Selasa, 10 Januari 2012

Maaf bu ... bu Merry nya sedang rusak...!!!

Hari-hari libur sesudah lebaran belum tentu merupakan hari libur yang menyenangkan bagi kebanyakan penduduk Jakarta. Lalu lintas kota, memang relatif lebih lengang dibandingkan hari biasa. Maklum saja, konon ada sekitar 2 juta penduduk Jakarta yang mudik ke kampung halamannya untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar masing-masing. Peminat utama golongan pemudik, sudah tentu para ”penguasa” dapur dan rumah kita, yaitu para pembantu rumah tangga. Itu sebabnya .... libur lebaran merupakan ”bencana” tahunan yang tak terhindarkan bagi para ibu rumah tangga.

Memang banyak ditawarkan pembantu pengganti sementara. Tapi dalam kondisi keamanan dan kenyamanan seperti ini, menerima orang asing dirumah, walaupun hanya sementara, tetap penuh resiko. Tidak ada yang bisa menjamin kejujuran dan niat baiknya. Alih-alih membawa solusi, malah bencana yang datang. Jadi solusi bagi orang kaya adalah berlibur keluar kota/negeri atau mengungsi ke hotel. Alternatif lainnya adalah membeli makanan siap saji yang sangat mudah diperoleh. Apalagi pertokoan modern dan grand surface/hypermall hanya tutup di pagi hari lebaran saja. Lewat tengah hari, mereka sudah buka seperti sediakala. Urusan cuci mencuci dan membereskan rumah, bisa ditanggung bersama. Ada mesin cuci dan vacum cleaner yang membantu mempercepat pekerjaan. Tinggal kemauan untuk melaksanakan. Kondisi seperti ini sekaligus sebagai ajang untuk introspeksi bagi kita agar lebih menghargai keberadaan para pembantu rumah tangga.

Lebaran tahun ini, Dedeh, untuk pertama kali selama hampir 5 tahun bekerja di rumah kami, berlebaran di kampungnya, Cihampelas-Cililin. Biasanya dia baru pulang di H+4 sampai dengan H+7, bergantian dengan Nunung adiknya. Tahun ini, karena Nunung sudah berhenti, maka kami mengijinkannya pulang kampung selama lebaran. Ijin ini tentu membawa konsekuensi pada aktifitas keseharian kami. Pasti akan ada kerja ekstra melakukan pekerjaan tumah tangga yang biasa ditanganinya. Walaupun sudah ada mesin cuci, pekerjaan tersebut tetap saja menyita waktu untuk mengeringkan dan menstrikanya. Belum lagi masak memasak. Di lain pihak, ini kesempatan besar bagi anak dan suami untuk ”memaksa” saya turun dapur. Alasannya tentu ada saja ... beli di luar enggak seenak masakan mama. Begitu selalu alasan mereka. Dan saya selalu akan memasak makanan yang mudah, tanpa bumbu yang njlimet seperti biasanya masakan Indonesia.

Pagi ini, usai membereskan kamar tidur dan memeriksa isi kulkas, saya pergi ke Carrefour Lebak Bulus. Niat utama, mencari sayur-sayuran dan buah-buahan. Yang tidak pernah tertinggal tentu saja jamur segar. Portabella, Champignon, shiitake, Shiimeji ... dan ada satu lagi bentuknya seperti jarum... panjang 10cm dengan pentul kecil di ujungnya. Ini jenis sayur yang selalu ada di kulkas dan sangat bermanfaat untuk campuran segala jenis masakan. Dari oseng-oseng, cah sampai nasi goreng.

Sore itu, menu buka puasa (hari ke 3 puasa Syawal), rencananya mau bikin mie kangkung saja. Ini makanan satu porsi lengkap, ada sayuran (kangkung), karbohidrat (mie) dan proteinnya (telur puyuh + suwiran ayam). Jadi tidak terlalu repot menyiapkannya. Buahnya, mangga harum-manis yang lagi musim dan strawberry juice. Wah terbayang deh nikmatnya buka puasa nanti.

Belanjanya orang yang sedang berpuasa seringkali ngawur. Itu sebabnya dianjurkan agar jangan berbelanja saat ”lapar”. Belanja kita, lalu menjadi melewati niat awal dan melebihi budget awal. Apalagi, sebelumnya anak gadis saya, sudah memesan untuk dibelikan ice cream Walls. Nggak tanggung-tanggung ... neapolitan, buble gum dan choco-strawberry. Yang berbau choco, pasti pesanan bapaknya. Dia memang penggila coklat.

Usai membeli keperluan dapur, mata yang lapar ini melahap Kacang madu (kacang tanah rebus yang manis). Seperti biasa, terpajang rapi di depan counter roti. Ini cemilan favorit di rumah yang disantap sehabis shalat tarawih. Dijual dalam kemasan kira-kira 250 gram, kacang madu biasanya terasa hangat. Namun kali ini, kacang madu yang tersaji, dingin. Tidak ada tanda-tanda rasa hangat seperti biasa.


"Mbak ..., kok kacangnya anyep? Nggak hangat seperti biasanya...?”, tanyaku pada seorang perempuan yang melayani pembeli.
”Iya bu ..... Maaf, bu merinya lagi rusak...”, jawabnya.
”...?????,
Dengan bingung saya lalu menjawab :
”ya sudah ... 4 bungkus deh...!”.

Sambil memperhatikan si mbak membungkus kacang madu tersebut saya menduga-duga tentang bu Meri... Siapakah dia, Pemilik jualan kacang? Kok rusak ....?. Sambil berpikir tentang bu Meri yang sedang rusak, saya memperhatikan perangkat tempat saji kacang madu tersebut. Ketika terlihat dasar tempat kacang madu tersebut, hampir meledak tawa saya. Barulah saya sadar siapa atau lebih tepatnya apa yang dimaksud bu meri dalam jawaban si mbak. Untung tawaku masih bisa ditahan, sehingga tidak memancing perhatian orang yang ramai lalu lalang.

Kasihan si mbak yang melayani penjualan kacang madu itu. Tentu dia sama sekali tidak tahu bahwa bu meri yang di maksud itu adalah ”au bain marie”. Dia tentu hanya mendengar orang bicara tentang ”au bain marie” yang di tangkap telinganya sebagai bu meri. Ini istilah Perancis untuk cara mematangkan makanan dengan menggunakan dua panci. Panci pertama diisi air panas dan panci kedua diisi dengan makanan yang akan dimatangkan dan ditaruh di dalam panci pertama yang berisi air. Cara memasak seperti ini digunakan untuk membuat caramel – puding atau mencairkan cooking – chocolat. Dan yang lazim kita lihat adalah dalam penyajian makanan di restoran atau pesta pernikahan untuk menjaga agar makanan tetap hangat, tanpa berisiko gosong.

International culinary memang banyak menggunakan istilah dari bahasa Perancis. Maklum saja, negerinya Jacques Chirac, di samping memang sangat terkenal dalam bidang wewangian (perfume) dan adi busana (haute couture) juga terkenal dalam bidang masak-memasak. Semuanya menyiratkan kualitas rasa dan penyajian yang sangat berseni. Tidak heran bila berbagai istilah masak-memasak internasional banyak mengadopsi bahasa Perancis. Sebut saja, istilah ”menu a la carte”, masakan ”Kakap a la meuniere”, ”pot au feu” dan lain-lain ...., termasuk istilah “au bain marie” tadi. Salah satu istilah makanan yang juga menghebohkan adalah istilah “cordon bleu”.

Beberapa waktu yang lalu, boss meminta saya untuk mengkoreksi barang cetakan hotel, termasuk daftar menu hotel. Nah salah satu menu yang harus dikoreksi adalah “Chicken Gordon Blue” yang menurut saya, seharusnya ditulis sebagai “Chicken Cordon Bleu”. Nama Cordon Bleu memang mengacu pada salah satu nama restoran yang sangat terkenal di Paris. Mungkin dari sanalah tercipta menu daging ayam goreng ini.

Namun apa boleh buat, koreksi tersebut malah diprotes keras oleh “penguasa” hotel, katanya :
"
"Bu .... kenapa tulisan Chicken Gordon Blue diganti?”, tanyanya melalui telpon.
”Setahu saya, istilah yang benar memang Cordon Bleu. Bukan Gordon Blue. Ini nama yang diambil dari bahasa Perancis”.
“Tapi ... saya sudah mengeceknya di Hotel “X”. Mereka menggunakan istilah Gordon Blue ... bukan Cordon Bleu! Tidak mungkin mereka salah ... Hotel itu kelasnya boutique hotel. Bukan hotel kelas melati. Saya yakin betul yang tertulis adalah Gordon Blue, bukan Cordon Bleu. Jadi jangan mengubah-ubah istilah itu seenak!!!”, nada suaranya agak mengeras.
“Ya sudah ... Terserah deh, mau pake Gordon Blue atau Cordon Bleu, isinya kan tetap sama. Filet ayam yang diisi keju dan smoke beef, dilapisi tepung panir, lalu digoreng. Lagipula, saya hanya menunjukkan istilah yang benar. Bukan ingin berdebat. Kalau anda yakin itu istilah yang benar, silakan saja menggunakannya”.

Begitu banyak istilah asing yang diadopsi dalam ucapan dan ungkapan sehari-hari. Beberapa di antaranya seperti fait accompli, a priori dan istilah lainnya seringkali salah dalam penggunaan dan penerapannya. Sehingga nuansa yang tercipta menjadi berubah. Yang seharusnya netral menjadi negatif atau bahkan salah kaprah. Usaha untuk memadankannya dengan bahasa asli Indonesia, tidak selamanya berhasil. Penyebabnya bisa jadi karena tidak ditemukan istilah yang pas atau kurang enak ditelinga dan tidak nyaman diucapkan. Atau mungkin kegemaran masyarakat kita untuk menggunakan istilah-istilah asing (walaupun salah ucap atau salah tempat) memang tidak bisa dihindari. Mungkin agar kelihatan lebih keren dan berkelas, gitu ......!!!

Lebak bulus 27oktober2006.

2 komentar:

  1. Mungkin hotel tersebut sengaja memplesetkan nama "cordon bleu" menjadi gordon blue. Mengingat nama tersebut pastinya sudah dipatenkan, kemungkinan pihak hotel menggunakan nama yang sama mungkin khawatir dengan dampaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rasanya agak mustahil Cordon bleu bisa dipatenkan .... bisa2 diprotes banyak orang krn cordon bleu itu artinya tali/pita biru

      Hapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...