Rabu, 30 Mei 2012

EKSPLOITASI ANAK DI JALAN RAYA

Setiap hari saat pulang kantor, kemacetan sudah pasti menghadang di perempatan Jl TB Simatupang - Jl. RS Fatmawati. DI sana, puluhan dan bahkan mungkin ratusan mobil antri, menunggu traffic light memberi signal hijau, sehingga mobil bisa melewati perempatan yang selalu sibuk itu.


Berbagai jenis kendaraan memenuhi jalan, saling serobot, seakan tak rela melepaskan meter demi meter yang ditempuh demi kelancaran perjalanan pulang. Apalagi motor-motor yang jumlahnya puluhan. Namun di balik keriuhan raungan mesin kendaraan bermotor, coba perhatikan kegiatan yang terjadi di sela-sela antrian mobil/motor. Di bawah sinar kuning lampu penerangan jalan. Tentu akan tersembul beberapa kepala yang tingginya bahkan lebih rendah dari kaca spion mobil atau motor. Mereka berlari di sela-sela mobil dan motor, berebut sasaran untuk menadahkan tangan-tangan mungil berdebu. Tak dipedulikannya pengap dan kotornya udara akibat terpaan polusi asap kendaraan bermotor.


Menyedihkan tentunya ... di malam yang telah larut, seringkali lewat dari jam 22.00, anak-anak yang seharusnya sudah terlelap di pelukan sang ibu, dalam kenyamanan tempat tidur, masih nanar di tengah keramaian malam. Apakah mereka tidak perlu istrirahat agar esok bisa bangun lebih pagi dan berangkat sekolah? Sudahkan mereka mengerjakan tugas-tugas sekolah? Ah.... jangan-jangan, mereka sama sekali tidak mengenal sekolah ... Jangankan anak-anak kecil yang menurut taksiranku (melihat tinggi badannya) baru berusia sekitar 2 tahun ... bahkan anak-anak yang lebih besarpun, belum tentu mengenal sekolah... Anak siapa mereka...? Begitu teganya orangtua yang melepas dan membiarkan mereka berkeliaran di jalanan, sementara malam sudah sedemikian larut... 


Kepolosan anak-anak itu tak akan pernah mampu memasang wajah memelas untuk meraih belas kasihan pengendara mobil dan motor. Senda gurau tetap terdengar ....., Entah karena memang para pengendara sudah lelah setelah seharian bekerja... atau karena mereka sangat paham betul bahwa anak-anak tak berdosa itu diperalat segelintir orangtua "pemalas" untuk mengais rejeki... Tentu kita tidak berharap bahwa para pengendara motor dan mobil sudah kehilangan empati, nurani dan "rasa" sehingga jarang sekali terlihat tangan menyisipkan selembar uang ke dalam tangan mungil yang tersodor... Begitulah fragmen kehidupan malam, di salah satu sudut, penggalan ibukota Jakarta.
***


Jalan Kyai Maja, tepatnya di depan kolam renang Bulungan, saat pagi atau sore, yaitu pada peak hours. Berbagai ragam merek mobil dan motor turut menambah kemacetan yang sudah terjadi akibat deretan metro mini yang tidak pernah mau mentaati traffic light. 

Beberapa waktu yang lalu, sambil menunggu kendaraan maju, pandangan mataku terpaku pada sosok lelaki berumur sekitar 20an. Berpenampilan kumal bertato yang sedang menggendong bocah umur sekitar 8 tahun. Sempat terbersit rasa kagum melihatnya. Semula kupikir dia sedang menggendong adiknya dan ini merupakan pemandangan yang sangat langka. Seorang lelaki muda, walaupun berwajah dingin dan bertato, mau bersusah payah menggendong adiknya.

Bocah kecil di gendongan itu asyik memain-mainkan koin rupiah. Namun sayangnya, ia lengah dan koin tersebut jatuh menggelinding ke bawah metromini. Si "kakak" begitu marahnya sehingga dengan kasar dia melepaskan bocah dari gendongan ke jalan disela-sela kendaraan yang berhenti di tengah kemacetan. Bocah itu ternyata hanya berkaki satu dan untung juga dia cukup waspada untuk tidak terlempar dari gendongan. Si "kakak" begitu marah ...... Mereka rupanya "pasangan pengemis" yang mengais belas kasihan dengan memanfaatkan tubuh cacat si bocah. 

Pintu metro mini selalu terbuka, tanpa terduga, dilemparnya si bocah ke dalam metro mini. Tanpa terduga, dengan lincahnya si bocah mulai beroperasi, merangsek masuk ke dalam metro mini. Sementara si "kakak" berusaha meraih koin yang terjatuh sebelumnya.
***

Pemanfaatan orang cacat, anak-anak balita atau bayi sakit-sakitan sebagai umpan belas kasihan masyarakat kerap terlihat di perempatan jalan atau di kendaraan umum. ini adalah cermin kemiskinan yang merasuk di masyarakat. Kalau pemerintah selalu mengklaim bahwa tingkat kemiskinan telah menurun, maka itu hanya hitungan di atas kertas berdasarkan teori dan asumsi yang dibuat secara sepihak. Bukan berdasarkan fakta di lapangan. Apapun alasan yang disampaikan dan berbagai asumsi yang dibuat untuk menutupi kondisi riel masyarakat, itulah bukti ketidakberdayaan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraaan rakyat.

Kemiskinan memang "memaksa" mereka untuk menghalalkan segala cara untuk meraih uang pembeli sebungkus nasi karena lapangan pekerjaan sangatlah mustahil dimasuki oleh mereka yang tidak memiliki bekal pendidikan yang cukup. Mau berdagang, apalagi ... darimana modal bisa diperoleh? Mungkin juga mereka berpikir bahwa mengemis masih lebih baik daripada mencuri atau merampok karena profesi "pencuri dan perampok" sudah "dirampok" oleh golongan elite berdasi yang tanpa malu-malu mencuri dan merampok duit negara .... Duit yang sebetulnya hak masyarakat .... Duit yang sejatinya harus dikembalikan untuk dinikmati masyarakat dalam bentuk berbagai fasilitas pelayanan kesehatan "murah" di puskesmas, sekolah gratis berlabel wajib belajar ... pembangunan infrastruktur di berbagai pelosok negeri agar denyut pembangunan merata di hampir seluruh wilayah negeri tercinta.

Kini, di tengah maraknya kasus-kasus perampokan duit negara oleh perampok elite serta himbauan pemerintah daerah untuk tidak memberi uang kepada anak jalanan agar mereka "kapok" dan kembali ke rumah, apa yang harus kita lakukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...