Jumat, 08 Juni 2012

Musim Menikah

Nggak tahu mesti nulis apa, kali ini. Mau nulis komentar tentang carut marut hukum di Indonesia, sudah terlalu banyak yang ngomong. Sampai bosan dengar di TV, radio dan dimana saja kita ketemu teman. 

Masyarakat sebetulnya sudah muak dengan “kebebalan” para aparat penegak hukum yang sudah terbutakan mata hati nuraninya. Bagaimana tidak, kalau orang yang mencuri 3 buah coklat, makan 1 buah semangka dan hal-hal yang remeh temeh saja sudah kena bui 1–3 bulan. Sementara yang ngemplang duit negara milyaran bahkan trilyunan malah merasa aman melanglang buana di luar negeri dari hotel ke hotel atau bahkan bisa jadi sedang menikmati rumah dan apartemen mewah nya di daerah elite manca negara. Yang juga sangat menyebalkan adalah karena pelaku korupsi sekarang adalah "orang muda" yang umurnya belum lagi mencapat 35 tahun. 

Jadi… daripada stress dan sebal karena hal itu, sekarang lebih baik kita nggosip aja ya… Kan perempuan suka gossip. 

Kebetulan, bulan Juni/Juli ini rupanya jadi pilihan banyak orang untuk menikah. Bulan baik kalau buat muslim …., karena biasanya, menjelang Ramadhan memang banyak dimanfaatkan orang muda untuk menikah.  

Menikah sepertinya dan memang sudah seharusnya menjadi tujuan hubungan dua orang manusia yang berlainan jenis kelamin …., gimana enggak, wong yang berjenis kelamin sama aja berniat mengikatkan hubungan sejenisnya melalui lembaga pernikahan kok! Jadi…, pantas saja kalau suatu hubungan kasih sayang yang serius di antara dua orang manusia akan bermuara dalam sebuah lembaga pernikahan. Namun yang seringkali dilupakan adalah… bahwa pernikahan bukanlah sebuah akhir dan tujuan dari sebuah hubungan kasih sayang tetapi justru awal dari kehidupan yang sebenarnya.

Sambil becanda di kantor, saya seringkali mengibaratkan bahwa menikah adalah mengikatkan diri untuk "terpenjara" bersama orang yang sama, seumur hidup oleh berbagai "aturan dan norma" baik yang "dibuat bersama", yang ada di masyarakat secara turun temurun maupun norma agama.
Kalau mau diibaratkan seperti sekolah/kuliah… katakanlah saat pernikahan itu seperti saat wisuda. Senang sekali karena tujuan/akhir perjuangan panjang selama sekolah sudah tercapai. Begitu juga dengan pernikahan…, perjalanan panjang selama “pacaran” sudah mencapai garis finish, dengan menikah. Kenyataannya, setelah wisuda dan pernikahan, kita malah menghadapi realita kehidupan yang sebenarnya. Kalau selesai sekolah kita masuk ke dunia nyata untuk bekerja secara mandiri, menghidupi diri dari “kemampuan” diri sendiri, begitu juga dengan pernikahan. 

Kita “melepaskan diri” dari “lindungan kenyamanan sebuah sarang” bernama keluarga dan membentuk sarang baru dengan anggota yang baru, yaitu istri untuk kemudian berkembang biak dengan anak-anak yang akan lahir. 

Menurut saya, ada persamaan dengan bekerja dengan perjalanan pernikahan. Perusahaan tempat kita bekerja dan para pekerjanya selalu berharap berkembang ke arah yang lebih baik, sehingga si pekerja bisa memperoleh posisi dan penghasilan yang lebih baik dari tahun ke tahun. Kalau salah satunya tidak terpenuhi, maka keduanya bisa jadi akan “berpisah jalan”. 

Kalau jalannya perusahaan tidak baik, maka perusahaan mungkin akan mem PHK kan karyawannya. Begitu juga bila si karyawan lama-kelamaan merasa perusahaan tempatnya bekerja tidak lagi memenuhi harapannya, maka dia akan mulai “berselingkuh”, melirik kesempatan kerja di tempat lain untuk kemudian meninggalkan perusahaan tersebut untuk pada waktunya, pindah ke perusahaan yang baru.

Ini untuk karyawan yang punya potensi baik dan “mampu” bersaing di dunia kerja. Kalau karyawan yang kemampuannya “terbatas” dengan lagak sebagai loyalis dia akan tetap bertahan. Tapi bukan tanpa protes. Protesnya justru lebih “berbahaya” karena makin membebani dan merugikan perusahaan. Dia tidak lagi bekerja dengan baik, malah mencuri-curi waktu untuk cari kerja sampingan dan lain-lain sementara perusahaan mungkin tidak sadar. Atau kalaupun sadar, tapi mungki perusahaan tidak “mampu” mem PHK karena kewajiban membayar pesangon yang cukup besar. 

Itu sebabnya perusahaan yang baik selalu me “refresh” karyawannya, memberi “makanan” rohani berupa fasilitas pelatihan, liburan, jabatan dan lain-lain, termasuk juga memberi makanan jasmani berupa fasilitas kendaraan, gaji besar, bonus dan lain sebagainya

Tidak berbeda dengan dunia kerja, sebetulnya kehidupan rumah tangga juga selalu dinamis. Kalau pada awal pernikahan, tinggal sekamar di rumah mertua sudah sangat indah, pulang kantor kehujanan naik motor, makan di warung pinggir jalan sepiring berdua begitu indahnya. Namun keindahan itu juga terus berevolusi. 

Pasangan bisa jadi tidak lagi puas dengan kamar kecil di rumah orang tua dan ingin memiliki rumah, walau (relatif) kecil. Motor tidak lagi cukup bergengsi sebagai kendaraan sehari-hari dan mulai membutuhkan mobil. Mereka lalu membelinya walau mobil bekas. Makan tidak lagi cukup di warung, tetapi harus sudah mulai beralih ke café atau resto bergengsi, untuk menyesuaikan posisi di kantor yang mulai meningkat dengan alasan memperluas network. 

Itulah “tanda-tanda” perubahan dan peningkatan kebutuhan jiwa dan raga manusia yang kemudian salah kaprah menjadi life style pasangan muda terutama yang hidup di kota-kota besar dan berpendidikan tinggi lulusan luar negeri.

Sama seperti di perusahaan, pasangan mungkin perlu me “refresh” kembali perasaan, tujuan hidupnya. Kemudian bersama-sama mengevaluasi dan menyamakan kembali persepsi terhadap esensi ikatan perkawinannya. 

Seiring perjalanan waktu, “greget” perasaan terhadap pasangan hidup mungkin sudah berubah. Bukan karena tidak ada perasaan cinta/kasih sayang, tetapi bentuknya sudah sedikit berubah karena “sebuah kebiasaan merasa sudah memiliki, seatap dan seranjang” selama bertahun–tahun. Hal ini membuat pasangan suami istri seringkali “meremehkan” perasaan satu sama lainnya. 

Kita tidak tahu lagi kemana perasaan pasangan hidup kita mengembara. Karena memang perasaan dan pikiran bisa mengembara tanpa batas dan tanpa bisa dikekang oleh siapapun. Kecuali atas kesadaran dan kendali diri yang bersangkutan. 

Ketidaksamaan visi dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, perbedaan pola pengasuhan anak maupun hubungan kekeluargaan dengan keluarga besar pasangan kerap kali memicu pertengkaran kecil yang bila tidak dikelola dan dikendalikan secara bijak akan menjadi gunung es yang mampu mengkaramkan bahtera rumah tangga setiap saat kita lengah.

Kalau ketidakpuasan dalam pekerjaan mudah diselesaikan dengan cara mencari tempat kerja baru, maka apakah akan kita perlakukan bahtera rumah tangga seperti kita meninggalkan perusahaan tempat kita bekerja, “berselingkuh” untuk kemudian melabuhkan bahtera di sandaran dermaga baru?Jawabnya seharusnya, tentu TIDAK. Namun konsisten dengan kata TIDAK itupun bukanlah hal yang mudah dijalankan.

Menyelesaikan masalah dalam sebuah ikatan pernikahan tentu tidak semudah seperti kita pindah kerja. Stake holder dalam sebuah pernikahan bukan hanya pasangan itu sendiri, tetapi juga ada anak–anak yang terlahir. Belum lagi kalau memperhitungkan keberadaan keluarga besar dari ke dua belah pihak. 

Anak merupakan tanggung jawab orangtua bukan hanya secara materi tetapi juga dalam hal pendidikan jasmani dan rohani. Orangtua bertanggung jawab untuk “mendidik” dan mempersiapkan diri mereka dalam menhadapi dan mencari solusi dari berbagai masalah sepanjang hidupnya. Anak juga merupakan “imitator” sempurna dari perilaku orangtua. Itu pula sebabnya sering kita dengan peribahasa like father like son atau like mother like daughter.

Orangtua yang “menggampangkan” segala sesuatu secara tidak sadar telah mengajarkan perilaku tersebut kepada anak–anaknya. Tetapi mempersulit hal yang mudah atau menunda–nunda penyelesaian masalah juga bukanlah contoh yang baik bagi anak.

Week end yang baru lalu, saya membaca artikel di suatu majalah bahwa anak–anak yang lahir dari keluarga kecil dan telah terbiasa hidup dalam kecukupan dan segala kemauannya terpenuhi dengan mudah, cenderung memutuskan segala sesuatu tanpa pertimbangan yang dalam. Mereka terbiasa hidup senang, sehingga kadar tenggang rasa terhadap oranglain cenderung tipis. Ini berbeda dengan anak yang terlahir dari keluarga besar yang selalu berbagi dengan kakak atau adik. Mereka telah terlatih sejak dini untuk berbagi dan bertenggang rasa kepada siapapun. Tapi hal ini hanya merupakan salah satu faktor saja. Komunikasi yang terus menerus harus tetap dijaga. 

Jadi tatkala kita dengan pasangan bercerai dengan alasan ketidak cocokan yang disebabkan timbulnya perbedaan visi dan misi dalam berumahtangga, itu sama saja mempertahankan kehidupan yang statis. Kehidupan selalu dinamis, bergerak sesuai dengan perkembangan jaman.  Seperti yang sudah disebutkan di awal tulisan. Oleh karena itu, visi dan misipun perlu dievaluasi dan disamakan kembali. Hal lain yang penting untuk diingat setiap pasangan adalah … lihatlah kelebihan pasangan kita dan lupakan kekurangannya, karena kita sendiri juga penuh dengan kekurangan yang harus “ditelan dan diterima” oleh pasangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...