Anak lelakiku pulang kampung .... menghabiskan libur
akhir tahun di Jakarta, sebagaimana permintaanku untuk pulang ke rumah setidaknya
setiap 2 tahun. Maka .... setidaknya selama 6 minggu, pada hari kerja, aku
kembali menjadi ibu dari anak tunggal lelaki dan saat akhir minggu, selama 2
hari aku menjadi ibu dari sepasang anak yang umurnya terpaut jauh.
Begitulah …., minggu lalu anak lelakiku pulang ke
rumah. Usianya tentu tidak muda lagi … sudah 2x usia anak gadisku yang saat ini
duduk di bangku SMA dan sebagai ibu, aku berusaha sedapat mungkin untuk tidak
masuk terlalu jauh ke dalam kehidupan pribadinya…. Perlakuan ini tentu harus
berbeda saat menghadapi anak gadis remaja, yang bahkan oleh direktur pendidikan
sekolahnyapun, sebagai orangtua, kami diminta untuk mengawasi anak dengan
sangat ketat.
Setelah menghabiskan akhir pekan dengan keluarga, pada
hari ke 4 dia berada di rumah, aku menawarkannya bila dia ingin ke luar rumah.
Dia bisa kuantar ke halte Trans Jakarta dalam perjalanan ke kantor dan kembali
pulang bersama di sore hari. Memang sejak kunjungannya yang pertama 8 tahun yang
lalu, anakku tidak lagi kuijinkan mengendarai mobil. Ada berbagai alasan tentu
…! Yang pertama karena SIM nya sudah kadaluwarsa alias tidak berlaku lagi.
Untuk memperpanjangnya, pasti jadi agak ribet. Kemudian … kondisi lalu lintas
di Jakarta yang semakin ruwet, kemacetan yang semakin parah dan saling serobot
di jalan raya pasti akan membuatnya stress berat. Bukan tidak mungkin, akan
terjadi kecelakaan di jalan. Jadi … biarlah dia bersusah payah naik bus atau
taxi, bila perlu.
Sayangnya pula, polusi dan perubahan udara kemudian
membuat kulitnya menjadi alergi. Timbul bintik–bintik merah yang gatal di
permukaan kulit yang terpapar matahari. Untung tidak menjalar hingga muka.
Aduuuuhhhhh repot banget ya, kalau sudah terbiasa hidup di kota yang udaranya
relatif lebih bersih.
Maka … kemarinpun menjadi hari yang mencemaskan buat si
ibu. Menjelang waktu pulang kantor, sebagaimana yang sudah diperjanjikan, maka
aku menelpon, menanyakan acaranya malam itu. Apakah akan pulang atau melanjutkan acara, hang out dengan temannya.
“Aku janjian ketemu jam 19.00 di Grand Indonesia”
“OK …., posisi saat ini dimana?”
Saat itu, jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.15 sore
hari… Mendung masih belum pupus setelah hampir sepanjang hari itu kawasan
kantorku diguyur hujan yang cukup deras.
“Di Senayan …”, begitu sahutnya.
Entah Senayan bagian mana… Ada berbagai tempat nongkrong di sana. Minimal ada Senayan
City, Ratu Plaza, Plaza Senayan dan FX. Belum lagi resto–resto mewah yang
berada di Pacific Place. Entah apakah wilayah PP masih bisa disebut Senayan.
Orang lebih banyak menyebutnya SCBD. Kalau nggak salah, SCBD singkatan dari Semanggi
(Senayan?) Central Business District.
“OK, kalau begitu, lebih baik bablas hingga malam hari
saja. Kalau harus pulang ke rumah … terlalu buang waktu dan pasti tidak akan
sempat lagi kembali ke Grand Indonesia”
Jarak kantorku ke rumah walau hanya 8km, saat ini harus ditempuh dalam waktu minimal 60–75 menit di sore hari. Wajarnya, hanya 15 menit …..! Tapi
itu terjadi pada tahun 2000 yang lalu. Kalau sekarang ……? Sepertinya sangat
mustahil menempuh 8km di Jakarta dalam waktu 15 menit.
“Jangan terlalu malam ya….”, sambungku lagi.
“OK ….. tapi batere tabku sudah hampir mati nih!”
Tidak terlalu yakin dia tidak pulang terlalu malam atau
tepatnya definisi “tidak terlalu malam” buat seorang ibu dan “anak muda” …
generasi pekerja abad 21 yang gemar hang out. Apalagi dia bermaksud bertemu
teman baiknya sejak duduk di bangku SMP hingga lulus SMA. Perempuan muda
kreatif dan sangat mandiri, satu–satunya teman sekolah yang diberitahu tentang
kehadirannya di Jakarta.
“Kalau pulang terlalu malam, akan kupesan agar pintu
gerbang tak digembok. Jadi masuk dan ketuk pintu kamar ya… Jadi kami bisa
membukakan pintu buatmu!”. Begitu pesanku melalui fasilitas sms, sebelum
meninggalkan kantor.
Aku terpaksa makan malam sendiri. Suamiku yang tiba
sekitar jam 17.00 meninggalkan rumah lagi untuk menemui temannya, sebelum aku
sempat tiba di rumah. Lalu lintas yang semrawut, apalagi aku baru meninggalkan
kantor usai shalat maghrib, menyebabkan kami hanya saling berkabar lewat telpon
saja. Khas kehidupan rumah tangga di Jakarta yang keduanya bekerja penuh waktu.
Sekitar jam 21.00, sang suami memberi kabar bahwa dia
belum makan malam. Menyambung lapar usai shaum hari Senin setelah berbuka hanya
dengan beberapa iris mangga saja. Rupanya … bapak–bapak itu hanya memesan
Vietnamese snack yang bukan snake …. Jadi belum membuatnya mampu mengenyangkan
cacing–cacing yang keroncongan usai shaum.
Usai menemaninya makan malam dan membuatkannya kopi,
aku tertidur di sofa setelah sebelumnya berpesan untuk dibangunkan jam 23.00,
waktunya mandi dan shalat Isya.
Jam 23.30, semuanya selesai kulakukan. Kuraih buku
Rahasia sang Ibu Negara yang baru ½ bagian kubaca.
“Penyakit lama, kambuh ….”, gumamku.
“Kenapa…?”
“Menunggu anak lelaki yang nggak jelas jam berapa akan
tiba di rumah”, sahutku.
Meledak, suara tawa suamiku mendengar keluhanku ….
Like father, like son …. Begitu konon kata pepatah
usang ….
Tentu saja tawanya meledak. Begitulah kebiasaan anak lelaki, seperti yang dilakukan suamiku tentunya saat dia masih belum menikah. Tidak jelas kapan pulang ke rumah …. Tidak pula mau berbasa-basi memberi kabar ke rumah agar orangtuanya tidak menjadi penunggu pintu rumah. Bedanya … kalau dia adalah lelaki ke 4 dari 6 lelaki di keluarganya, maka aku hanya punya 1 anak lelaki….
Tentu saja tawanya meledak. Begitulah kebiasaan anak lelaki, seperti yang dilakukan suamiku tentunya saat dia masih belum menikah. Tidak jelas kapan pulang ke rumah …. Tidak pula mau berbasa-basi memberi kabar ke rumah agar orangtuanya tidak menjadi penunggu pintu rumah. Bedanya … kalau dia adalah lelaki ke 4 dari 6 lelaki di keluarganya, maka aku hanya punya 1 anak lelaki….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar