Sabtu, 31 Desember 2011

Toilet - Cermin kesehatan serta kondisi sosial/budaya bangsa

Hari minggu yang lalu, saya membaca di harian Republika mengenai profil ibu Naning Adiwoso, mantan ketua umum Himpunan Desainer Interior Indonesia - HDII dalam memperjuangkan standarisasi toilet umum.
Seperti yang beliau katakan, kelihatannya kok sepele sekali, seorang Arsitek - Interior jebolan satu Universitas terkenal di USA yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di luar negeri mengikuti bapaknya yang diplomat, berbicara mengenai toilet umum. Seperti kurang kerjaan ..... mungkin itu pendapat mayoritas masyarakat kita.

Membaca isi wawancara dengan beliau, saya sangat sepakat bahwa pada toilet itulah bermula kesehatan kita dan kemudian berkembang lebih jauh lagi hingga menjadi cerminan kondisi sosial/budaya suatu bangsa.

Belakangan ini, kita banyak membaca berita dikoran-koran mengenai wabah penyakit polio, campak, diare, DBD hingga kekurangan gizi yang berakibat pada busung lapar. Kalau kita mau sedikit cermat memperhatikan wabah-wabah tersebut, maka penyebab utama dari percepatan penyebaran wabah penyakit-penyakit tersebut adalah disebabkan oleh buruknya kualitas sanitasi lingkungan hidup kita.

Tidak perlu jauh hingga pelosok desa, tidak jauh dari kemegahan bangunan di sepanjang Jl. MH Thamrin atau jalan Tol menuju bandara Sukarno Hatta - Cengkareng, dengan jelas akan terlihat betapa kumuhnya lingkungan hidup kita. Air kali yang hitam keruh, penuh sampah dan berbau. Tepat tinggal yang seadanya, dari bilik bambu/kardus di pinggiran tumpukan sampah/limbah rumah tangga dan pasti tanpa fasiltas MCK. Jangan lagi kita bicara saluran pembuangan kota ..., kalaupun ada, maka campur baurlah disana dan sebagian besar mampat karena sampah. Bahkan kali yang dulu kala menjadi sumber air utama bagi kehidupan kita pun keruh, kotor dan bersampah. Padahal, sumber air baku bagi PAM adalah sungai-sungai yang telah tercemar itu.

Tidak salah, bila dalam kondisi seperti itu, maka wabah penyakit akan mudah terbawa terbang olet lalat atau debu-debu yang telah bercampur dengan kotoran dan dari sumber air baku PAM kita

Apakah hal ini karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan, baik karena kemiskinan (tidak mampu menyediakan fasilitas MCK), atau karena rendahnya pengetahuan tentang kebersihan lingkungan. Masyarakat miskin pasti tidak akan mampu menyediakan fasilitas MCK pribadi. Jangankan untuk itu, dengan tinggal di rumah kardus/lingkungan kumuh, makan seadanya 3 kali sehari saja belum tentu mereka mampu dan menjadi kemewahan yang tak terjangkau. Jadi, itu adalah kewajiban pemerintah untuk memperbaiki/membenahi lingkungan hidup mereka sekaligus memberikan kail agar mereka bisa meningkatkan taraf hidupnya secara bertahap.

Saya pernah melihat suatu dokumentasi perbaikan lingkungan, disuatu desa nelayan di Jawa Tengah. Program perbaikan yang dilakukan oleh Dr.Ir. Andy Siswanto dkk, itu dilaksanakan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Dengan pendekatan yang sangat persuasif, masyarakat merelakan lingkungan hidupnya ditata ulang tanpa ganti rugi sedikitpun. Ini memperlihatkan betapa sesungguhnya masyarakat kita haus akan perhatian serius dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupannya.

Kembali kepada masalah toilet (baik toilet pribadi maupun toilet umum), ada 2 pengalaman yang tidak dapat saya lupakan. Yang pertama... seorang kawan mengatakan, bila kita ingin mengetahui tingkat kebersihan seseorang, mintalah ijin untuk ke toilet saat kita mengunjungi rumahnya. Di tempat itulah kita bisa mengukur kebersihan orang itu.

Yang kedua, penggunaan toilet umum yang tidak jelas kebersihannya akan menulari kita dengan segala macam penyakit yang tidak terduga. Hal ini berkaitan dengan kejadian 25 tahun yang lalu, saat saya berjalan-jalan dengan suami di Paris. Toilet umum di kota itu pasti bersih, dengan air yang berlimpah. Tetapi usai kembali ke kota tempat kami tinggal, saya mengalami sulit buang air kecil yang dalam waktu 24 jam langsung keluar darah. Terpaksa saya ke dokter dan setelah menanyakan kegiatan saya selama 1 minggu sebelumnya, dia mengatakan bahwa hal itu dikarenakan saya telah menggunakan toilet umum dan hal itu banyak dialami oleh, perempuan. Sejak peristiwa itu, saya menjadi trauma menggunakan toilet umum.

Keengganan menggunakan toilet umum, banyak dirasakan orang. Bagaimana mungkin kita menggunakan toilet umum, apabila toilet tersebut berbau tak sedap dan jorok. Namun menahan rasa ingin ke toilet pun bukan hal yang mudah. Jangan-jangan malah akan mengakibatkan kita menjadi sakit.

Bagi masyarakat golongan menengah - atas, mungkin tidak bermasalah yang terlalu besar. Shopping mall/plasa kelas atas atau hotel-hotel mewah berbintang pasti menyediakan fasilitas tersebut dengan baiknya. Tapi bagaimana bila kita sedang berjalan-jalan di keramaian umum, katakanlah saat berbelanja ke pasar atau membawa anak-anak ke Kebun Binatang Ragunan,saat kita menunggu di halte busway yang nyaman itu atau bahkan di kawasan wisata yang banyak bertebaran di bumi Indonesia ini? Hampir seluruh fasilitas toilet yang tersedia, tidak memadai. Jorok, berbau dan kadang-kadang kran airnya macet. Jangan lagi kita melihat dan menilainya dari segi kenyamanan dan faktor higienis. Haruskah kita menderita untuk menunggu hingga kembali ke rumah/hotel tempat kita menginap.

Seorang teman pernah mengatakan... pergilah ke mesjid, di sana kita harus ber wudhu dulu sebelum shalat. Jadi pasti ada air. Betul ada air... tapi apakah toiletnya bersih tak berbau dan nyaman? Belum tentu..... Air memang ada, tetapi banyak sampah bertebaran di lantai. Pengurus mesjid mungkin lupa atau tidak tahu, bahwa perempuan yang menggunakan toilet terkadang memerlukan tempat sampah untuk membuang sanitary napkins atau kertas pembersih. Maka, lantai toiletlah yang menjadi keranjang sampah. Padahal kita tahu benar ajaran kebersihan ... cuci tangan sesudah ke toilet. Tapi jangankan cuci tangan dengan bersih ... airpun kadang tak ada, apalagi sabun atau kertas pembersih.

Padahal Islam mengajarkan bahwa Kebersihan adalah sebagian dari iman. Namun ternyata ajaran itupun tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh penganutnya. Nun jauh di negara petro dolar, di hampir seluruh wilayah Timur Tengah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, toilet umum juga menjadi masalah. Betul bahwa di sekitar mesjid yang banyak air pasti ada toilet dan sayangnya masih berbau tak sedap. Mungkin karena toilet digunakan oleh berbagai bangsa di dunia dengan berbagai caranya, jadi sukar untuk mempertahankan standar kebersihannya. Padahal kita tidak berharap toilet mesjid seharum toilet di hotel berbintang. Yang pasti, jangan sekali-kali menggunakan toilet umum yang ada di sepanjang perjalanan antara Mekkah - Medinah, atau di hampir seluruh kawasan wisata di Timur Tengah, bila anda tidak ingin pingsan karena bau dan kotornya.

Ternyata memelihara kebersihan toilet tidak semudah menggunakannya. Entah karena keengganan atau karena hal itu adalah masalah sepele yang tidak perlu diperhatikan. Toh itu tempat kita membuang kotoran ..... jadi ya memang sewajarnya kotor. Padahal Justru karena itulah kita harus membersihkannya agar kekotoran itu tidak berubah menjadi sarang penyakit yang akan disebarkan oleh lalat dan kecoa.

Ibu Naning Adiwoso mengatakan, bahwa di beberapa negara (saya lupa negara apa yang disebutkannya), para aktifis kesehatan telah membuat standard pembuatan toilet umum yang mencakup segala aspek, antara lain kenyamanan, kebersihan, aksesibilitas dan higienis. Standard tersebut menjadi acuan bagi pembangunan toilet umum. Bahkan ada suatu kota yang sudah memiliki Peta Toilet Umum. Bukan main......

Di negara kita? Masih jauhlah ..... rasanya cukup agar kita, terutama kaum muslimin menyadari dan menerapkan aspek kebersihan tersebut dalam segala segi kehidupannya termasuk dalam mengelola toiletnya. Insya Allah ... semagat kebersihan itu akan menjalar dalam segala aspek kehidupan kita

salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...