Minggu, 15 Januari 2012

saya & jilbab

Tahun 1990, perempuan berjilbab masih bisa dihitung dengan jari tangan. Di antara yang langka ini, ada satu rekan kerja di bagian pemasaran. Anaknya hitam manis, lembut, santun dan cantik. Karenanya, kami tidak terlalu terkejut saat melihatnya memutuskan untuk menutup aurat, walaupun salah satu direksi perusahaan kemudian menegur keras. Untungnya, teguran keras itu tidak menyebabkan pemecatan dan rekan kerja tersebutpun tidak surut dengan niatnya menutup aurat.

Hari berjalan dan berganti minggu dan bulan. Bagai petir di siang bolong, ketika suatu hari kami mendengar kabar, rekan tersebut mengundurkan diri dari perusahaan karena hamil di luar nikah. Bayangkan ... perempuan berjilbab (pada saat jilbab belum umum digunakan muslimah), jatuh kepada perzinaan. Kami yang beragama Islam merasa terpojokkan karenanya. Direktur yang menegur rekan berjilbab tersebut, seringkali mengejek kami.

Tahun 1994, usai menunaikan ibadah haji dengan suami, perempuan berjilbab sudah mulai banyak ditemui. Sebagian besar adalah mereka sontak menggunakan jilbab saat usai menunaikan ibadah haji. Coba deh perhatikan, kalau kita (berjilbab) berbelanja ke pasar tradisional, maka para pedagang sontak akan menyapa kita dengan panggilan bu hajjah... Padahal, belum tentu perempuan yang berjilbab itu, sudah melaksanakan ibadah haji, tetapi masyarakat selalu beranggapan bahwa orang yang sudah menunaikan ibadah haji ”pasti” berjilbab. Padahal .. hal ini belum tentu benar. Jadi saat usai menunaikan haji dan saya belum menggunakan jilbab, tentu ada beberapa orang yang menyindir, baik secara tersamar ataupun terang-terangan.

Saya sendiri, saat itu berpendapat bahwa menunaikan ibadah haji adalah starting point untuk menjadi lebih baik secara bertahap. Dan perjalanan menjadi lebih baik itu bukan dan tidak perlu dilakukan dengan simbol-simbol seperti jilbab, memelihara jenggot untuk lelaki tetapi melalui perilaku yang lebih terjaga dan terus menerus secara konsisten menjadi lebih baik. Memang, ada perintah untuk ”menjulurkan kerudung, menutupi dada/aurat”, tetapi perilaku yang terjaga, menurut pemahaman saya (sampai sekarang) jauh lebih baik daripada sekedar simbol-simbol saja. Apalagi, kecuali jilbab, saya sejak lama memang sudah selalu menggunakan celana panjang dengan blous lengan panjang. Jadi sudah cukup sopan dan tidak mengumbar aurat.

Tahun 2001, 7 tahun setelah menunaikan ibadah haji saya mendapat musibah dan hampir kehilangan nyawa. Pagi itu, sebelum berangkat ke kantor saya mampir dulu di salah satu bank dekat rumah untuk mengambil uang dalam jumlah yang cukup banyak. Saat menunggu pencairan dana, seolah ada firasat buruk, saya menelpon kantor meminta agar supir menjemput saya di bank. Jadi kemudian saya berangkat ke kantor dengan supir sambil membawa uang yang jumlahnya lumayan besar. Setiba di halaman kantor, usai mengambil tas berisi uang dari bagasi mobil, seraya meminta bantuan satpam membantu membawa tas uang yang cukup berat untuk dibawa masuk kantor, saya dikejutkan oleh teriakan keras dan kilatan clurit yang hampir mengenai muka. Saya menjerit keras dan kehilangan kesadaran ... Entah apa yang terjadi kemudian ... saya hanya tersadar beberapa saat kemudian dan sudah berada di dalam kantor. Konon kata orang setelah menyerahkan atau melempar tas uang ke arah satpam, (saya sama sekali tidak mampu mengingatnya sampai sekarang), saya yang shock berat lari dengan linglung .... Hari itu dan esoknya, shock oleh kejadian tersebut, walaupun tidak ada luka sama sekali saya ”dipaksa” tinggal dirumah. Uang yang baru di ambil dari bank, seluruhnya raib.

Dua hari setelah peristiwa yang saya alami, korban lain jatuh di daerah Tebet .... Juga perempuan, dan mendapat luka bacok yang sangat parah. Seminggu kemudian, istri dekan tempat suami saya bekerja, terluka bacok oleh clurit, usai berbelanja di bilangan Radio Dalam. Otot lengannya hampir putus dan 3 jarinya nyaris lumpuh. Untunglah dengan pengobatan yang telaten selama berbulan-bulan, akhirnya jari-jarinya bisa berfungsi kembali. Sejak itu, berbagai berita perampokan terhadap nasabah bank yang terjadi di Jakarta kerap menghiasi koran. Tidak ada korban yang selamat seperti saya. Semuanya terluka, kalau mau dibilang selamat, karena beberapa di antaranya malah tewas ditembak atau kena clurit perampok.

Saya merenung dan interospeksi. Inikah teguran Allah SWT atas kelalaian saya dalam menunaikan perintahNya, terutama dalam menutup aurat? Saya memang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari, tetapi sebagai manusia, mana mungkin kita melakukannya dengan sempurna. Apalagi kalau itu berkaitan dengan perintah Allah SWT. Namun sebagaimana biasanya, saya selalu ”ingin jawaban” pasti dari berbagai peristiwa atau fenomena yang saya alami. Dalam hati saya berkata ... : ”Ya Allah, apabila peristiwa perampokan itu adalah peringatanMu agar saya menutup aurat, tentu Engkau dengan sangat mudah akan menjawabnya dengan cara ”menangkap” para perampok tersebut”.

Begitulah .. hari demi hari berlalu. Saya hampir melupakan ”permohonan jawaban dari Allah”, sampai saat suatu siang ada telpon yang disusul dengan facsimile berisi permintaan dari polres untuk membuat proses verbal tentang perampokan yang saya alami 6 bulan sebelumnya. Saya langsung tercekat ... teringat pada ”permohonan jawaban” untuk memakai jilbab. Inikah jawaban Allah?

Saya kemudian datang ke kantor polres dan bahkan sempat berpapasan dengan salah satu pelaku (ternyata komplotan perampok tersebut ada 8 orang). Uang yang dirampok berhasil terkumpul hampir seluruhnya. Hanya sebagian kecil sudah dalam bentuk barang. Keberhasilan polisi menangkap pelaku perampokan dan kesediaan pemilik uang untuk menyumbangkan pengembalian uang yang dirampok tersebut untuk kegiatan sosial, menguatkan hati saya, bahwa kesemuanya itu merupakan jawaban Allah SWT bahwa saya ”ditegurNya” untuk segera menutup aurat.

Orang boleh mengatakan bahwa itu suatu kebetulan yang terjadi berkat kerja keras polisi. Biarlah ... setiap orang boleh memiliki pendapat sendiri. Namun saya meyakini, bahwa itulah jawaban Allah bahwa peristiwa perampokan itu merupakan bentuk teguranNya atau kelalaian saya dalam menjalankan perintahNya.

Maka dua bulah kemudian, awal tahun 2002, saya mulai menutup aurat. Tentu masih belum sempurna. Masih ingin terlihat modis dan cantik. Tapi saya selalu bertekad agar setiap hari kemudian menjadi ”jihad” saya untuk selalu menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Insya Allah...

Minggu, 10 desember 2006 – jam 17.40 di lebak bulus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...