Kamis, 08 Maret 2012

MASALAH PERUMAHAN BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH


PENDAHULUAN
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar yang hakiki dari manusia. Tempat manusia berlindung dari fenomena alam seperti hujan, terik matahari maupun dari gangguan keamanan. Kebutuhan dasar sebagai pelindung diri, yaitu sebagai shelter, secara tradisional,  telah dipenuhi sendiri secara swadaya dan gotong royong.

Perkembangan teknologi, pembagian profesi serta adanya industri jasa pembangun-an rumah menyebabkan fungsi atau porsi pembangunan rumah secara swadaya dan gotong royong, terutama di wilayah perkotaan telah beralih. Pembangunan rumah di wilayah perkotaan, sebagian besar telah diambil alih oleh pihak ketiga. Pembangunan rumah oleh para pengembang industri perumahan untuk skala besar dengan beragam type dan luas rumah baik yang ditujukan untuk golongan menengah ke atas lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang yang sangat lengkap. Belakangan ini, di kota–kota besar, marak dibangun town house yang hanya berisi 10 – 20 unit rumah mewah yang seringkali melanggar aspek tata kota dan tata ruang.

Dari berbagai data, dapat disimpulkan bahwa rumah dan perumahan merupakan kebutuhan dasar yang paling sulit dipenuhi oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Di wilayah Tambora – Jakarta Barat, salah satu wilayah paling padat di Jakarta, masih dapat ditemukan rumah kumuh seluas 20m2 yang dihuni bukan saja oleh satu keluarga yang terdiri dari 4 orang, tetapi juga oleh beberapa keluarga dari 3 generasi.

Sejatinya, target utama dari Program Perumahan Nasional adalah para BMR perkotaan ditambah dengan masyarakat miskin di pedesaan yang saat ini, menurut data survey dari Biro Pusat Statistik (BPS)[i] berjumlah + 31 (tiga puluh satu) juta jiwa.


LATAR BELAKANG.
Perumahan bagi MBR merupakan masalah pelik yang tidak pernah tuntas terselesaikan. Berbagai program telah dicanangkan pemerintah untuk menyelesaikannya. Dari  mulai program sejuta rumah di masa pemerintahan Megawati sampai dengan seribu tower pada periode pertama pemerintahan SBY. Seluruhnya hilang tanpa bekas terhadang oleh berbagai kendala. Dari mahalnya harga lahan, biaya perijinan serta tingginya biaya konstruksi hingga kemampuan pengembang untuk memasok rumah bagi MBR yang hanya pada batas 150.000 unit pertahun.

Hambatan–hambatan tersebut pada akhirnya hanya menambah jumlah backlog perumahan yang saat ini sudah mencapai 13,6 (tiga belas koma enam) juta unit dan pasti akan semakin membengkak dari tahun ke tahun. Dengan demikian, penyelesaiannyapun akan memakan waktu yang cukup lama serta biaya yang luar biasa besarnya.

Kesalahan tersebut tidak dapat semata–mata ditimpakan kepada pengembang. Sebuah industri berkembang dikarenakan adanya potensi keuntungan. Pemerintahlah, melalui Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang wajib mengisi celah yang tidak dapat dimasuki oleh sektor swasta.

SIAPA MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH – MBR

Tinjauan berdasarkan besaran penghasilan
Saat berbicara mengenai golongan masyarakat berpenghasilan rendah, ada baiknya seluruh stake holder negeri memiliki satu pandangan dan kesepakatan mengenai definisi MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH–MBR. Dalam salah satu terbitan Tempo beberapa waktu yang lalu, World Bank menyatakan bahwa masyarakat dengan pengeluaran USD 2–20 per kapita per hari, sudah dapat dimasukkan ke dalam kategori masyarakat berpenghasilan menengah. Dengan kata lain, minimal pengeluarannya Rp.540.000,-[ii] per kapita per bulan atau maksimal Rp.2.160.000,-[iii] per keluarga sudah termasuk golongan masyarakat berpenghasilan menengah.

Mengacu pada Biro Pusat Statistik, secara nasional, BPS menyebut orang miskin itu apabila dalam memenuhi kebutuhan makanan dan minuman serta non makanan di bawah Rp.212.000,- per bulan per orang atau Rp.848.000,- per keluarga yang terdiri dari 4 orang. Nilai garis kemiskinan dari satu daerah ke daerah lainpun berbeda–beda. Di DKI Jakarta, orang akan disebut miskin apabila hanya mampu memenuhi kebutuhan per bulannya di bawah Rp.331.000,- atau Rp.1.324.000,-/keluarga, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebesar Rp.1.112.000,-/keluarga, Bangka Belitung sebesar Rp.286.000.- per kapita atau Rp.1.144.000,-/keluarga, Kepulauan Riau sebesar Rp.300.000,- per kapita atau Rp.1.200.000,-/keluarga dan Jawa Tengah hanya sebesar Rp.192.000,-  per kapita atau Rp.768.000,-/keluarga.

Keluarga yang terdiri dari 4 orang serta memiliki penghasilan di bawah angka–angka di atas dapat digolongkan ke dalam keluarga miskin yang saat ini berjumlah + 31 juta orang atau hampir 8 juta keluarga.

Jumlah golongan miskin atau berpenghasilan rendah akan meningkat tajam apabila acuan yang digunakan adalah penghasilan/pengeluaran di bawah USD 2 per hari per kapita atau Rp.2.160.000,-/keluarga. Padahal, masih menurut World Bank, masyarakat berpenghasilan USD 2–4 per hari per kapita masih tergolong masyarakat yang sangat rentan terhadap gejolak penghasilan. Sedikit saja guncangan terhadap penghasilannya. Dapat mengakibatkan mereka masuk ke dalam golongan masyarakat berpenghasilan rendah.

Tinjauan berdasarkan kemampuan mengangsur KPR.
Bila mengacu pada ketentuan pemerintah dan Undang–undang nomor 1 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman – UU no.1 PKP, minimal luas bangunan yang berhak memperoleh bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan - FLPP adalah 36 m2 dan Peraturan Menteri Keuangan serta Peraturan Menteri Perumahan harga maksimal Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah).

Ketentuan baru kerkenaan dengan luas bangunan minimal sebagai syarat perolehan FLPP, secara langsung akan mempengaruhi harga jual rumah. Minimal akan terjadi peningkatan harga jual sebesar (36–21) m2 atau 15m2, yaitu selisih luas bangunan standar lama dikalikan dengan harga jual bangunan per m2 yang jumlahnya sangat signifikan. Hal ini akan memberatkan masyarakat karena jumlah uang muka yang harus disediakan bertambah besar.

Tinjauan dari daya beli masyarakat.
Pada awal dicanangkannya program Kredit Pemilikan Rumah oleh Bank Tabungan Negara, masyarakat masih sangat beruntung mendapatkan rumah yang sangat layak dihuni, yaitu rumah–rumah dengan luas bangunan 45m2, 54m2 dan 70m2 dengan luas tanah di atas 150 m2, bahkan hingga 300m2.

Menjelang akhir tahun 1980 dan memasuki awal tahun 1990an, type rumah dan luas bangunan mulai mengecil, dimana type 70m2 bangunan sudah mulai tidak lagi mendapatkan subsidi bunga pinjaman dan kemudian ditangani oleh Bank Papan Sejah-tera. Dengan demikian, secara alamiah, para pengembang tidak lagi membangun rumah–rumah type besar.

Tahun demi tahun berlalu. Kucuran dana pemerintah yang digunakan sebagai pendukung program perumahan baik bagi pengembang maupun masyarakat konsumen semakin berkurang. Pemerintah mulai melakukan berbagai pembatasan bagi pengembang maupun konsumen.

Bila pada sebelumnya, pengembang masih memperoleh kucuran kredit untuk pembebasan lahan dan kredit konstruksi, maka kemudian pembebasan lahan harus didanai sendiri. Di lain sisi, maraknya pembangunan perumahan telah menyuburkan percaloan tanah yang menyebabkan peningkatan luar biasa atas harga tanah dan ditambah dengan maraknya mafia pertanahan yang memunculkan berbagai sengketa tanah.

Hal itu pula yang menjadi salah satu sebab usulan agar pemerintah melalui Perumnas bertindak sebagai land bank yang kemudian bekerja sama dengan para pengembang melalui skema Kasiba dan Lisiba, tidak pernah terealisir degan baik.

Di balik berbagai kesulitan pembebasan lahan perumahan, krisis ekonomi pada tahun 1998 membuat daya beli masyarakat semakin merosot tajam. Perkembangan ekonomi masyarakat di berbagai sektor menurun termasuk tentunya daya beli sektor perumah-an. Akibatnya backlog semakin bertambah besar.

Kondisi yang semakin memburuk ini, yaitu kenaikan harga lahan mentah dan bahan bangunan serta kenaikan biaya perijinan  dengan disertai menurunnya daya beli masyarakat “memaksa” pemerintah mencari berbagai terobosan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemenuhan kebutuhan rumah dan mengurangi backlog.

Untuk meningkatkan daya serap industri perumahan serta daya beli masyarakat, pemerintah menurunkan standar luas bangunan yang mendapat fasilitas subsidi bunga. Dari semula luas bangunan 45m2, turun menjadi 36m2. Tidak berselang lama, batas maksimal luas bangunan penerima subsidi bunga KPR diturunkan kembali menjadi 27m2 untuk kemudian berakhir hingga hanya seluas 21m2 saja.

Di samping menurunkan luas bangunan agar harga rumah menjadi terjangkau, pemerintah kemudian mengijinkan penjualan kaling siap bangun–kasiba seraya menaikkan batas maksimum fasilitas kredit. Namun kondisi ini ternyata masih tidak mampu meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga dari tahun ke tahun backlog tetap bertambah besar.

Perumahan untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), demi untuk keterjangkauan harga jual, pada umumnya dibangun di wilayah “pelosok”, jauh dari tempat kerja para penghuninya. Minim fasilitas sosial dan fasilitas umum bagi para penghuninya serta minim pula sarana transportasi yang melayani para penghuni menuju tempat kerja. Kondisi ini kemudian meningkatkan biaya hidup non kunsumsi rumah tangga dimana pada akhirnya sangat memberatkan dan secara perlahan secara struktural “memiskinkan” masyarakat.


BERBAGAI MASALAH PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN.

Siapa konsumen riel industri perumahan
Tanpa melihat figure dan karakteristik konsumennya, backlog sebesar 13,6 juta unit rumah merupakan peluang besar bagi industri perumahan. Itu sebabnya pembangun-an perumahan dan rumah susun di berbagai kota besar, begitu marak. 

Bila melihat standar world bank maupun BPS tentang struktur penghasilan/gaji, maka masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp.3.500.000,-/bulan sudah masuk golong-an masyarakat berpenghasilan menengah. Dalam struktur pegawai negeri sipil umumnya adalah mereka dengan golongan 3A atau sarjana.

Masyarakat berpenghasilan rendah secara riel adalah mereka yang berpenghasilan di bawah garis kemiskinan termasuk di dalamnya mereka yang berpenghasilan sesuai dengan Upah Minimum Regional – UMR serta mereka yang membelanjakan pengha-silannya sebesar USD 2/hari/kapita menurut World Bank atau Rp.2.160.000,-/bulan/keluarga.

Pada kenyataan di lapangan, justru masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp.3.500.000,-/bulan dan terutama mereka yang berpenghasilan UMR dan di bawahnyalah yang paling membutuhkan akses pada kepemilikan rumah. Golongan MBR ini tersebar baik sebagai pekerja formal PNS golongan I. II dan honorer , pegawai swasta golongan rendah serta buruh pabrik maupun mereka yang bergerak di sektor informal dengan penghasilan tak menentu.

Sudah menjadi rahasia umum betapa MBR seringkali berteduh sekedarnya, dalam gubuk sederhana di lahan tak bertuan, di bawah jembatan, di sepanjang jalan layang yang seringkali membahayakan diri mereka maupun pengguna jalan itu sendiri seperti pernah terjadi kebakaran di tempat berteduh MBR yang berada di bawah salah ruas jalan layang di Jakarta.

MBR inilah sebetulnya konsumen riel penyumbang backlog yang tidak pernah tersentuh perhatian pemerintah, baik dari segi pembiayaan maupun akses lainnya agar mereka bisa memiliki tempat tinggal yang lebih layak.

Standard perumahan yang layak.
Pasal 22 ayat 3 Undang–undang no 1 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman mensyaratkan rumah berukuran 36m2 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh FLPP. Dampak dari ketentuan ini secara langsung akan menaikkan harga jual rumah tapak (landed house). Ketentuan luas minimal bangunan tersebut sepertinya dipermudah dengan dinaikkannya batas maksimal KPR menjadi Rp.70.000.000,- .

Memang, standar kelayakan luas minimal perumahan yang berlaku internasional mensyaratkan luas 12 m2/orang. Keinginan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh rumah sesuai dengan standar kela-yakan yang baik, patut diacungi jempol. Standar itulah yang memang digunakan di Negara–negara maju dimana ktidakmampuan masyarakat membayar angsuran pembiayaan rumah yang tinggi diakomodasikan dengan dibukanya akses untuk menyewa apartemen murah dengan subsidi berupa tunjangan sewa apartemen terutama untuk pasangan muda, seperti yang terjadi di Perancis.

MBR di Indonesia hingga saat ini belum membutuhkan standar rumah yang tinggi. Mereka masih berada pada taraf terendah, yaitu cukup bersenang hati dengan memiliki tempat bernaung yang layak dengan penuh ketenangan. Tidak berdesakan dalam ruang multifungsi berukuran 3x4m2. Tentu bukan pula berada dalam gubuk di lahan tak bertuan, di pinggir kali, di tepi rel KA, di kolong jembatan/jalan layang atau bahkan di emperan toko.

Pelaksana pembangunan perumahan dan kawasan pemukiman.
Dalam berbagai data perumahan, pelaksana pembangunan rumah di Indonesia terdiri dari berbagai elemen, antara lain pembangunan secara swadaya, secara gotong royong dalam suatu kaum, pemerintah melalui BUMN/D, maupun partisipasi kalangan industri perumahan yang tergabung dalam Real Estat Indonesia maupun Aspersi.

Masa keemasan pembangunan perumahan telah berakhir sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998. Sejak itu, kemampuan pembangunan atau lebih tepat disebut daya serap masyarakat atas RS yang kemudian beralih nama menjadi RSS seiring dengan pengurangan standar luas, lalu kemudian menjadi RSh, semakin menurun. Sudah beberapa tahun terakhir ini, daya serap RSh tidak lagi beranjak dari 150.000 unit per tahun akibat dari langkanya/keterlambatan pencairan dana subsidi pemerintah, yang juga selalu berubah skema dan penyebutannya.

Ketidakberhasilan pemerintah untuk mengurangi backlog, bagai lingkaran setan yang tak berkesudahan. Minimnya fasilitas kredit konstruksi, suku bunga pinjaman yang tinggi, harga tanah yang semakin meningkat, harga bahan bangunan serta melemahnya daya beli masyarakat serta tersendatnya pencairan FLPP menjadi sebab-sebab terjadinya kegagalan tersebut.

Pasal 42 UU no.1 PKP yang mensyaratkan keharusan ketersediaan perumahan minimal 20% yang dapat diterjemahkan sebagai rumah stock sebagai syarat pemberian fasilitas FLPP kepada konsumen perumahan merupakan tambahan beban biaya bagi pengembang.

Pada akhirnya, mega proyek 1 juta unit rumah untuk rakyat, program 1.000 tower rusun hanya tinggal nama, terkendala baik oleh ketidaksinkronan antara program pemerintah dengan penerapan di lapangan maupun skema pembiayaan.

Tata Ruang yang adil.
Sebuah kota yang adil adalah kota yang mampu mengakomodasikan seluruh kebu-tuhan masyarakatnya sesuai dengan kemampuan masyarakat terkait. Adalah suatu hal yang sangat ideal bila MBR, karena keterbatasan daya belinya dapat bertempat tinggal “di tengah” kota, dekat dengan tempatnya mencari nafkah. Masyarakat menengah dengan segala kemampuan keuangannya masih dapat memilih untuk bertempat tinggal di wilayah elite di pusat kota atau perumahan mewah di sekitar ring road, yang mempermudah akses ke tempat kerja.

Peningkatan kualitas hidup dan keseimbangan lingkungan perkotaan perlu diupayakan secara terus menerus antara lain dengan penataan wilayah kumuh perkotaan, perluasan ruang hijau terbuka. Penataan ruang hijau terbuka, perbaikan wilayah kumuh dan program perumahan sebetulnya dapat dijalankan secara terpadu.

Pada umumnya, kota–kota di Indonesia berkembang dari suatu pusat kegiatan se-perti stasiun, terminal atau alun–alun. Masyarakat Indonesia juga selalu memperlakukan sungai sebagai wilayah “belakang”. Itu sebabnya sebagian besar sungai di Indonesia yang melalui kota selalu memperoleh limbah, baik limbah rumah tangga, bahkan limbah industri tanpa pengolahan apapun juga sehingga pada akhirnya mematikan biota sungai dan menurunkan kualitas air sungai sebagai sumber air baku.

Penataan kota terpadu bisa dimulai dari tepi sungai. Pembebasan wilayah tepi sungai untuk menerapkan garis sempadan sungai dapat dilaksanakan sekaligus untuk pembangunan jalan inspeksi dan kemudian pembangunan rusun baik jenis rusunami maupun rusunawa. Pada lokasi yang strategis, pembangunan rusunawa harus menjadi prioritas agar MBR bisa mendekati lokasi kerja. Hal yang sama juga bisa dilaksanakan pada jalur tepi rel kereta api.


KESIMPULAN DAN SARAN.

Perumahan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi masalah pelik yang tidak terselesaikan. Backlog perumahan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Berbagai upaya yang dicanangkan pemerintah untuk mengatasi masalah ini pada akhirnya hanya menjadi pencitraan bagi pemerintah tanpa ada kelanjutannya.

Harga tanah perkotaan yang semakin tinggi juga menjadi tambahan masalah yang menyebabkan rumah dan rusun bagi MBR tersingkir ke pinggir kota dan bahkan hingga ke pelosok desa. Infrastruktur perkotaan berupa transportasi umum, fasilitas  air minum dan penerangan belum tentu siap mengikuti perkembangan lokasi perumahan tersebut.  Hal ini sudah pasti menambah beban pengeluaran, bukan saja untuk pemerintah yang sewajarnya menyediakan infrastruktur perkotaan, tetapi juga MBR sebagai konsumen. Tidak mengherankan bila daya serap MBR menjadi semakin kecil.

MBR adalah konsumen riel yang sangat membutuhkan rumah. Merekalah sesungguhnya bagian masyarakat penyumbang backlog perumahan saat ini akibat rendahnya daya beli mereka. Untuk itu diperlukan upaya keras untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi mereka.

UU nomor 1 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang semula diharapkan mampu mengatasi dan mengurangi backlog perumahan, pada kenyataan malah semakin memperberat beban para pelaku sektor perumahan. Untuk itu diperlukan “Blue Print” dan upaya radikal (out of the box) untuk mengatasi masalah perumahan antara lain:


  1. Mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud dengan MBR, termasuk ca-kupan sektor pekerjaannya à pekerja sektor formal dan informal.
  2. Menentukan maksimal penghasilan untuk memperoleh FLPP serta jangka waktunya agar MBR dapat hidup dengan layak dengan sisa penghasilannya.
  3. Memprioritaskan pembangunan Rusunawa di perkotaan untuk mendekatkan MBR ke lokasi tempat mereka mencari nafkah dengan memanfaatkan lahan di tepi kali ataupun tepi rel KA. Dilaksanakan sekaligus dalam rangka penataan kota dan penambahan ruang hijau terbuka sebagai paru-paru kota.
  4. Membangun dan menjamin ketersediaan infrastruktur perkotaan (jalan, air minum, penerangan) serta sarana transportasi umum yang aman, nyaman dan murah untuk mengurangi beban biaya pengembang maupun beban hidup konsumen–MBR.
  5. Perlu dilakukan judicial review atas Undang-undang no. 1 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) yang dapat membebani daya beli konsumen maupun biaya/beban pengembang.

Disampaikan oleh Enggartiasto Lukita pada Seminar Nasional Polemik UU no 1 PKP di Le Meridien, Jakarta 8 Maret 2012.



[ii] Kurs 1 USD = Rp.9.000,-
[iii] 1 keluarga terdiri dari 4 orang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...