Malam ini, seperti malam Jum’at lainnya saat tidak ada halangan atau acara, kami ”pisah ranjang” sementara. Saya tidur sendiri atau mengajak anak tidur di kamar kami mengisi bagian tempat tidur yang kosong. Sementara suami mengungsi ke rumah ibunya, menginap disana dan langsung berangkat ke kantor keesokan harinyanya, seusai menemani ibunya sarapan pagi.
Hal ini sudah berlangsung sekitar 4 tahun, yaitu sejak ibunya yang saat ini sudah berusia 85 tahun terkena stroke dan dirawat di RSCM. Jadi sejak itu, seluruh anak lelakinya yang berjumlah 6 orang bersepakat untuk secara bergantian menginap di rumah ibu mereka. Agar bila terjadi sesuatu di malam hari, ada lelaki yang ”bergerak” mengurusi berbagai hal yang diperlukan. Maklum saja, ibu mertua saya sekarang tinggal di rumah hanya dengan perawat yang menemaninya selama 24 jam. Siang hari ada Nelly untuk membantu membereskan pekerjaan rumah. Sebetulnya ada Bayu cucunya yang ikut tinggal dengannya. Tapi ... mana ada anak muda yang betah di rumah menemani nenek-nenek pikun. Jadi seusai kuliah, yang entar sampai jam berapa itu, dia umumnya baru akan tiba di rumah menjelang tengah malam atau rata-rata sekitar jam 22.00..
Entah sampai kapan jadwal menginap itu akan berlangsung dan masih dipatuhi mereka karena ternyata, tidak selamanya berjalan dengan lancar. Lama kelamaan, beberapa dari istri-istri mereka mengeluh akan ”kewajiban” berbagi malam dengan ibu mertua. Maklumlah, jaman sekarang jamannya ”kemandirian keluarga inti”. Anak-anak yang sudah menikah, terutama yang hidup di kota besar, membentuk keluarga inti yang solid. Keluarga yang betul-betul melepaskan diri dari ”pengaruh” keluarga besarnya. Begitu pula adanya dengan kehidupan kami pada lima belas tahun pertama perkawinan.
Seiring dengan berjalannya waktu, ada perubahan persepsi dalam melihat hubungan antara anak dan orangtua yang semakin lanjut usia. Suami saya, terutama, melihat bahwa menemani dan merawat orangtua saat mereka sudah tua dan pikun, ibarat mendapat kesempatan dari Allah SWT untuk meraih ”pahala surga”. Akankah kita kita raih dan dan genggam kesempatan itu atau kita tampik begitu saja. Itu sebabnya suami akan marah sekali kalau kami secara tidak sengaja ”salah ngomong” dan dianggap meledek rutinitasnya tidur di rumah ibunya.
”Nggak usah ngeledek!!! Bayangkan kalau kamu tua nanti dan anakmu sama sekali tidak mau merawat atau bahkan untuk sekedar menengok ibunya”, sahutnya ketus menanggapi ”kesalahan omong” itu. Padahal ledekan itu hanya karena keisengan kami saja. Bukan disebabkan karena kami (anak dan istrinya) berkeberatan.
Tapi... mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakannya itu. Saya selalu meyakini bahwa orangtua adalah cermin bagi anak-anaknya dan apa yang dilakukan orangtua akan menjadi contoh bagi anak-anaknya. Bahkan perhatian dan kasih sayang serta kedekatan hubungan antara orangtua dengan anak akan berbalas dengan hal yang sama saat kita tua nanti. Artinya, bila saat anak-anak masih kecil lebih banyak diasuh dan diurus oleh pengasuhnya, maka kelak saat kita tua nanti maka si anak akan lebih suka menempatkan orangtuanya ke rumah jompo dibandingkan dengan mengurus orangtuanya di rumah dengan alasan yang sebetulnya sangat logis. Supaya para manula memiliki kegiatan bersama di lingkungan yang terjamin. Padahal .. tidak semua orangtua suka berada di panti jompo. Mereka tentu akan lebih suka berada di tengah keluarga bersama anak dan cucu-cucunya serta tinggal di lingkungan yang familiar. Kita mungkin akan berdalih macam-macam untuk menghindari ”kewajiban” mengurus atau tinggal dengan orangtua di kala mereka tua. Yang paling umum adalah dalih ”kemandirian” keluarga dan menghindari konfllik antara menantu-mertua. Memang inipun bukan hal yang mudah untuk dijalani.
Ketika usia sudah mencapai ½ abad, saya seringkali tepekur, bagaimana kelak kami akan menghabiskan masa tua. Akankah kami menghabiskan masa tua di tengah anak – menantu dan cucu-cucu? Ataukah harus menghabiskan waktu dalam kesendirian. Bisa jadi kemungkinan kedua yang akan terjadi. Anak lelaki dan menantu saya sudah memastikan tidak bermaksud tinggal di Indonesia. Tapi, banyak rahasia hidup yang berada di dalam genggaman Allah SWT. Siapa tahu saat kami tua nanti, si anak hilang itu akan kembali tinggal di Indonesia bersama anak – istrinya. Untuk sementara, yah... jalani saja hidup ini sebagaimana adanya.
Dua minggu yang lalu, mertuaku akhirnya meninggal dunia dalam usianya yang hampir 90 tahun. Mungkin lebih baik begitu karena sudah hampir 1 tahun terakhir beliau hanya terbaring di tempat tidur. Sudah tidak mampu lagi berkomunikasi dengan anak-cucu dan cicitnya, apalagi untuk beribadah. Jadi... kualitas hidup seperti apalagi yang bisa diharapkannya? Semoga beliau mendapat tempat yang layak disisiNya.
Lebak bulus, 25 Januari 2007 jam 23.45
reedit 1 Februari 2012 @ Batu
reedit 1 Februari 2012 @ Batu
reedit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar