendengar berita di televisi bahwa Anak Krakatau, pasca tsunami juga mulai unjuk gigi. Bahkan yang lebih parah lagi, dia tidak lagi mau diajak ke Bandung, karena pada bulan April 2005 yang lalu diberitakan juga bahwa gunung Tangkuban Perahu mulai "batuk-batuk"

Memiliki anak, terutama yang kritis, pada jaman keterbukaan seperti ini dengan ditunjang akses tidak terbatas pada informasi memang membuat orang tua harus selalu belajar dan belajar terus menerus agar dapat mendampingi anak dalam mencerna informasi yang masuk ke otaknya. Memberikan bacaan bagi anak membutuhkan kejelian yang luar biasa. Kita memang tidak mungkin menjejali anak (terutama anak perempuan) dengan cerita mimpi a la Hans Cristian Andersen atau komik-komik a la Jepang terus menerus. Ada keinginan untuk memberikan bacaan "lebih bermutu" pada anak seiring dengan perkembangan usianya. Namun, dengan pemberian buku bermutu itu, orang tua perlu meluangkan waktu mengasah otak untuk memahami kandungan isi buku tersebut. Selain itu orang tua juga dituntut agar mampu menjelaskan kepada anak, bagian-bagian yang tidak dimengertinya. Termasuk juga menjelaskan kembali kepada anak, apa-apa yang diperolehnya dari sekolah.

Kalau dapat dikatakan terus terang, ada gap sosial antara anak/orang tua murid dengan guru. Sudah menjadi rahasia umum, di kota-kota besar dan di sekolah tertentu, ada jurang perbedaan kemampuan ekonomi yang sangat besar di antara keduanya. Ini bisa menyebabkan akses pengetahuan melalui perangkat lunak (via internet) maupun perangkat keras (buku, majalah dll) seorang anak lebih besar dari gurunya. Dengan demikian, orang tua secara bijaksana bisa menjadi jembatan untuk menutup kekurangan (bila ada) pada penjelasan guru di sekolah akibat perbedaan akses informasi tersebut. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi "pelecehan" terhadap kemampuan guru oleh anak-anak, karena kurangnya akses mereka terhadap teknologi "maju". Bukankah ini juga (bila guru sudah tidak dihormati oleh muridnya) merupakan tanda-tanda akhir jaman? Wallahu 'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...