Minggu, 04 Maret 2012

Anak dan Konsumerisme

Sejak beberapa tahun terakhir ini anakku selalu membujukku untuk membelikannya sepatu/sandal Crocs atau Nike setiap kali dia membutuhkan sepatu/sandal. Anak yang satu ini memang relatif seringkali mengganti sepatu/sandal. Bukan karena ingin memiliki banyak koleksi sepatu/sandal tetapi memang karena struktur kakinya "memakan" sepatu/sandal. Ada saja bagian sepatu/sandalnya yang jebol dan ini berlaku menyeluruh, tidak peduli sepatu/sandalnya terbuat dari bahan yang "murah meriah", tetapi juga sepatu/sandal semacam adidas/kickers.

Entah apa yang menarik dengan Crocs. Bahannya dan modelnya, menurut saya, sama sekali tidak menarik. Padahal, semua orang di kota-kota besar Indonesia nampaknya sangat gandrung dengan Crocs. Tua muda bahkan hingga nenek-nenek. Mereka semua seperti tak peduli dan sangat gandrung dengan sepatu/sandal keluaran Crocs ini. Padahal harganya lumaan selangit ... ini yang asli, karena di pasar juga banyak sandal tiruannya.

Beberapa tahun yang lalu, dalam perjalanan wisata, salah satu peserta, nenek-nenek, yang diperkirakan sudah memiliki cucu, selalu memakai beragam jenis sandal/sepatu crocs dalam setiap kesempatan. Entah berapa pasang crocs yang dia bawa. Semula, aku tak terlalu peduli dengan apa yang dipakainya. Tapi, melihat perilakunya yang main borong segala macam barang bermerek di Gallery Lafayette - Paris dan bahkan berlian di Amsterdam, rasa ingin tahuku muncul dan mulai kuperhatikan penampilannya. 



Gila ....., nenek yang kebetulan suaminya dokter itu termasuk "korban merek" yang nggak pede kalau cantolan di badannya tidak bermerek terkenal. Dandanan dan apa yang tercantol di sekujur tubuhnya betul-betul salah kostum. Gimana nggak? Lha kalo selama perjalanan wisata itu, selain crocs-nya yang berganti setiap hari, gelang dan cincin bertabur berlianpun tak lekang dari pergelangan tangan dan jari-jarinya.

Nah, kembali pada permintaan anakku untuk minta dibelikan Crocs yang selalu kutolak, tentu bukan maksudku untuk berlaku kikir pada anak. Itu kulakukan karena aku nggak mau anakku sejak kecil terbiasa dipengaruhi trend mode. Perilaku untuk selalu tidak mau kalah dengan penampilan teman-temannya atau ingin dianggap termasuk pada suatu golongan, yang pada akhirnya menjurus pada konsumerisme. Apalagi dan sudah sangat dipastikan barang-barang konsumtif bermerek itu berharga mahal.

Aku berpikir, bahwa anakku harus percaya diri pada kualitas pribadinya, bukan atas apa yang dimiliki dan dipakai. Barang - barang bermerek dan mahal sama sekali tidak ada manfaatnya ketika digunakan oleh orang yang "salah". Yang "kampungan" akan tetap terlihat "kampungan" walau ditubuhnya digandoli berbagai macam barang mewah, karena dia tidak tahu kapan, dimana dan harus menggunakan apa untuk setiap kesempatan. Semua diborong jadi satu agar orang lain melihat betapa dia menggunakan semua barang bermerek.. Yang intelek juga tidak akan kehilangan kualitas intelektualnya walau dia hidup dan berpenampilan sederhana serta menggunakan barang-barang berkualitas sederhana.

Tanpa harus menonjolkan barang-barang bermerek tertentu yang digunakan, setiap manusia juga sudah akan terlihat dari kelas mana dia berada. Jadi tidak perlu ditambah-tambah dengan segala sesuatu yang mahal agar "dianggap dan diperhatikan" oleh lingkungannya. Apalagi kalau yang mahal itu diperoleh dengan sedikit "agak memaksakan" diri, bayar mencicil ... pakai Credit Card yang pada akhirnya menjerat diri sendiri.

Kehidupan kota besar yang hedonis ini memang membuat kita menjadi "salah tingkah" ketika kita harus berinteraksi sosial. Mau tidak mau, harus diakui bahwa ada segelintir manusia yang membatasi lingkup pergaulannya berdasarkan materi yang dimiliki. Mereka juga hanya akan bergaul dengan orang-orang yang dianggapnya "sekelas".


Masih teringat, lebih dari 20 tahun yang lalu, saat masih tinggal di suatu perumahan di pinggiran Jakarta, ada ibu-ibu di perumahan tersebut yang mengadakan arisan khusus untuk "pemilik" mobil BMW.

Adik iparku bercerita bahwa di lingkungan perumahannya, yang kebetulan salah satu perumahan kelas atas di Bandung, ada kelompok arisan yang "tarikannya", saat itu, adalah mobil Kijang terbaru. Bisa dibayangkan berapa juta rupiah uang arisannya, kalau pesertanya dibatasi hanya 20 - 30 orang saja. Bagaimana kalau suatu saat setelah mendapat gilirannya, tiba-tiba si peserta menghilang atau tidak mampu meneruskan arisan.

Di kantorku ... ada seorang teman yang seringkali mendapat tamu, teman baiknya, yang seringkali mampir ke kantor setelah "kulakan". Kulakannya, walaupun barangnya kecil mungil, .... amboi... nggak main-main ... Yang paling murah harganya 5 juta dan pernah suatu saat dia membawa barang berharga 200 juta yang akan diantarkannya atas pesanan istri seorang pejabat. Tentu saja mahal, karena kulakannya itu adalah perhiasan berlian. Tidak bisa dibayangkan, kalau si ibu memakai perhiasan seharga 200 juta, lalu tas Hermes yang katanya berharga juga hampir seratus juta rupiah, lalu arlojinya yang pasti juga berharga mahal .... Aduh.... bayangkan kalau si ibu dijambret. Pasti hasil jambretannya bisa digunakan untuk beli rumah ...

Hihihi ... Tapi percaya deh ... kalau dia lewat di depanku, percuma ...!!!  Aku nggak ngerti dan nggak peduli dengan barang mahal, jadi nggak bisa menghargainya... Wah, terbayang pasti dia sakit hati, upayanya memakai barang berharga tidak diperhatikan orang. Padahal, tujuan memakai barang mahal, kan salah satunya supaya diperhatikan orang.

Seorang anak Balita, tentu tidak mengerti apakah bajunya berharga mahal atau bermerek. Anak berpakaian sesuai dengan apa yang dipakaikan padanya sejauh terasa nyaman dan tidak mengganggu geraknya. Tanpa disadari, sebetulnya, perilaku ibu konsumtif sangat besar pengaruhnya terhadap keinginan anak-anaknya. Pada awalnya ... anak kecil tentu tidak menyadari keberadaan barang bermerek. Keinginan ibunya untuk "menonjolkan dan membedakan" anaknya dari segi kemampuan materilah yang mendominasi pemilihan barang-barang yang digunakan si anak. Tentu, karena itulah akan banyak orang yang mengagumi si anak. Mengagumi bukan saja kelucuan si anak, tetapi juga apa yang dipakainya. Dari situlah tersemai bibit "ingin menjadi pusat perhatian" pada di si anak. Hal ini akan terbawa hingga besar. Beruntunglah bila kita sebagai orangtua mampu memenuhi keinginan anak. Tetapi kalau tidak? 

Lepas dari kemampuan ekonomi orang tua, bukankah lebih baik lagi bila kita memupuk rasa percaya diri si anak melalui kualitas diri, bukan pada benda-benda artifisial seperti itu?

Lalu, apakah aku tidak tertarik dengan barang bermerek? Pernah .... pernah!!! Dulu sekali... saat kuliah tahun pertama dan kedua. Kesempatannya memang ada .... Tapi, lama kelamaan terutama setelah menikah dan harus keluar uang sendiri untuk memperoleh barang bermerek itu, terasa betapa mahal harga barang-barang tersebut. Walau kualitas barang-barang bermerek itu memang berbeda.

Sekarang ... ? Ada satu dua barang-barang seperti dari Lancel, Aigner, Burberry, Kate Spade yang umumnya berbentuk dompet kepit. Tapi, kesemuanya itu kudapat sebagai oleh-oleh dari istri boss, saat dia melakukan perjalanan ke mancanegara. Untuk beli sendiri...? Nggaklah ... sayang uangnya! Masih banyak yang bisa dimanfaatkan daripada hanya sekedar memuaskan nafsu. Aku lebih suka apa adanya ... Nggak harus bermerek, yang penting sesuai kemampuan. Banyak juga barang berkualitas, walaupun tidak menyandang merek ternama, terutama kalau kita rajin dan teliti mencari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...