Minggu, 15 Januari 2012

Kita dan Ritual Agama


Bahasa agama adalah bahasa nurani dan spriritual. Perintah Allah SWT selain harus dilakukan dalam bahasa ragawi, tetapi yang lebih penting adalah niat dan keikhlasan. Inilah bagian yang tidak bisa kita sembunyikan dari Allah SWT.

Selama ini, kita seringkali terjebak pada simbologi dan ritual di permukaan saja, namun hal yang terpenting, yaitu esensi perintahNya seringkali terabaikan. Ini ilustrasi yang seringkali saya temui dalam kehidupan sehari-hari ;

Anda yang pernah melaksanakan ibadah umroh/haji, mungkin pernah berpapasan, beriringan dan kemudian memperhatikan “bacaan-bacaan” doa saat melaksanakan thawaf dan sai dengan berbagai bangsa dan logat bahasa. Pernahkah memperhatikan bagaimana orang-orang yang berasal dari Turki mengucapkan Allahu Akbar? Ternyata ... mereka mengucapkannya “ Allahu Ac-bar” dengan lafadz “c” alias bukan ”akbar”. Padahal di Indonesia, ustadz/ustadzah mati-matian mengajarkan kita untuk tidak boleh salah melafadzkan huruf-huruf arab apalagi kala membaca al Qur’an.

Tidak perlu jauh-jauh ke Turki, bagaimana dengan saudara kita yang berasal dari ranah Sunda. Bukankah mereka juga merasa kesulitan untuk melafadzkan “fa”? Bagi mereka, fa, pa dan va, semuanya sama saja dan dilafadzkan sebagai “pa”. Salahkan mereka? Apakah Allah SWT hanya mengerti bahasa Al Qur’an yang dilafadzkan sebagaimana orang Arab asli melafadzkannya? Kalau begitu, kasihan sekali orang Cina yang tidak mampu melafadzkan ”ra”. Bagaimana pula dengan Turkish yang melafadzkan Allahu Acbar dan bukan Allahu Akbar? Bukankah orang Indonesiapun masih memiliki ”logat” asli dan tidak akan mampu membaca al Qur’an dengan lafadz seperti Arab asli?


Di berbagai tausyiah, kita seringkali mendengar ucapan .... ”bacalah Al Qur’an, walaupun hanya satu huruf ata membaca Al Qur’an memberikan pahala yang berlipat ganda. Kalau kita tidak mampu membaca dengan lancar, mulailah walaupun tersendat-sendat karena setiap huruf yang dibaca memberikan pahala bagi yang membacanya”. Ini anjuran yang sangat baik. Tidak ada yang mengingkari. Di Indonesia, banyak orang yang mampu membaca al Qur’an dengan sangat baik tetapi sayangnya kurang mampu mengamalkan esensi al Qur’an dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Majlis Taklim bertaburan dan selalu penuh tetapi kehidupan umat Islam tidak pernah beranjak dari itu ke itu saja. Masih bergelut pada hitung-hitungan pahala dan keindahan ritual. Maksiat tetap berjalan dengan aman ...., perselingkuhan, ghibah, korupsi makin marak.

Pada suatu saat, saya ditanya oleh seorang teman .... :
”mbak, tahun ini mau menyalurkan zakat dimana, ramadhan ini? Sudah dihitung sesuai dengan nishab dan haulnya? Ingat lho ... bulan berkah bertabur pahala nih”.
Saat itu saya hanya tertawa saja seraya menjawab ...
“Kamu ini mau menjalankan ibadah/zakat dalam pengertian Lillahi Ta’ala atau karena embel-embel pahala, sih? Sama Allah SWT kok berhitung untung rugi?”.

Ada perbedaan penafsiran tentang zakat, infaq dan sadaqah, antara saya dan teman tersebut.
Seingat saya, dalam al Qur’an tidak pernah dicantumkan bahwa kewajiban yang bernama zakat/infaq/sadaqah terkait dengan waktu (haul) dan nishab. Umumnya, kesemuanya merujuk kepada perintah untuk ”Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Perhitungan (nishab) dan jangka waktu (haul) lebih merujuk kepada hadist untuk mengatur pelaksanaan. Nishab memang diperlukan agar tidak ada keragu-raguan umat mengenai besaran kewajiban zakat. Sedangkan haul, berkaitan dengan keengganan umat Islam berbagi hartanya dengan kaum dhuafa. Jadi penundaan karena rasa enggan tersebut perlu diberikan batas waktu, karena walau bagaimanapun, zakat adalah perintah Allah SWT yang perlu dijalankan dan ditunaikan dengan penuh keikhlasan. Nah ... sebagai ”iming-iming” untuk mendorong umat Islam menunaikan zakat, maka dikatakanlah bahwa apabila zakat ditunaikan pada bulan Ramadhan agar memperoleh pahala berlimpah.


Atas hal ini, ada baiknya kita semua mengkaji kembali .... Apakah zakat yang ditunaikan pada bulan Ramadhan itu benar-benar karena menjalankan perintah Allah SWT atau karena berpamrih untuk memperoleh pahala berlimpah? Dimana keikhlasannya kalau begitu? Sudah waktunya kita meyakinkan diri, bahwa zakat bisa dtunaikan kapan saja dengan pahala yang sama besar dengan pahala yang ditunaikan pada bulan Ramadhan dari Allah SWT, manakala dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Demi menunaikan kewajiban kita karena ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dibandingkan dengan niat menunaikan zakat di bulan Ramadhan karena berharap pahala yang lebih besar.

Masalah pahala Allah SWT, tidak bisa disandarkan pada ”apa yang dikatakan ustadz” tetapi semata-mata rahasia Allah SWT. Kaum dhuafa membutuhkan uluran tangan dari kaum berpunya, setiap waktu. Kebutuhan hidup untuk makan, menyekolahkan anak dan lain-lain berlangsung sepanjang waktu, bukan sesaat selama bulan Ramadhan saja. Uang (yang berasal dari zakat/infaq/sadaqah) yang diterima secara berlebihan pada bulan Ramadhan cenderung dimanfaat secara serampangan dan sangat konsumtif. Kurang optimal, untuk memperbaiki taraf hidup kaum dhuafa, sehingga kurang membawa manfaat untuk melepaskan kaum dhuafa dari jerat kemiskinan.

Wallahu’ alam
Wassalam
Lebak bulus 10 desember 2006 jam 16.30
reedit 22 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...