Sabtu, 07 Januari 2012

Renungan Menjelang Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia

Akankah kejayaan Maritim Indonesia berulang lagi?

Nenek moyangku …
Orang pelaut ….
Ini adalah penggalan lirik lagu jadul banget. Yang seringkali dinyanyikan anak sekolah dasar saat aku masih kecil. Lagu ini mungkin tidak pernah lagi dinyanyikan oleh murid sekolah dasar abad ke 21, sehingga sayapun lupa akan liriknya. Lirik lagu yang patriotik ini, pasti sudah dilupakan anak-anak dan digantikan oleh lagu pop yang dinyanyikan Peterpan, Samsons atau Ratu.

Dalam pelajaran sejarah dulu, disampaikan bahwa armada laut Indonesia berkembang sangat pesat pada masa kerajaan Sriwijaya. Lalu lintas perdagangan internasional masa itu, mungkin tidak kalah ramainya dengan lalu lintas perairan masa kini. Saudagar India dan Cina silih berganti mengunjungi pusat kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Sisa masa kejayaan tersebut masih bisa ditelusuri. Tengoklah, tarian dan pakaian tradisional Sumatera Selatan hampir mirip dengan tarian dan pakaian tradisional Thailand (kerajaan Siam). Bisa jadi, Thailand pernah berada di bawah pengaruh Sriwijaya atau justru kerajaan Sriwijaya berada di bawah pengaruh Thailand?. Lupa pelajaran sejarah, euy…!!! Atau …. apalah. Mungkin tergantung kemauan penguasa Negara untuk menuliskan sejarah masa lalu bangsanya.

Lenyapnya pengaruh kerajaan Sriwijaya tidak menyurutkan kejayaan armada laut kerajaan-kerajaan di Indonesia. Era kerajaan Majapahit kemudian menggantikannya. Konon patih Gajah Mada, untuk menepati sumpah Palapa yang diucapkannya, kemudian menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara.

Pada masa penjajahan Belandapun, semangat dan darah laut pemuda Indonesia tak pernah surut. Tengok saja perjuangan Yos Sudarso yang gugur di laut Arafuru dalam perang perebutan Irian (walau ada bisik-bisik, beliau gugur karena ada anak buahnya yang tidak menurut perintah komando). Atau keberanian prajurit marinir Indonesia saat konfrontasi dengan Singapura dan Malaysia di awal tahun 1960an.

Indonesia memang kaya dengan tradisi kelautan. Tentu saja bukan hal yang aneh. Sejak jaman dahulu, tradisi kelautan memang sudah berkembang. Berbagai bentuk kapal dan perahu layar bercadik lalu lalang menempuh ombak dan badai. Dari yang sederhana hingga perahu Phinisi Bugis yang terkenal. Apalagi, dari seluruh luas wilayah Indonesia, 70% terdiri dari wilayah perairan dan hanya 30% saja wilayah daratan. Bandingkan juga panjang perbatasan darat wilayah kedaulatan Indonesia dengan negara tetangga, yaitu panjang perbatasan dengan Malaysia di pulau Kalimantan bagian utara, perbatasan dengan Papua New Guinea di pulau Irian serta perbatasan dengan Timor Leste di pulau Timor dengan panjang perbatasan (maya) teritori perairan nusantara, yaitu perairan lepas dengan batas maya yang menandai wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia dengan perairan internasional. Dengan kondisi ini, sepatutnyalah kita memiliki kekuatan maritim yang prima.

Benarkah Indonesia berjaya di lautan bebas?

Belum lama berselang, usai kekalahan Indonesia di Mahkamah Laut Internasional dan harus menyerahkan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia, armada laut kerajaan bekas jajahan Inggris ini melakukan “provokasi” di perairan Ambalat. Entah bagaimana jalannya “pertarungan laut” antara dua negara bertetangga ini, namun di masyarakat timbul kesan, bahwa armada Indonesia agak “keteteran” menghadapi kecanggihan peralatan armada laut kerajaan Malaysia.

Sebetulnya, hal itu tidaklah mengherankan. Lihat saja, bagaimana kapal asing penangkap ikan menjarah kekayaan laut Indonesia. Bukan saja di wilayah batas perairan nusantara dengan wilayah perairan internasional. Tetapi dengan beraninya, kapal-kapal asing ini merasuk masuk jauh ke wilayah perairan nusantara. Hingga saat ini entah sudah berapa besar kekayaan alam – lautan Indonesia digaruk termasuk kekayaan kapal karam. Semata-mata karena adanya permainan dengan oknum penguasa atau betul-betul karena minimnya kekuatan armada laut Indonesia untuk menjaga kekayaan alam?
*****

“KRI Tanjung Nusanive – 973 ini, tadinya adalah kapal komersial milik PT Pelni”
“Lho .....? Jadi ini kapal perang atau kapal transportasi biasa? Maksud saya, kapal yang dioperasikan oleh TNI-AL tetapi hanya untuk keperluan pengangkutan logistik dan prajurit saja”
“Tidak ... ini memang sudah dimodifikasi menjadi kapal perang!”
“Waduh....., saya membayangkan, kapal perang itu seperti yang ada di film amerika. Ada landasan tempat pesawat tempur take off dan landing. Ada peralatan tempur yang lengkap…”
“Oh … itu Kapal Induk, namanya”
“Berapa kapal induk yang dimiliki Indonesia?”
“Tidak ada ....”
“ ....?????? Apa saya nggak salah dengar? ”
“Betul .... Indonesia belum memiliki kapal Induk. Belum perlu!”
“Belum perlu ....? Bagaimana mungkin, Indonesia tidak memerlukan Kapal Induk untuk mengawasi perairan nusantara yang sedemikian luas? Saya membayangkan, idealnya ada 2 kapal Induk. Satu untuk armada Barat dan satu lagi untuk armada Timur. Dengan adanya dua kapal induk itu, tentu pengawasan wilayah kedaulatan negara Indonesia bisa ter “cover” dengan baik ....”
“Indonesia, belum punya uang untuk membeli Kapal Induk”
“Atau … prioritas alokasi pembiayaan strategi pertahanan negaranya, yang kurang tepat?”
“no comment”
“Mestinya … alokasi anggaran pertahanan Negara diprioritaskan untuk pertahanan wilayah laut dan udara. Bukan untuk pertahanan darat seperti yang dilaksanakan selama ini. Bukankah sebagian besar wilayah Indonesia terpapar ke arah lautan dan udara bebas, tanpa batas. Hanya sedikit saja yang berbatasan dengan wilayah daratan Negara tetangga.”

Sok tahu …..!!! Siapa kamu, sok jadi analis strategi pertahanan Negara?
*****

Duh sedihnya….. Angkatan Laut Negara nenek moyangku yang pelaut itu, yang dahulu kala konon kekuatannya sangat ditakuti, ternyata minim peralatan pertahanan lautnya. Kapal perangnya hanyalah kapal-kapal rongsokan, lungsuran kapal komersial dari PT PELNI. Yang karat-karat besinya sudah tak mampu lagi disembunyikan dan kebocoran menyeruak di berbagai bagian dek-deknya. Mungkin masih baik “kemampuannya” bila kapal itu adalah kapal perang lungsuran Jerman seperti yang pernah diupayakan oleh Habibie untuk diambil oleh pemerintah Indonesia, beberapa tahun yang lalu. Sayangnya, kapal lungsuran Jerman itupun masih juga dibebani oleh dugaan kasus korupsi. Dan sekarang entah dimana digunakannya.

Lalu, kemana dan apa saja aktivitas PT. Dok Koja dan PT. PAL Indonesia. Mana kapal laut hasil karya putra-putri Indonesia? Bukankah, seharusnya kapal laut hasil karya mereka bisa mengisi kebutuhan kapal-kapal perang Indonesia? Kok, tidak ada ya …..? Atau telingaku tuli, tak pernah mendengar beritanya dan mataku buta tak mampu lagi membaca berita penggunaan kapal hasil karya anak bangsa untuk pertahanan laut?

Entahlah, di benakku hanya terlintas rasa ketidakpuasan yang amat sangat dalam. Pantas saja, kapal asing merajalela, menggangsir dan menjarah kekayaan alam Indonesia. Pantas saja, perompak Thailand, tanpa khawatir membajak isi perahu nelayan Indonesia yang miskin. Pantas saja nelayan dan pelaut Indonesia masih saja hidup di bawah garis kemiskinan. Pantas saja penyelundupan melalui jalur perairan merajalela. Pantas saja, Malaysia yang luas dan jumlah rakyatnya lebih kecil dari Indonesia, berani “mengusik” kedaulatan Negara kita. Pantas saja .... pantas saja ….. pantas saja. Semua dipantas-pantaskan …. Wuaduh ….!!! Ini betul-betul Republik Mimpi yang Betul-betul Mabok… kali ye….

Semoga, saat terbangun dari mimpi nanti, Indonesia sudah memiliki 2 buah Kapal Induk ... Seperti yang sering kulihat dalam film itu lho.

Siapa tahu Condoleza Rice bermurah hati dan bicara pada George W Bush Jr untuk menghibahkan 2 kapal Induk USA bagi Indonesia yang selalu dirundung bencana. Lalu Mrs Rice berjuang di hadapan kongres untuk menggoalkan kemurahan hatinya itu (lho ... kok mimpi lagi ya...???). Supaya nanti ada lagi kekayaan alam Indonesia di lego ke Amerika, menyusul PSC (Production Sharing Contract) yang sudah diperoleh Exxonmobil, Freeport, Newmont, Chevron Texaco, Conoco Phillips, Arco, Vico, Unocal, Inco …. Daripada digrojoki lumpur panas dan bau oleh operator local semacam Lapindo Brantas? Ayo .... pilih mana?

Lho….lho… belum habis nih … obral … obral…. Siapa mau kekayaan alam Indonesia? Mumpung lagi murah …..!!!

Lebak bulus 15 agustus 2006 jam 21.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...