Rabu, 04 Januari 2012

Berdagang dengan Allah SWT

Alhamdulillah, atas rejeki dan berkah Allah SWT kami sekeluarga mendapat kesempatan kembali untuk ziarah ke makam junjungan umat Islam, Muhammad SAW serta mengunjungi Baitullah. Kesempatan melakukan perjalanan spiritual seperti ini memiliki nilai yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar menghilangkan kepenatan duniawi semata, walaupun secara fisik terasa jauh lebih melelahkan.


Berbeda dengan perjalanan wisata regular, pada perjalanan umroh/haji, biro perjalanan ibadah selalu menyelenggarakan minimal satu kali pertemuan yang disebut sebagai manasik. Umumnya berisi penjelasan tentang ritual ibadah yang akan dijalankan, walaupun peserta telah dibekali dengan buku panduan yang cukup jelas dan akan didampingi oleh muthawif (guide) baik dalam perjalanan dari Jakarta dan akan ditambah lagi dengan muthawif yang bermukim di tanah Haram.

Tanah Haram (Makkah al Mukkaromah dan Madina al Munawarroh) atau lebih tepatnya Saudi Arabia memang dipenuhi dengan berbagai mitos dan cerita-cerita “menyeramkan” terutama bagi para perempuan. Bagaimana kebenaran dari mitos dan cerita tersebut, tentu patut dipertanyakan karena tidak ada seorangpun yang melihat dengan mata dan kepala sendiri tentang hilangnya perempuan setelah naik taxi tanpa didampingi lelaki/muhrimnya atau perempuan yang diperkosa di kamar hotel selama teman sekamarnya pergi keluar kamar dalam jangka waktu yang cukup lama. Tetapi cerita sedih tentang perkosaan yang dilakukan oleh majikan/anak majikan terhadap TKI perempuan, mungkin dapat mewakili kebenaran mitos tersebut. Tetapi lebih jauh dari hal tersebut, bisa jadi perbedaan kultur dan sopan santun dalam hubungan antar jenis menjadi pemicunya.

Perempuan Indonesia yang selalu bermuka manis terhadap orang asing terutama kepada para superiornya (majikan, atasan dan lainnya), oleh lelaki Arab dianggap sebagai “undangan” untuk bertindak lebih jauh. Maklum saja, sejak Islam disebarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, wanita Arab memang ditempatkan sedemikian tinggi. Diperlakukan bagai kristal yang harus dijaga dan untuk memperolehnya (menikahinya) diperlukan upaya dan mahar yang sangat besar. Keluar rumah sendiri (tanpa muhrim), berkeliaran di tempat umum apalagi dengan tubuh terbuka (tanpa berhijab) merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan di tanah Arab. Hal ini tentu sangat berbeda dengan perempuan Indonesia. Sekalipun perempuan Indonesia berhijab namun mereka masih dapat bebas berkeliaran di luar rumah sendiri/tanpa muhrim dan bergaul bebas dengan lawan jenis. Perbedaan budaya seperti ini mengundang persepsi yang berbeda dalam mata dan pikiran lelaki Arab tatkala menghadapi keramahan perempuan Indonesia sehingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi tidak dapat dipungkiri, dalam bisik-bisik, diungkap bahwa para mukimin yang berasal dari Indonesia, banyak yang menjual diri dengan harga murah untuk menyambung hidup di tanah gersang bebatuan tersebut.


Kembali pada topik perjalanan ibadah ke tanah suci. Dalam manasik, selain penjelasan mengenai ritual ibadah yang akan dilakukan juga banyak dijelaskan tentang keutamaan maupun pahala ibadah di tempat-tempat tertentu. Bumbu-bumbu pahala ibadah shalat di Masjidil Haram sebesar 100.000 kali atau pahala shalat sebanyak 1.000 kali di Masjid Nabawi, pahala shalat di Masjid Quba setara dengan pahala umroh atau kemustajaban do’a di hadapan Multazam, Hijjir Ismail, Maqam Ibrahim, Raudhah, Arafah sampai dengan mencium hajar Aswad menjadi topik yang paling dipertanyakan calon jamaah.

Di luar dari pahala ibadah umroh/haji, berbagai iming-iming tumpukan pahala juga sering didengar dalam tausyiah para ulama pada majlis taklim, atau khutbah-khutbah di media layar kaca maupun shalat jamaah (shalat jum’at, Ied atau Tarawih). Dengarlah, betapa para alim ulama menyerukan orang untuk berzakat, infaq dan sadaqoh di bulan Ramadhan dengan alasan untuk meraih pahala yang lebih besar dibandingkan dengan pahala zakat, infaq dan sadaqoh yang dilakukan di luar bulan Ramadhan.

Lihatlah betapa kemudian orang beramai-ramai dengan sukacita dan ringan hati mengeluarkan hartanya selama satu bulan tersebut. Lihatlah juga akibatnya …. Hamburan uang dari para muzakki yang relatif besar selama Ramadhan dan kemudian diterima oleh para mustahik secara seketika membuat merekapun menggunakannya untuk hal-hal yang konsumtif. Bermegah-megah jauh di luar kemampuan rielnya. Alasannyapun, lagi-lagi, sangat klasik. Setahun sekali menyenangkan hati dan menikmati kehidupan “mewah”.

Lupakah bahwa pada sebelas bulan lainnya, para mustahik tidak lagi memiliki uang yang memadai untuk menopang hidup sehari-hari? Sebagaimana kebanyakan para muzakki lupa mengitung dan mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqohnya. Alasannya sederhana dan sangat klasik. Belum mencapai haul atau mungkin dalam hati berkata, menunggu Ramadhan tiba demi mengharap pahala yang jauh lebih besar lagi.

Lupakah kita bahwa para mustahik jauh lebih membutuhkan bantuan untuk 11 bulan lainnya dibandingkan dengan kebutuhan selama Ramadhan? Bukankah Ramadhan adalah bulan dimana kita dianjurkan untuk “menahan diri”? Bukan saja menahan diri dari lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari “syahwat keduniawian” lainnya. Kenyataannya malah jauh berbeda. Bulan “menahan diri” malah berubah menjadi bulan “pelepas syahwat”. Meja makan orang yang menjalankan ibadah puasa menjadi “lebih bernas” dibandingkan dengan hari-hari biasa. Persiapan Iedul Fitri yang selalu didengungkan sebagai menyambut hari kemenangan setelah melewati berbagai ujian selama Ramadhan disemarakkan oleh kemegahan duniawi. Malam-malam Lailatul Qadar tidak lagi dilewati dengan I’tikaf di masjid tetapi dengan bertawaf di pertokoan mewah yang mengundang dengan berbagai potongan harga hingga jauh larut malam untuk sesuatu yang bernama “persiapan Iedul Fitri”. Inikah hitung dagang ibadah kita dengan Allah SWT?

Perbincangan mengenai pahala dan dosa selalu menarik dan debatable. Para ulama tentu memiliki dasar dalam mengemukakan dalil/hadist yang berkaitan dengan segala dosa dan pahala. Tetapi pernahkan kita sedikit melakukan “evaluasi dengan lebih kritis” atas kriteria dari setumpukan pahala yang selalu didengung-dengungkan tersebut. Sungguh, apabila pahala hanya “sebatas” pada besaran zakat/infaq/sadaqoh yang kita keluarkan setiap hari, maka alangkah kasihannya mereka yang miskin (para mustahik) karena mereka tidak akan pernah mendapat kesempatan meraih pahala dari zakat/infaq/sadaqoh.

Kalau saja pahala shalat berlipat ganda hanya dapat diraih di Masjidil Haram, Masjidil Aqsa dan Masjid Nabawi. Atau melalui ibadah-ibadah semacam Umroh dan Haji. Lalu kapan para mustahik atau orang-orang alim yang selalu taat beribadah, menjalankan kehidupan dengan sangat santun, penuh etika dan penuh keikhlasan namun tidak memiliki kemampuan fisik dan finansial untuk melaksanakan ibadah umroh/haji, memperoleh pahala sebesar pahala orang-orang yang berumroh dan berhaji. Kalau perhitungan pahala sesederhana itu atau begitu adanya, mungkin patutlah kita menggugat alangkah tidak adilnya Allah SWT.

Sungguh, urusan pahala bukanlah urusan manusia. Tidak sesederhana hadist dan dalil yang selalu diajukan para alim ulama. Nuansa, ruang dan waktu saat ayat-ayat al Qur’an tentang kewajiban berzakat ataupun ibadah-ibadah lainnya diturunkan serta keimanan kaum muslimin saat Rasullullah menjabarkan ayat-ayat tersebut sangatlah berbeda dengan saat ini. Dan terutama, keikhlasan manusia dalam menjalankan ibadahnya pada masa kehidupan Rasulullah Muhammad SAW dengan abad ke 21 ini, tidak lagi dapat disamakan. Keteladanan Rasul dalam menjalankan ibadah dan menerapkan ayat-ayat Al Qur’an yang menjadi dasar kehidupan umat sangat jelas dan gamblang. Sangat berbeda dengan apa yang kita lihat sekarang. Seringkali ucapan/tausyiah para alim ulama sangat berbeda dengan tindak-tanduk kesehariannya. Anjuran dan ucapan para umara seringkali hanya menjadi penghias dan pemanis bibir belaka dibandingkan dengan keteladanan yang laiknya harts dilaksanakan mereka.


Bila dalam sehari saja kita mengucapkan minimal 5 kali “inna shalati, wa nusuki, wa mahyaya, wa mamati lillahi rabbi’l alamin” (sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanya bagi Allah penguasa dari sekalian alam yang tidak ada sekutu bagiNya), ini bisa diartikan penyerahan secara total segala sesuatu yang berkaitan dalam kehidupan kita di dunia semata-mata ke dalam kekuasaan Allah SWT. Lalu, mengapa kita masih saja menghitung-hitung pahala dalam setiap langkah yang kita lakukan? Mengapa untuk menunaikan kewajiban agama, kita masih menunggu-nunggu waktu yang tepat, yang memberikan benefit/pahala terbesar kepada kita. Bukankah kebutuhan para mustahik tidak dapat menunggu hari baik dan waktu yang tepat saat kita berkenan mengeluarkan zakat/infaq/sadaqoh?

Allah SWT yang Maha Adil dan Maha Mengetahui tentu tidak akan salah menganugerahkan pahala Umroh dan hajiNya atau pahala sebesar pahala shalat di ke tiga masjid mulia (Aqsa, Haram, Nabawi) kepada umatNya. Tentu bukan kepada mereka yang membiayai perjalanan menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan harta yang tidak jelas asal muasalnya. Bukan pula kepada mereka yang melaksanakan tawaf, sai dan tahalul karena “terpaksa” diajak teman berumroh atau bukan pula kepada mereka yang berwukuf di padang Arafah, bermalam di Muzdalifah, melontar jumroh di Mina karena memang sedang “mode”nya berhaji di usia muda.

Pahala ibadah kita sesungguhnya adalah rahasia Allah. Bukanlah semata-mata berdasarkan uraian para ulama sekalipun banyak ayat dan hadist yang mendukungnya. Kesemuanya sangat bergantung kepada banyak faktor antara lain niat, keikhlasan, keimanan manusia, dimana hanya Allah SWT lah yang mampu menilainya.

Mari kita kerjakan segala ibadah dengan ikhlas tanpa perlu lagi menghitung-hitung pahala yang akan diperoleh. Bukankah sudah terlalu banyak anugerah Allah SWT yang kita nikmati? Allah SWT Maha Mengetahui. Dia tidak pernah tidur dan tidak akan pernah salah memberi ganjaran bagi manusia atas apa-apa yang kita lakukan. Wa Allahu Alam.

Lebak bulus 6 Juli 2006 jam 01.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...