Jangan bilang saya arsitek ya …. karena profesi ini cuma sempat saya jalani selama 3 tahun pertama di awal masa bekerja. Setelah itu, walaupun bekerja di bidang real estate, dunia arsitektur menjadi ”agak” menjauh dari tugas keseharian. Saya lebih banyak bergelut dengan angka, cashflow dan berbagai istilah kelayakan investasi lainnya. Walaupun ternyata tidak juga bisa dikatakan total ”bercerai” dengan dunia arsitektur, karena evaluasi master plan/site plan maupun rancangan rumah masih juga harus lewat dari meja kerja saya. Eh ... tapi bukan ini yang mau dibicarakan......
Sejak enam bulan yang lalu, pekerjaan rutin saya bertambah dengan mengawasi pembangunan kembali kantor kami. Berkaitan dengan itu, saya terpaksa bergaul kembali dengan dunia arsitektur, walaupun dalam hal ini mewakili pemilik proyek. Nah, sekitar satu bulan yang lalu, untuk mencari bahan finishing bangunan yang sejak awal sudah dimasukkan ke dalam kategori ”owner supply”,, saya mengunjungi gudang marmernya Fagetti di bilangan Cibitung - Bekasi.
Sejujurnya, pengetahuan saya tentang bahan bangunan sudah sangat ketinggalan. Bahkan berbagai istilah arsitektur yang biasa digunakan juga sudah banyak hilang dari perbendaharaan kosakata di dalam batok kepala. Jadi saat ditawarkan marmer slab seharga 400 ribu rupiah per meter persegi, saya tidak bisa ”meraba” ada di posisi mana kualitas marmer tersebut. Itu sebabnya, tatkala ditawari mengunjungi gudang untuk melihat koleksi Fagetti yang ada, kesempatan itu tentu tak layak ditolak.
Bagian penjualan Fagetti mengetahui bahwa penggunaan marmer itu hanya untuk kantor saja, maka saat kunjungan pertama, kami diantar untuk melihat-lihat koleksi marmer yang biasa digunakan untuk kantor. Jadi tidak terlalu mahal. Walaupun demikian, untuk orang awam, tetap saja terasa mahal harganya, yaitu antara US$ 40 sampai US$ 200 saja atau sekitar 375 ribu hingga dua juta rupiah per m2.
Koleksi Fagetti, luar biasa banyaknya, walau terasa monoton karena 80% koleksinya berwarna dasar creme. Warna dasar umum marmer yang banyak diketahui masyarakat.
Dua minggu kemudian, kami kembali berkunjung ke Cibitung untuk memilih secara definitif koleksi marmer yang akan digunakan. Ketika kami bermaksud untuk ”menggelar” gambar rencana lantai dan mendiskusikannya, kami diajak masuk ke ”boutique”, untuk menikmati makan siang sambil diskusi. Begitulah cara Fagetti menjerat kliennya. Melayani hingga hal kecil. Bahkan menu yang ditawarkan untuk makan siang, bukan main-main. A la carte, mulai dari sup buntut hingga NZ steak. Sayangnya, saya kebetulan sedang puasa, sehingga tidak bisa merasakan apakan masakannya juga cukup lezat.
Boutique tersebut ternyata merupakan gudang ”khusus” untuk very high quality marble, yang berharga antara 200 – 1800 Euro. Jadi, harganya bukan lagi dalam US$. Kalau mudahnya 1 euro setara dengan 10.000 rupiah, maka itu berarti bahwa harga marmer yang menjadi koleksi boutique dijual seharga antara dua juta hingga 18 juta rupiah per m2.
Harga yang sangat luar biasa mahal ini mengundang rasa keingintahuan saya, siapa konsumennya. Usai menjelaskan kebutuhan marmer yang akan dipesan kepada penanggung jawab gudang dan sambil menunggu rekan yang sedang menikmati sup buntut, saya beranjak melihat-lihat koleksi termahal, yaitu marmer seharga 1.800 euro per m2 yang berwarna biru. Entah dimana indahnya marmer tersebut yang untuk mendapatkannya saja, ternyata si pemesan, yang konon pemilik salah satu pabrik rokok di Jawa Timur, harus indent selama 18 bulan. Padahal dia hanya membutuhkan marmer seluas 60m2 untuk .......... kamar mandinya. Bayangkan, kalau lantainya saja berharga 18 juta per m2, bagaimana dengan sanitary fixture nya seperti bath tube, kran air dan asesoris lain yang melengkapi kamar mandi tersebut. Bukan tidak mungkin akan berlapis emas 24 karat.
Lebih jauh lagi .... bila kamar mandinya, yang tidak akan pernah dilihat tamu saja sudah sedemikian mewahnya, bagaimana dengan ruang lainnya yang selalu ”dipamerkan” kepada tamu untuk menunjukkan kekayaannya?
Lepas dari si biru yang aduhai mahalnya, saya beranjak melihat-lihat marmer yang diberi label merah. Label yang menurut penanggung jawab gudang, menunjukkan bahwa pemesan sudah membayar lunas pesanannya. Ternyata cukup banyak pemesan yang sudah melunasi marmer mahal tersebut. Sebagian besar pemesan, menilik dari nama dan lokasi tempat tinggalnya, saya duga berasal dari etnis Tionghoa. Namun demikian ternyata, ada juga nama Indonesia asli yang terselip. Salah satunya tercantum nama seorang perempuan yang dikenal sebagai pelukis. Konon beliau juga memiliki rumah mewah di Paris dan Nice Perancis. Konon pula, menurut cerita seorang teman, rumahnya yang super luas di Jakarta dan terletak di kawasan Kemang di manajeri oleh seorang expatriate. Bayangkan ..... seorang expatriate asal Perancis (develop country) bekerja sebagai kepala rumah tangga keluarga Indonesia (under develop country). Duh ... dunia memang terbalik-balik.
Saya jadi teringat pada ipar suami saya yang bekerja sebagai direktur eksekutif suatu lembaga non profit yang bekerja sama dengan Prince Wales Foundation – UK. Suatu saat, dia bercerita bahwa lembaga yang digawanginya mendapat kesulitan untuk memperoleh dukungan internasional, saat mengajukan program pengentasan kemiskinan berbentuk bantuan (langsung) pangan. Rakyat Indonesia dianggap sudah tidak lagi layak mendapat bantuan pangan sebagaimana rakyat Afrika walaupun nyatanya, saat ini busung lapar juga banyak ditemui di Indonesia. Bisa jadi.... selain karena pemerintah Indonesia selalu menutup-nutupi kasus busung lapar agar tidak terekspos ke luar terutama di dunia internasional.
Saya juga teringat pada seorang rekan yang bercerita bahwa suatu saat dia melihat ada tagihan kartu kredit yang bernilai 1,2 milyar rupiah. Bayangkan ..... satu milyar dua ratus juta rupiah untuk membayar 4 (empat) buah telepon gengam bermerek Vertu. Dan satu lagi senilai sembilan ratus juta hanya untuk membayar satu buah tas tangan. Kedua transaksi itu dilakukan di luar negeri.
Begitu juga saat melihat betapa orang-orang Indonesia yang ikut tour ke luar negeri lebih suka menghabiskan waktu untuk berburu barang-barang bermerek, menghabiskan uang puluhan ribu dolar bahkan hingga ratusan ribu dolar demi berburu barang-barang bermerek, dibandingkan dengan mencermati obyek wisata yang dikunjungi. Sungguh luar biasa kayanya orang-orang tersebut.
Mungkin transaksi internasional itu yang menyebabkan negara-negara donor bisa memantau dan mengetahui bahwa ada banyak kalangan atas – pejabat atau mantan pejabat dari Indonesia, negara yang masih digolongkan ke dalam under develop country, namun sebagian rakyatnya memiliki harta baik berupa aset property atau rekening bank yang jumlahnya sangat luar biasa. Yang mampu membuat dunia internasionalpun menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika tahu jumlah kekayaan tersebut. Dan mereka semua memiliki kebiasaan berbelanja yang sangat luar biasa tak terkontrol.
Wallahu’ alam
Minggu 4 maret 2007 jam 22.30 - reedit 19 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar