Hari ini, Sabtu 2 Juni 2012 adalah hari pengumuman hasil Ujian Nasional tingkat SMP se Indonesia. Hasilnya tidak lagi mengejutkan karena sejak tanggal 1, resume hasil ujian tersebut sudah tersebar di dunia maya. Terlebih lagi untuk DKI Jakarta yang hanya menyisakan 1 siswa yang gagal dalam UN. Itupun konon kabarnya karena yang bersangkutan tidak mengikuti ujian akhir. Jadi.... kalaupun anak-anak berdatangan ke sekolah dan konon pula diwajibkan hadir mendengarkan pengumuman hasil ujian, tentu hanya merupakan seremoni saja.
Begitulah keadaannya, maka Jum'at sore, anakku memberikan surat pemberitahuan dari sekolah bahwa siswa wajib hadir mendengarkan pengumuman hasil ujian dengan disertai imbauan, sekiranya orangtua berkenan hadir.
Sayangnya, kami tidak dapat hadir. Suamiku sudah lama berniat hadir dalam acara pernikahan kolega mudanya (lebih tepat "anak", karena aku yakin, usianya seumur anak pertama kami) yang lokasinya nun "di ujung" utara Jakarta, alias Jakarta Utara. Di salah satu wilayah yang bernama Semper. Biasanya orang akan senang hadir bila acara resepsi pernikahan diselenggarakan di gedung pertemuan kelas atas yang mewah dan ber AC, namun jarang yang berkenan hadir bila diselenggarakan di perumahan apalagi perumahan yang letaknya di pelosok kota.
Aku sendiri, seperti biasa, "merasa wajib" hadir di IF, yang dulu dikenal sebagai CCF, untuk meluruskan otak yang sudah keriting sepanjang hari kerja. Apalagi karena Jum'at tanggal 1 Juni itu, lalu lintas di Jakarta Selatan, sejak pagi saat berangkat kantor hingga sore selewat maghrib saat pulang kantor, sedang kacau balau, bikin stress berkepanjangan. Jadi bertambahlah alasan untuk merasa wajib hadir di IF. Maka... dengan sangat menyesal, aku membalas SMS dari guru bantu di kelas anakku, bahwa kami tidak hadir pada acara pengumuman tersebut.
Tadi pagi, dalam perjalanan ke IF, anakku kirim pesan melalui BB, yang berisi adalah nilai ujiannya. Padahal .... waktu pada saat itu belum lagi lewat dari jam 09.00. Jadi, aku yakin, dia masih berada di rumah dan nilai ujian tersebut sudah diperolehnya dari web site Depdiknas. Tapi biarlah ... anak2 pasti ingin melampiaskan kegembiraannya bersama teman sekelas. Maka, berangkatlah si anak, diantar bapaknya, dalam perjalanan menuju Semper dengan kesepakatan, aku wajib menjemputnya di sekolah setelah selesai acara di IF sekitar jam 13.00.
Tepat jam 12.45, aku sudah berada di pelataran sekolah, Sudah agak sepi dan satpam sekolah menyatakan bahwa sebagian besar anak-anak sudah pulang. Namun karena sudah janji, maka kutelpon anakku, memberitahu bahwa aku sudah menunggunya di tempat parkir.
Sekitar 10 menit kemudian, anakku masuk mobil dengan raut muka yang agak kurang menyenangkan.
" Ada apa non....? Lulus, kok malah murung...?"
"Itu ma... Audi"
"Ya .... kenapa..? Kan semua anak lulus... apalagi yang perlu dibuat sedih?"
"Nah, itulah..! Kami juga nggak ngerti... Tadi dia datang sama bapaknya. Wajahnya murung ... trus waktu kami tanya kenapa, eh dia malah nangis...!"
"Mungkin ada musibah di keluarganya?"
"Musibah sangat besar.....!!!"
"Ada apa..?
" Ibunya marah besar karena hasil UN-nya cuma 34. Padahal mau ibunya, dia harus dapat minimal 36 supaya bisa masuk SMAN yang diinginkan ibunya, dan SMAN itu mematok nilai UN segitu untuk dapat diterima di situ."
"Ah.... masih ada SMAN lain .... memang apa istimewanya SMAN itu?"
"SMAN favoritlah.... apalagi, kalau bukan itu?"
"Masuk SMAN favorit bukan jaminan masa depan yang cerah. Setiap anak bisa punya masa depan yang sama cerahnya, dimanapun dia sekolah. Lebih tergantung pada kualitas anak dan kehidupan/kecakapan sosialnya. Tidak semata-mata dari kemampuan akademis. Percaya deh..."
"Tapi ibunya marah-marah, malah dia dibilang anak yang nggak ada gunanya..."
"Astaghfirullah ......."
Aku tercenung... sedih, prihatin mendengar cerita anakku.... Di hari yang sebetulnya sangat membahagiakan ini ada seorang anak yang menangis karena ibunya mengatakan dia sebagai anak yang tidak ada gunanya. Hanya karena si anak memperoleh nilai ujian 34 koma. Si anak tidak berhasil mencapai nilai UN 36 yang berarti rata-rata 9 sebagaimana keinginan si ibu. Ibu yang konon merasa sudah mengorbankan banyak uang untuk membiayai pelajaran tambahan berupa les-les dan bimbingan belajar di luar sekolah. Padahal... dengan pencapaian 34 koma itu, si anak sudah memperoleh nilai ujian rata-rata di atas 8,5. Jauh di atas batas kelulusan siswa. Apalagi yang kurang....?
Masih banyak cerita anakku tentang temannya tersebut terutama tentang kehidupan keluarganya sebagaimana yang seringkali dikeluhkannya. Cerita yang rupanya sudah menjadi rahasia umum.
***
Penerimaan siswa baru tingkat SMP Negeri dan SMA Negeri selalu mensyaratkan nilai ujian tertentu sebagai passing grade. Itu bisa diartikan bahwa secara tidak langsung "anak-anak kurang pintar" tidak berhak mendapat sekolah yang "baik dan berkualitas". Mereka sudah divonis sejak awal oleh segolongan orang yang kepadanya selalu ingin disebut sebagai "pendidik". Lagipula, apa definisi serta kriteria "sekolah yang baik dan berkualitas" di negeri yang segalanya ingin hasil yang serba instant ini?
Itukah arti pendidik? Yang sejak awal sudah memilah-milah murid berdasarkan "otak"nya, sementara secara bisik-bisik, hasil kerja otak pada saat Ujian Nasional itupun sudah disusupi oleh kunci-kunci jawaban yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Aku bersyukur bahwa sekolah anakku dipujikan sebagai sekolah yang bersih dari praktek sejenis itu. Maka ....pendidikkah namanya yang "mengajarkan" anak muridnya "mensiasati" ujian nasional dengan cara memberikan kunci jawaban hanya untuk alasan agar sekolahnya "dipandang" sebagai sekolah dengan hasil ujian yang tinggi. Padahal ... praktek seperti itu sama juga dengan mengajarkan anak perilaku yang sangat tidak terpuji .... Perilaku yang akan membekas di dalam sanubari si anak. Kelak di kemudian hari, saat terjun di masyarakat, bukan tidak mungkin "bekas" itu akan tercermin dalam perilaku umum sebuah generasi. Sebuah generasi yang kehilangan orientasi akan nilai kebenaran dan kejujuran.
Padahal.... coba lihat dan baca buku-buku biografi orang-orang ternama .....!!! Mereka
umumnya adalah orang-orang yang seringkali meninggalkan bangku sekolah/kuliah entah karena memang tidak mampu bersekolah karena kemiskinan atau karena mereka malah menganggap bahwa sekolah/kuliah membelenggu jiwa/kebebasan berekspresi dan mengungkung imajinasi. Namun yang pasti, mereka yang berhasil adalah orang-orang yang memiliki semangat pantang menyerah dan visi yang jauh melampaui batas dinding sekolah. Kesemuanya ini belum tentu bisa diperoleh dari sekolah. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya selain sekolah .....
Ah, ya.... ada juga tuh .... Visi dan semangat pantang menyerah yang diperoleh dari sekolah....! Dari seorang guru sederhana di SD Muhammadiyah yang hampir roboh di Belitong. Dan itupun, hanya berdampak kepada Andrea Hirata semata .... Jadi, masa depan dan keberhasilan anak tidaklah semata ditentukan oleh "otak"nya...
Orang tua, sistem pendidikan, sistem penerimaan siswa di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Masih segar dalam ingatan... peristiwa 1 tahun yang lalu di Surabaya. Seorang anak SD dan orangtuanya dihujat, dikucilkan dan kemudian diusir dari lingkungan hanya karena mereka melaporkan kecurangan yang dilakukan sekolah saat ujian nasional. Sekolah dan orangtua murid berang karena "kebenaran" yang diungkapkan keluarga tersebut. Itulah potret sebagian pendidikan di Indonesia, kala nilai ujian menjadi berhala baru ....
***
Teman anakku mungkin sudah menerima kenyataan dan sadar bahwa kemarahan ibunya disebabkan karena "pengorbanan materi" yang sudah dilakukannya tidak sepadan dengan hasil yang diberikannya. Tapi, dia juga sama tidak mengertinya, mengapa hasil 8,5 yang diperolehnya tidak memuaskan ibunya, sementara sebagian besar teman lainnya hanya mendapat nilai di bawah 34. Dan mereka masih bisa bergembira dan merayakan kelulusannya di tengah ke dua orangtua mereka.
Remaja itu mungkin belum sepenuhnya mengerti bahwa masa depan dan karirnya nanti tidak semata-mata ditentukan oleh hasil ujian SMPnya hari ini. Ini baru sebagian kecil dari perjalanan hidupnya dan proses yang harus dilaluinya menuju masa depan. Jalan menuju masa depan yang masih sangat panjang....., dan yang pasti dia masih butuh uluran kasih sayang, dukungan, dorongan orangtua terutama ibunya dan tentu saja bantuan biaya sekolah.
Anak adalah titipan yang dipercayakan Allah SWT kepada sepasang manusia yang berlabel orangtua. Mereka tidak pernah minta dilahirkan, sebaliknya orangtualah yang menginginkan kehadirannya. Maka ... menjadi kewajiban orangtualah untuk "mengurusnya" dengan baik dan penuh kasih sayang. Bukan dengan perhitungan untung rugi atau berdasarkan azas manfaat.
Kalau hanya karena nilai UN SMP setinggi 34 saja dia sudah dimaki (ah... kok bahasanya kasar sekali...?) sebagai anak tak berguna ...., maka maro kita doakan semoga Allah SWT tidak mendengar ucapan ibunya itu .... Semoga malaikat-malaikat lupa mencatat ucapan sang ibu .... Jangan sampai ucapan ibu yang seringkali dianalogikan sebagai "doa" buat anak, terjadi.....! Agar anak itu tidak patah semangat. Agar dia tetap mendapat kesempatan membuktikan diri sebagai anak yang berguna dan mampu memberikan kebanggaan bagi orangtuanya. Karena, aku tahu ... anak itu sungguh manis budi dan pandai ....
Begitulah keadaannya, maka Jum'at sore, anakku memberikan surat pemberitahuan dari sekolah bahwa siswa wajib hadir mendengarkan pengumuman hasil ujian dengan disertai imbauan, sekiranya orangtua berkenan hadir.
Sayangnya, kami tidak dapat hadir. Suamiku sudah lama berniat hadir dalam acara pernikahan kolega mudanya (lebih tepat "anak", karena aku yakin, usianya seumur anak pertama kami) yang lokasinya nun "di ujung" utara Jakarta, alias Jakarta Utara. Di salah satu wilayah yang bernama Semper. Biasanya orang akan senang hadir bila acara resepsi pernikahan diselenggarakan di gedung pertemuan kelas atas yang mewah dan ber AC, namun jarang yang berkenan hadir bila diselenggarakan di perumahan apalagi perumahan yang letaknya di pelosok kota.
Aku sendiri, seperti biasa, "merasa wajib" hadir di IF, yang dulu dikenal sebagai CCF, untuk meluruskan otak yang sudah keriting sepanjang hari kerja. Apalagi karena Jum'at tanggal 1 Juni itu, lalu lintas di Jakarta Selatan, sejak pagi saat berangkat kantor hingga sore selewat maghrib saat pulang kantor, sedang kacau balau, bikin stress berkepanjangan. Jadi bertambahlah alasan untuk merasa wajib hadir di IF. Maka... dengan sangat menyesal, aku membalas SMS dari guru bantu di kelas anakku, bahwa kami tidak hadir pada acara pengumuman tersebut.
Tadi pagi, dalam perjalanan ke IF, anakku kirim pesan melalui BB, yang berisi adalah nilai ujiannya. Padahal .... waktu pada saat itu belum lagi lewat dari jam 09.00. Jadi, aku yakin, dia masih berada di rumah dan nilai ujian tersebut sudah diperolehnya dari web site Depdiknas. Tapi biarlah ... anak2 pasti ingin melampiaskan kegembiraannya bersama teman sekelas. Maka, berangkatlah si anak, diantar bapaknya, dalam perjalanan menuju Semper dengan kesepakatan, aku wajib menjemputnya di sekolah setelah selesai acara di IF sekitar jam 13.00.
Tepat jam 12.45, aku sudah berada di pelataran sekolah, Sudah agak sepi dan satpam sekolah menyatakan bahwa sebagian besar anak-anak sudah pulang. Namun karena sudah janji, maka kutelpon anakku, memberitahu bahwa aku sudah menunggunya di tempat parkir.
Sekitar 10 menit kemudian, anakku masuk mobil dengan raut muka yang agak kurang menyenangkan.
" Ada apa non....? Lulus, kok malah murung...?"
"Itu ma... Audi"
"Ya .... kenapa..? Kan semua anak lulus... apalagi yang perlu dibuat sedih?"
"Nah, itulah..! Kami juga nggak ngerti... Tadi dia datang sama bapaknya. Wajahnya murung ... trus waktu kami tanya kenapa, eh dia malah nangis...!"
"Mungkin ada musibah di keluarganya?"
"Musibah sangat besar.....!!!"
"Ada apa..?
" Ibunya marah besar karena hasil UN-nya cuma 34. Padahal mau ibunya, dia harus dapat minimal 36 supaya bisa masuk SMAN yang diinginkan ibunya, dan SMAN itu mematok nilai UN segitu untuk dapat diterima di situ."
"Ah.... masih ada SMAN lain .... memang apa istimewanya SMAN itu?"
"SMAN favoritlah.... apalagi, kalau bukan itu?"
"Masuk SMAN favorit bukan jaminan masa depan yang cerah. Setiap anak bisa punya masa depan yang sama cerahnya, dimanapun dia sekolah. Lebih tergantung pada kualitas anak dan kehidupan/kecakapan sosialnya. Tidak semata-mata dari kemampuan akademis. Percaya deh..."
"Tapi ibunya marah-marah, malah dia dibilang anak yang nggak ada gunanya..."
"Astaghfirullah ......."
Aku tercenung... sedih, prihatin mendengar cerita anakku.... Di hari yang sebetulnya sangat membahagiakan ini ada seorang anak yang menangis karena ibunya mengatakan dia sebagai anak yang tidak ada gunanya. Hanya karena si anak memperoleh nilai ujian 34 koma. Si anak tidak berhasil mencapai nilai UN 36 yang berarti rata-rata 9 sebagaimana keinginan si ibu. Ibu yang konon merasa sudah mengorbankan banyak uang untuk membiayai pelajaran tambahan berupa les-les dan bimbingan belajar di luar sekolah. Padahal... dengan pencapaian 34 koma itu, si anak sudah memperoleh nilai ujian rata-rata di atas 8,5. Jauh di atas batas kelulusan siswa. Apalagi yang kurang....?
Masih banyak cerita anakku tentang temannya tersebut terutama tentang kehidupan keluarganya sebagaimana yang seringkali dikeluhkannya. Cerita yang rupanya sudah menjadi rahasia umum.
***
Penerimaan siswa baru tingkat SMP Negeri dan SMA Negeri selalu mensyaratkan nilai ujian tertentu sebagai passing grade. Itu bisa diartikan bahwa secara tidak langsung "anak-anak kurang pintar" tidak berhak mendapat sekolah yang "baik dan berkualitas". Mereka sudah divonis sejak awal oleh segolongan orang yang kepadanya selalu ingin disebut sebagai "pendidik". Lagipula, apa definisi serta kriteria "sekolah yang baik dan berkualitas" di negeri yang segalanya ingin hasil yang serba instant ini?
Itukah arti pendidik? Yang sejak awal sudah memilah-milah murid berdasarkan "otak"nya, sementara secara bisik-bisik, hasil kerja otak pada saat Ujian Nasional itupun sudah disusupi oleh kunci-kunci jawaban yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Aku bersyukur bahwa sekolah anakku dipujikan sebagai sekolah yang bersih dari praktek sejenis itu. Maka ....pendidikkah namanya yang "mengajarkan" anak muridnya "mensiasati" ujian nasional dengan cara memberikan kunci jawaban hanya untuk alasan agar sekolahnya "dipandang" sebagai sekolah dengan hasil ujian yang tinggi. Padahal ... praktek seperti itu sama juga dengan mengajarkan anak perilaku yang sangat tidak terpuji .... Perilaku yang akan membekas di dalam sanubari si anak. Kelak di kemudian hari, saat terjun di masyarakat, bukan tidak mungkin "bekas" itu akan tercermin dalam perilaku umum sebuah generasi. Sebuah generasi yang kehilangan orientasi akan nilai kebenaran dan kejujuran.
Padahal.... coba lihat dan baca buku-buku biografi orang-orang ternama .....!!! Mereka
umumnya adalah orang-orang yang seringkali meninggalkan bangku sekolah/kuliah entah karena memang tidak mampu bersekolah karena kemiskinan atau karena mereka malah menganggap bahwa sekolah/kuliah membelenggu jiwa/kebebasan berekspresi dan mengungkung imajinasi. Namun yang pasti, mereka yang berhasil adalah orang-orang yang memiliki semangat pantang menyerah dan visi yang jauh melampaui batas dinding sekolah. Kesemuanya ini belum tentu bisa diperoleh dari sekolah. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya selain sekolah .....
Ah, ya.... ada juga tuh .... Visi dan semangat pantang menyerah yang diperoleh dari sekolah....! Dari seorang guru sederhana di SD Muhammadiyah yang hampir roboh di Belitong. Dan itupun, hanya berdampak kepada Andrea Hirata semata .... Jadi, masa depan dan keberhasilan anak tidaklah semata ditentukan oleh "otak"nya...
Orang tua, sistem pendidikan, sistem penerimaan siswa di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Masih segar dalam ingatan... peristiwa 1 tahun yang lalu di Surabaya. Seorang anak SD dan orangtuanya dihujat, dikucilkan dan kemudian diusir dari lingkungan hanya karena mereka melaporkan kecurangan yang dilakukan sekolah saat ujian nasional. Sekolah dan orangtua murid berang karena "kebenaran" yang diungkapkan keluarga tersebut. Itulah potret sebagian pendidikan di Indonesia, kala nilai ujian menjadi berhala baru ....
***
Teman anakku mungkin sudah menerima kenyataan dan sadar bahwa kemarahan ibunya disebabkan karena "pengorbanan materi" yang sudah dilakukannya tidak sepadan dengan hasil yang diberikannya. Tapi, dia juga sama tidak mengertinya, mengapa hasil 8,5 yang diperolehnya tidak memuaskan ibunya, sementara sebagian besar teman lainnya hanya mendapat nilai di bawah 34. Dan mereka masih bisa bergembira dan merayakan kelulusannya di tengah ke dua orangtua mereka.
Remaja itu mungkin belum sepenuhnya mengerti bahwa masa depan dan karirnya nanti tidak semata-mata ditentukan oleh hasil ujian SMPnya hari ini. Ini baru sebagian kecil dari perjalanan hidupnya dan proses yang harus dilaluinya menuju masa depan. Jalan menuju masa depan yang masih sangat panjang....., dan yang pasti dia masih butuh uluran kasih sayang, dukungan, dorongan orangtua terutama ibunya dan tentu saja bantuan biaya sekolah.
Anak adalah titipan yang dipercayakan Allah SWT kepada sepasang manusia yang berlabel orangtua. Mereka tidak pernah minta dilahirkan, sebaliknya orangtualah yang menginginkan kehadirannya. Maka ... menjadi kewajiban orangtualah untuk "mengurusnya" dengan baik dan penuh kasih sayang. Bukan dengan perhitungan untung rugi atau berdasarkan azas manfaat.
Kalau hanya karena nilai UN SMP setinggi 34 saja dia sudah dimaki (ah... kok bahasanya kasar sekali...?) sebagai anak tak berguna ...., maka maro kita doakan semoga Allah SWT tidak mendengar ucapan ibunya itu .... Semoga malaikat-malaikat lupa mencatat ucapan sang ibu .... Jangan sampai ucapan ibu yang seringkali dianalogikan sebagai "doa" buat anak, terjadi.....! Agar anak itu tidak patah semangat. Agar dia tetap mendapat kesempatan membuktikan diri sebagai anak yang berguna dan mampu memberikan kebanggaan bagi orangtuanya. Karena, aku tahu ... anak itu sungguh manis budi dan pandai ....
SANGAT MANUSIAWI, MUANTAV
BalasHapus