Di suatu minggu, kebetulan long week end, pada Jum'at pagi sekitar jam 08.00, tanpa terduga, bel rumah berdenting. Keponakanku seperti biasa datang. Hal ini sudah menjadi rutinitas kegiatan liburannya bila kami tidak berkunjung ke Bandung, tempatnya tinggal. Tidak heran ... pada setiap kunjungannya ke Jakarta, saudara-saudara sepupunya selalu berkomentar : "anak kost pulang kampung ...!"
Padahal, dia tinggal dengan orangtuanya di Bandung dan ke Jakarta untuk menikmati liburan.
Maka.... makanlah keluarga kecil dengan dua anak ini, di... entah lantai berapa. Tapi food areanya memang sangat nyaman dengan suasana pedestrian. Pilihannya nggak jauh-jauh dari mie/pasta sesuai selera remaja masa kini. Kali ini pasta/mie campuran a la Jepun & Italiano. Nama restonya beraroma Jepun, namun sajian makanannya lebih mengarah ke selera Italiano. Jangan tanya berapa biayanya... tapi pasti lebih murah dari hidangan makan malam saat pernikahan Anang Hermansyah dan Ashanty yang digelar di Shangri - La Hotel, Jakarta.
Usai makan, kami sempatkan diri mampir ke toko buku Gramedia baru pulang menjelang jam 22.00.Bukan anak remaja tentunya kalau sudah puas dengan terpenuhinya hajat selera makan malam. Hari Sabtu, setelah sepanjang hari mereka menghabiskan waktu di rumah, sibuk dengan facebook dan twitternya, belum lagi turun isi makanan ke lambung... usai makan malam, mereka sudah ribut mengajak jalan keliling kota.
Setelah istirahat beberapa saat dan meminta mereka shalat Isya terlebih dahulu, maka pergilah kami berempat keluar rumah tanpa tujuan yang jelas.
"Sate Padang yang enak di mana ya?" tanya anak gadisku.
"Hmmm.... katanya sih, ada di Jalan Radio Dalam. Sate Mak Syukur. Konon sangat terkenal. Baru selesai makan malam kok sudah mau makan lagi?"
"Kan sudah disisakan ruang buat sate padang...!", begitu jawab mereka.
Huh..... itu perut kok nggak meledak diisi terus ya? Ampun deh.... anak remaja jaman sekarang...!
Kebetulan posisi mobil masih di depan Blok M Plasa. Jadi masih bisa dibelokkan arah ke jalan Radio Dalam melalui jalan Kyai Maja.
"Nggak ah.... cari tempat yang lain...!""Wah .... dimana ada penjual sate padang lagi?"
"OK, kalau begitu kita jalan ke arah istana ... lalu masuk ke memutar arah ke patung pak tani. Nanti masuk ke jalan Kramat Raya. Nah di situ banyak warung masakan Padang a la Kapau. Semoga ada sate Padang. Kalau nggak ada, itu namanya bukan rejeki".
Maka ... ditemani dengan keributan-keributan kecil antara anak - keponakan dalam mencari pemancar radio, kami menyusuri jalan Sudirman - MH Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - Juanda - Veteran - Merdeka Utara - Merdeka Timur - Patung pak tani - Kwitang.....
Suami, entah karena menikmati perjalanan, sebal mendengar kemauan remaja yang seringkali berubah-ubah atau mungkin juga malah agak mengantuk, mengendarai mobil perlahan sekali hingga akhirnya kami tiba di jalan Kramat Raya.
Warung pinggir jalan dimasak oleh tangan-tangan trampil "asli dari sononye" kata orang Betawi. Takaran bumbu-bumbunya diracik sesuai petuah dan ajaran orang tua2. Kalau suatu masakan harus mempunyai rasa pedas .... maka begitulah dia dimasak dengan banyak bumbu dan cabai giling.Ini tentu berbeda dengan masakan tradisional a la resto terkenal, dimana bumbunya sudah dimodifikasi sesuai dengan "target market" nya. Maka masakan Padang bisa saja hanya "berani" warnanya ... tapi rasanya sudah "manis", supaya masyarakat non Sumatera Barat bisa turut menikmatinya. Persis seperti masakan di rumahku.
Kalau adik ibuku yang seleranya sudah terbentuk sejak kecil terhadap masakan Minang yang diolah oleh "tangan asli" berkunjung dan makan di rumah, wajahnya selalu memberengut dan langsung pergi ke dapur mencari tambahan cabe sambil menggerutu....
"Masakan padang gaya mana lagi nih? Manis semua...".
Begitu selalu komentarnya. Memang, cabe yang digunakan untuk masakan Padang di rumah kami sudah banyak dikurangi, supaya suamiku yang bukan berasal dari Sumbar bisa ikut menikmatinya. Berbeda dengan sate mak Syukur yang berwarna kuning kunyit dan pedas nylekit atau sate Sederhana Lintau di Cinere yang kuahnya juga berwarna kuning tapi ada cacahan kacang, sate padang a la Kapau ini kuahnya agak kemerahan dan so pasti ... lebih pedas. Apa boleh buatlah ..... Sudah kadung pesan...!
Soal apakah lagu berhenti seketika atau bersambung itupun tergantung baik dari si tamu atau penyanyi. Kalau penyanyi bersuara nyaring menyakitkan kuping apalagi nyanyiannya fals, maka si tamu cepat-cepat mengeluarkan uang agar penyanyi segera menyingkir. Dengan demikian, selera makan tak patah karenanya.Tetapi kalau suara penyanyinya bagus dan iramanyapun benar... bisa jadi, si penyanyi diminta menyanyikan lagu lainnya dengan bayaran tentunya bertambah.
Seringkali karena tidak memiliki lembaran uang "kecil", kita mendiamkan si penyanyi. Kalau sudah begini, maka lirik lagu seketika akan berubah .... menyindir kita yang sedang makan... Hadoohhh ...... Dilematis deh! Sayang .... dari berbagai tempat warung amigos, belum pernah terlihat penyanyi yang cantik/ganteng, bersih dan wangi
Begitulah.... mungkin karena merasa suamiku memberi "di atas tarif normal" .... (tapi ngomong-ngomong berapa sih tarif normal untuk pengamen?), maka pengamen silih berganti mengunjungi warung tempat kami makan... Walhasil.... makan menjadi tidak nikmat lagi karena...... di samping para pengamen, muncullah bocah-bocah dekil berumur kita-kira antara 3 sampai 8 tahun mengerubungi meja makan kami meminta uang....Astaghfirullah ...... Bukan karena keengganan untuk bersedekah.
Tapi kehadiran anak-anak itu memang mengganggu dan membuat kami kehilangan selera makan ... Bagaimana mungkin kami menikmati makan malam dengan nyaman di hadapan muka-muka dekil itu. Bukan hanya satu orang, tetapi lebih dari 5 orang sehingga pemilik warung yang merasa "tidak enak" terhadap tamunya, lalu mengusir mereka. Beruntung, sate di piring sudah tandas dan kami memang sudah bersiap untuk beranjak meninggalkan warung.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Anak-anak usia sekolah berumur 3 sampai 10 tahun masih saja terlihat berkeliaran di jalan raya hingga larut malam. Meminta-minta uang dari pengendara mobil/motor di perempatan jalan atau di warung-warung kaki lima.Anak-anak itu seharusnya sudah menikmati makan malamnya dan sedang lelap bermimpi.
Sungguh terasa sangat tidak pantas melihat mereka masih saja berkeliaran di jalan. Entah mengapa orangtua mereka membiarkan anak-anak itu berada di jalanan terpapar oleh kekerasan kehidupan malam. Atau justru anak-anak itu menjadi "alat" bagi orangtuanya untuk memperoleh nafkah keluarga? Kemiskinan dan ketidakmampuan orangtua memang membuat anak-anak tidak mendapatkan haknya secara memadai.
Hak mendapat perlindungan, sandang-pangan, pendidikan dan lain-lain. Sekolah gratis masih menjadi sebatas wacana, karena konon walaupun uang sekolah/SPP sudah dihapuskan, dan sekolah juga sudah menerima BOS yang bantuan operasional sekolah, pungutan-pungutan untuk kegiatan sekolah lainnya serta baju seragam masih saja enggan hilang dari daftar pengeluaran rutin orangtua.
Betapa ironisnya... kala penyiar cantik di tv memberitakan kasus-kasus korupsi miliaran rupiah yang dilakukan oleh PNS - politisi - penguasa negara/daerah gede-termasuk juga para penegak hukum, hanya dalam radius 5km dari istana tempat presiden bermukim dan hanya sepelemparan batu dari komplek gedung megah Departemen Keuangan, belasan anak berumur 3 - 10 tahun mencari uang, menadahkan tangan-tangan lusuhnya pada pengunjung warung di sepanjang Kramat Raya.
Andai para pejabat tinggi itu suatu kali mau mengunjungi warung makan semacam ini secara incognito .... tanpa harus melakukan sterilisasi lokasi, tanpa pengawalan .... menjadi orang biasa ... Tentu para penguasa negeri serta para ahli yang jago analisa ekonomi tidak akan gegabah lagi menyatakan ...... Kemiskinan di Indonesia telah berkurang..... pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapai sekian persen, di atas rata-rata pertumbuhan di negara Asean ....
reedited 7 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar